Sunday, March 29, 2015

BATU AKIK DAN MOMEN MENEMUKAN CINTA






Membaca apdetan di fanpage Pak Walikota Bandung kemarin tentang Festival Batu Akik di lapangan Tegalega, Bandung, mengingatkan saya pada pengalaman bersinggungan dengan “heboh” batu akik. Begini ceritanya:

Saat libur semester satu tahun lalu, saya mudik ke Tidore selama dua pekan. Salah satu agenda mudik adalah membeli cincin besi putih pesanan seorang sohib, yang meskipun berada nun jauh di Kalimantan dekat perbatasan Indonesia-Malaysia sana, namun tak pernah lupa bahwa Ternate adalah surga besi putih. Maka sehari sebelum kembali ke Bandung, saya menapaki kawasan penjualan besi putih di area Pasar Gamalama, Ternate. Sembari memilih cincin pesanan sohib itu, mata saya bersihadap dengan sebuah cincin besi putih bermata hijau. Hanya ada satu. Padahal biasanya ada banyak desain dan warna cincin yang sama. Namun cincin bermata hijau itu hanya ada satu.

Semula saya putuskan membeli cincin bermata hijau itu demi memenuhi pesanan sohib tadi. Namun saat mencoba memakaikannya di jari manis tangan saya, ukurannya pas. Karena ukurannya pas, saya yakin cincinnya tak akan muat dipakaikan di jari tangan sohib itu. Alasannya: tak lain, tak bukan, ukuran jari tangannya yang lebih kecil. Hipotesis saya berangkat dari analisis kenyataan yang jika kamu mengenal sohib saya itu, kamu akan mendukung penuh hipotesis saya. Dan benar saja! 11 bulan setelahnya, dugaan saya perihal ukuran jari tangan yang lebih kecil itu terbukti saat kami bertemu di Bogor. Hoho…

Kembali ke kawasan penjualan besi putih di Pasar Gamalama. Cincin besi putih bermata hijau itu akhirnya saya beli. Meskipun awalnya tak berniat membeli cincin untuk diri sendiri, tapi sebab berwarna hijau itulah, cincinnya saya beli juga dan langsung menyematkan di jari manis tangan kanan. Pas! Sesudah itu, saya berhasil menemukan cincin pesanan si sohib yang saya kira akan cocok di jari tangannya. Syukurlah, perkiraan ukurannya tidak meleset. Dari Pasar Gamalama, naik oto menuju Pelabuhan Bastiong. Berlanjut naik speedboat pulang ke Tidore. Keesokan harinya saya kembali ke Bandung, memulai semester dua di Kampus Bumi Siliwangi.

Sepanjang semester dua hingga semester tiga berakhir, cincin bermata hijau itu setia terpasang di jari tangan saya. Seingat saya, selama saat-saat itu, tak ada perhatian lebih yang orang-orang beri ketika melihat cincin itu melingkar di jari tangan saya. Mereka hanya melihat sekilas pabila tangan saya terangkat atau tanpa sengaja mata mereka bersitatap dengannya. Tak ada komentar lebih, tak ada pujian. Cincin bermata hijau itu tak bermakna apa-apa bagi orang-orang yang pernah melihatnya.

Hingga di akhir tahun 2014 sampai memasuki awal tahun 2015, batu-batu akik tiba-tiba mempunyai nilai berharga di mata masyarakat Indonesia. Mungkin saja sudah jauh-jauh hari batu-batu akik menyinarkan pesonanya, namun baru terasa oleh saya berita perihal menuju puncaknya (emang AFI? Hihi) akhir-akhir kemarin. Di tengah maraknya perbincangan mengenai batu akik dan jenis-jenisnya, cincin bermata hijau di jari tangan saya juga mendadak naik daun di mata orang-orang yang pernah berinteraksi dengan saya.

Semasa berjaya itulah, beberapa kali dalam seminggu, saya pasti akan mendengar pujian untuk cincin di jari tangan saya.

“Aiii… cincinnya cantik bangeeet! Beli di mana? Mau dooonggg?” kata seorang teman yang padahal sebelumnya (mungkin) sudah sering melihatnya, karena saya dan dia berada di kelas yang sama selama semester 2 dan 3.

“Wow! Batu apa itu di cincinnya? Hijaunya bagus sekali? Batu Bacan kah? Sukaaa…”

“Di cincinnya itu Batu Bacan? Cantiknyaa.”

Serta pertanyaan-pertanyaan dan komentar-komentar memuji lainnya.

Saya hanya mengangkat bahu menjawab pertanyaan ini. Saya sungguh tak tahu menahu jenis batu apa di hijau mata cincin saya itu. Lagipula, saya tak punya sedikitpun ketertarikan pada batu-batu semacam itu. Saya tidak ambil peduli dengan jenis batu akik apa yang melingkari jari tangan saya. Entah batu bacan, batu giok, dan batu-batu lainnya. Saya membeli cincin bermata hijau yang terlihat seperti jenis batu-batu ternama itu jauuuh sebelum batu-batu akik menempati hati beberapa kelompok masyarakat. Oleh karenanya, saya hanya menganggapnya cincin biasa saja.

Meskipun begitu, binar di mata Mamang Penjual Bubur Ayam waktu melihat cincin bermata hijau itu menyadarkan saya perihal betapa berharganya nilainya saat ini.

“Ini teh batu apa, Neng? Bagus euy!” Tanya Mamang Bubur Ayam sembari menunjuk cincin di jari tangan saya.

“Nggak tahu, Mang. Saya nggak ngerti dengan batu-batuan kayak gitu.”

Mamang Bubur itu lalu menunjukkan batu-batu koleksinya di tiga cincin yang melingkar di jari-jari tangannya.

“Ini mah batu-batu yang dikasih teman saya. Bagus. Tapi punya Neng lebih bagus euy!” Mamang Bubur heboh sekali.

Saya hanya senyam-senyum. Tidak mengerti dengan nilai batu-batuan semacam itu. Mamang Bubur Ayam itu bahkan meminta saya melepas cincin di jari saya asal sebentar. Dia mau mencoba memakainya. Saya sanggupi. Cincin itu berpindah ke jari kelingkingnya (muatnya hanya di jari kelingking). Setelah dipakai, diangkatlah tangannya dan dipandangi dengan senyum yang mengembang. Beberapa saat kemudian cincinnya dia lepaskan dan dikembalikan pada saya sambil berkata,

“Neng, saya doakan kuliahnya cepat lulus ya…”

“Amiin ya Rabb…”

Mengingat tentang progres tesis yang sedang ditulis, saya mengaminkan doa Mamang Bubur dengan penuh semangat.

“Terimakasih doanya, Mang.”

“Saya doakan semoga cepat wisuda. Cepat balik ke kampung halamannya.”

“Aamiin…” Aamiin saya semakin kencang.

“Saya doakan cepat selesai. Tapi sebelum pulang kampung, cincin bagusnya ini kasih ke saya yaaa… Hehehe…”

“Eh…” Saya hanya melongo.

“Iya, habisnya batu di cincinnya bagus sekali!”

“Heh…” Saya masih melongo. Kemudian mengangguk-angguk sekenanya.

“Hatur nuhun, Mang.”

“Mangga, Neng. Jangan lupa cincin batunya yaaa…”

“He-eh…” Saya masih mengangguk sekenanya.

Mamang Bubur Ayam me boke lagi! (ungkapan keheranan/keterkejutan/ketidakpercayaan yang tenar di Maluku Utara)

Saya bayar bubur ayam yang sebelumnya saya makan, lalu berjalan pulang ke rumah. Sepanjang jalan saya pandangi cincin bermata hijau itu yang entah batu berjenis apa. Saya masih terheran-heran dengan ekspresi Mamang Bubur Ayam yang heboh tadi. Saya makan bubur ayam di kedainya bukan satu kali sebulan. Saya sangat sering makan di kedainya. Langganan malah. Selama periode makan bubur ayam yang sering itupun saya sudah memakai cincin bermata hijau itu di jari tangan. Selalu saya pakai cincin itu dan yakin pernah dilihat Mamang Bubur sebelum-sebelumnya. Tapi mengapa pujian bahwa cincinnya bagus baru Mamang Bubur itu ekspresikan barusan?

Saya kemudian mengingat kejadian yang sama pada orang-orang yang berinteraksi dengan saya selama ini, sesudah saya memakai cincin bermata hijau itu di jari tangan. Sebelum pamor batu akik meningkat tajam, cincin saya ini tak dilirik penuh arti. Setelah momen batu akik bersinar, cincin bermata hijau saya juga ikut-ikutan kecipratan sinar ketenaran batu akik. Dipuja-puja. Diperhatikan penuh makna. Dijatuhcintai.

Dari untaian pengalaman itu, yang sungguh masih mengherankan, saya lalu menarik kesimpulan begini: Aaah, rasa suka ternyata perihal momen saja. Cincin bermata hijau yang dipandangi orang-orang tak berarti apa-apa sebelumnya, rupanya langsung membuat mereka jatuh cinta ketika momen “demam batu akik” menjadikannya sangat berharga. Aaah, ternyata memang benar. Cinta itu hanya tentang momen saja. Sesuatu dicintai dan belum dicintai rupanya tergantung pada momen saja. Aaah, ternyata begitu, ya…?

Kesimpulan tentang momen ini membawa saya pada cerita Yoon Yoon Jae yang telah lama bersahabat dengan Sung Shi Won, saling mengenal sejak masih kanak-kanak, namun baru jatuh cinta bertahun-tahun kemudian setelah melihat Sung Shi Won pertama kali tak memakai kacamata. Yoon Jae mengatakan pada momen melihat Shi Won pertama kali tak lagi memakai kacamata itulah dia merasa jantungnya berdegup kencang sekali dan di matanya Shi Won terlihat begitu cantik (Reply 1997). Atau cerita Sung Na Jeong yang jatuh cinta pada Oppa’yaa untuk pertama kalinya ketika terbaring sakit di rumah sakit, padahal selama bertahun-tahun mereka hidup satu rumah, sudah seperti adik-kakak. Hubungan seperti adik-kakak mereka pun juga selalu dipenuhi pertengkaran. Tapi mengapa cerita Na Jeong dan Oppa’yaa berakhir dengan saling mencintai? (Reply 1994)

MOMEN!

Demikian kesimpulan kuat saya. Ditambah lagi apabila mengingat cerita seorang Abang yang juga bersinggungan dengan MOMEN sebelum akhirnya menemukan belahan jiwanya ada pada teman yang telah ia kenal sejak bertahun-tahun silam (cerita lengkapnya nanti bisa dibaca di buku terbaru Abang ini yang inshaAllah terbit bulan depan berjudul Cinta Paling Setia. [promo.com] ^_^ hihi), saya semakin yakin dengan kesimpulan itu: Aaah… cinta memang ternyata perihal momen saja..

Suit… Suit… Hihi…

Ah, cukup sekian dulu uraian hipotesis-pembahasan-kesimpulan dari cincin bermata hijau, batu akik, dan momen menemukan cinta ini. Apalagi pascahujan sore tadi, udara Bandung terasa bertambah dingin menggigit kulit. Membuat cahaya mata begitu cepatnya menurun pada kisaran 2 watt saja. Selamat tidur… :D


No comments: