Tuesday, August 09, 2022

CERPEN MALUT POST (6 AGUSTUS 2022)

 

MENJELANG EMPAT PULUH

Aida Radar

 

Ring...ring...ring...

Perempuan di atas tempat tidur menggerak-gerakkan tangannya di antara bantal-bantal dan sebuah buku yang terbuka. Mencari telepon genggam yang terakhir kali dilihat layarnya tengah malam tadi.

Ring...ring...ring...

Mata perempuan itu tertutup. Tangannya masih meraba-raba di atas tempat tidur.

Ring...ring...ring...

Klik!

Tangannya berhasil meraih telepon genggam yang dicari dan mematikan nada alarm yang ribut. Matanya masih tertutup. Tapi pikirannya tidak. Alarm tadi telah membangunkan pikirannya dari tidur tidak pulasnya yang baru mulai terjadi dua jam lalu.

Ternyata tiba juga aku pada hari ini!

Selama ini ia tidak pernah menggunakan alarm untuk membangunkannya dari tidur. Ia tahu kapan harus bangun di pagi hari dan telah terbiasa dengan hal itu selama bertahun-tahun. Alarm hanya ia gunakan untuk mengingatkannya akan sesuatu yang harus diingat pada suatu waktu dan hari-hari tertentu. Dan hari ini, di waktu sebelum ia harus bangun di pagi hari, alarm di hapenya telah membangunkannya, membangunkan pikirannnya dari tidur tidak pulasnya yang baru mulai terjadi dua jam lalu.

Ternyata aku benar-benar tiba pada hari ini!

Ia pelan membuka kedua matanya. Dilihatnya layar telepon genggam yang menyala.
Selamat ulangtahun yang ke-40, Dani...

Perempuan itu tidak bergerak dari posisinya di tempat tidur setelah menggenggam telepon yang bunyi alarmnya telah ia matikan. Lama ditatapnya layar telepon genggam yang menyala itu tanpa berkedip. Sebenarnya ia mau berkedip. Kedua matanya sudah mulai berair karena telah menatap layar telepon genggam terlalu lama. Tapi entah mengapa kedipan itu tidak mau hadir untuk menurunkan kelopak matanya barang sejenak. Malam kemarin ia terlibat pembicaraan yang tidak menyenangkan dengan Ibunya di teras rumah. Sesaat setelah ia sampai di rumah, pulang dari sebuah pertemuan tak terencana.

“Barusan Ibu ditelepon sama Ibu Jia. Katanya Dani menolak Budi. Kenapa Dani menolak Budi?”

Hmm… Cepat sekali Ibu Jia!

Perempuan itu tak menjawab. Ia diam. Matanya menatap kedua sepatunya yang terciprat lumpur saat berjalan di jalan setapak tanah dari tempat pemberhentian angkot ke rumah. Satu hari ini hujan turun dengan sangat lebatnya. Hujan lebat itu lalu menyisahkan tanah-tanah becek di jalanan yang ada di sekitaran rumahnya.

Perempuan itu mencintai hujan. Detak air yang jatuh satu-satu di genteng rumah selalu membawa kesyahduan dalam jiwanya yang kosong. Namun, ia begitu jengkel pada hujan lebat yang menyisahkan tanah-tanah becek itu. Sepatu yang baru ia cuci kemarin sudah hampir sebagian tertutupi lumpur.

“Apa lagi yang Dani cari? Laki-laki seperti apa lagi yang  Dani maui?”

Aku tidak tahu, Bu.

Perempuan itu tidak menjawab. Ia tahu Ibunya tidak sedang bertanya. Ia tahu Ibunya tidak menantikan jawabannya. Ia tahu Ibunya sedang memarahinya. Ia tahu Ibunya sedang menumpahkan kekecewaan, rasa malu, dan tekanan dalam diri dan lingkungannya padanya. Karenanya, alih-alih menjawab, ia  malah membuka sepatu. Meletakkannya di samping pintu.

“Bu, aku lapar. Ibu masak apa?”

“Jangan mengalihkan pembicaraan, Dani! Ini bukan yang pertama kalinya. Sudah berulang-ulang kali, jadi tolong jawab Ibu!”

“Ibu masak ikan pampis, ya? Heumm... Baunya sampai tercium di teras.”

Perempuan itu bergegas masuk ke dalam rumah, setengah berlari. Melarikan diri. Meninggalkan Ibunya yang menarik napas dan melepaskannya dengan berat. Perempuan itu mendengar suara dengusan napas ibunya. Langkahnya terhenti. Rasa laparnya karena mencium aroma ikan pampis tadi langsung menguar. Karenanya, bukannya menuju ke dapur, ia malah membuka pintu kamar di sisi kanan ruang tamu tempatnya kini berdiri.

Setelah meletakkan tas di meja kerja, perempuan itu menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Dipandanginya langit-langit kamar yang terlihat seperti langit saat hujan tidak sedang turun. Biru cerah di antara awan-awan putih dan tipis.

Tentang menikah, berumahtangga, perempuan itu bukannya tidak berusaha. Seperti kebanyakan perempuan, ia bukannya tidak ingin menemukan seseorang, jatuh cinta, menikah, membangun keluarga, dan mempunyai anak-anak hingga menua bersama. Bukan. Ia bukannya tidak menginginkan semua itu. Ia bahkan sering bangun pagi dengan mata sembab. Jika itu terjadi, malam sebelumnya ia pasti membuka beberapa media sosialnya hingga lewat tengah malam.

Di media-media sosial tersebut, ia pasti telah melihat video-video dan foto-foto teman-teman perempuannya yang berbahagia dengan suami dan anak-anaknya. Ia juga tentu telah melihat teman-teman lelakinya yang tertawa-tawa di video memperlihatkan tingkah lucu anak-anaknya. Setelah ikut tertawa-tawa, mendapati dirinya sendirian di malam yang sepi dan dingin membuat bunyi hujan yang syahdu, mengalirkan air yang deras turun di kedua belah pipinya.

Sesungguhnya, perempuan itu bukan menangis karena sakit hati. Bukan pula karena ia iri. Ia menangis karena apa yang perempuan seumurannya rasakan dan jalani, belum bisa ia rasakan dan jalani hingga kini. Hingga ia lelah sendiri karena telah sampai pada akhir dari menjalani pengharapan-pengharapan yang berlangsung selama ini, sepanjang tahun-tahun yang lewat ini.

Sejak memutuskan untuk mencari pendamping hidup di usianya yang baru menginjak tigapuluh tahun, sudah puluhan lelaki yang selalu ia kira akan menyandinginya di pelaminan. Ada Arya, lelaki yang tampan dan cerdas dalam banyak hal, temannya sejak masih kuliah di Bandung. Ada Sulaiman, lelaki yang suka masak dan asik diajak bercerita, koleganya di sekolah. Ada Said, lelaki petualang yang ia kenal saat mendaki Gamalama. Juga ada lelaki-lelaki lainnya yang pernah ia pikirkan saat malam-malam tak bersahabat dengan kesendiriannya.

Namun hingga delapan tahun lewat, tak satu pun dari puluhan lelaki itu yang memakaikan cincin di jari manisnya. Perempuan itu tidak mengerti mengapa hubungan-hubungan yang dijalinnya tidak ada yang bisa berakhir pada pernikahan. Padahal semenjak usianya memasuki tigapuluh lima, ia telah menanggalkan tiga kriteria suami idaman dari daftarnya.

Ia tak lagi mengharapkan lelaki yang tampan dan tinggi menjadi suaminya di daftar yang pertama.

Tidak apa-apa lelaki itu pendek tetapi setidaknya ia enak dipandang dan menenteramkan.

Ia menghapus lelaki yang berpenghasilan lebih besar dari daftar keduanya.

Tak masalah apabila penghasilannya lebih kecil. Toh, penghasilanku sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga nanti.

Ia juga telah menghilangkan lelaki yang romantis dari daftar ketiganya.

Tak mengapa tak ada bunga-bunga dan kata-kata mutiara, yang penting ia baik, penyayang, dan bertanggung jawab.

Tetapi, meskipun kriteria lelaki idaman telah dihapusnya, tetap saja, di saat usianya tigapuluh delapan, telapak tangan perempuan itu belum juga tersapu hena.

Ketika itu, Ibunya sudah menyalahkan putusannya mencari jodoh jika sudah berkepala tiga.

“Tidak salah kan kata Ibu, Dani. Jodoh akan sulit dicari saat umurmu sudah kepala tiga. Kau akan sulit menemukan yang terbaik di umur itu. Kau itu cantik, Dani. Tapi mengapa belum mau menikah? Jujur... Ibu selalu sedih mendengar ocehan keluarga dan tetangga tentang kau.” Ibu menyeka

“Makanya tidak usah didengar omongan orang, Bu. Nantinya Ibu malah tambah sedih dan bisa sakit.

“Nggak mendengar bagaimana? Setiap hari Ibu bertemua dengan tetangga. Bagaimana bisa tidak mendengar?!” Suara ibunya meninggi.

“Bu, aku bukannya tidak mencari lho! Dibandingkan Ibu, aku ini lebih frustrasi lagi! Lebih tertekan lagi!” Emosi perempuan itu tersulut.

“Ukuran normal perempuan menikah itu bukan di atas tigapuluh lho, Dani! Duapuluh sampai duapuluh delapan itu yang ideal! Dulu juga saat menikah dengan Bapakmu, umur Ibu baru duapuluh lima…”

“Oke! Ibu dengan Bapak menikah saat berumur duapuluh lima, oke! Namun bukankah karena menikah di umur duapuluh lima itu kemudian saat aku bahkan belum lahir, Bapak membodohi Ibu, pergi meninggalkan Ibu, dan lari dengan perempuan lain, kan?!”

Emosi perempuan itu memuncak. Mata ibunya membelalak.

“Jawab aku, Bu! Ibu mau pernikahan di umur ideal itu aku lakoni supaya berakhir seperti pernikahan Ibu?!”

Ibunya tergeragap. Mulutnya beku. Sesaat kemudian, hanya tangannya yang tergerak, menyeka butir-butir air yang menderas di ujung kedua matanya. Melihat ibunya menangis, emosi perempuan itu reda. Berganti dengan iba dan rasa bersalah.

Mengapa aku bisa berkata seperti itu pada ibu?

Ketika itu, perempuan itu mendekati ibunya. Dipeluknya perempuan limapuluh enam tahun itu dengan kesedihan yang tak bisa digambarkan. Ibu dan anak itu berpelukan dan bersama menangis sesegukan.

Pandangan perempuan itu kemudian lari dari langit-langit yang seperti langit saat hujan tidak sedang turun ke lemari buku. Matanya tertumbuk pada sebuah buku berwarna merah muda. Ia berdiri dari tempat tidur dan meraih buku itu. Arranged Marriage --Perjodohan karya Chitra Banerjee Divakaruni. Ia mengingat pernah membeli buku ini dua tahun lalu di sebuah festival buku namun belum pernah membacanya.

Perempuan itu mulai membuka halaman pertama dan mulai membaca. Ia terus membaca hingga matanya tidak mampu lagi berkompromi dengan rasa lelah, fisik maupun psikis. Ia tertidur selama dua jam sebelum akhirnya alarm di telepon genggam membangunkannya di tengah malam, menjelang hari berikutnya.

***

Tidore-Ambon, 4 Juli 2022


Tuesday, November 06, 2018

CERPEN MALUT POST, 27 OKTOBER 2018


P E N C A R I A N

Aida Radar

Sumber Gambar: Valentino Luis

Anak Muda itu hilang. Kabar menyebar cepat di pulau ini hingga tiba padamu. Dari mulut ke mulut orang-orang di sekitar guest house tempat Anak Muda itu menginap sampai ke penjual sayur mayur di Pasar Goto. Kabar kemudian dibawa dalam bokor ibu-ibu di mobil penumpang yang pulang ke desa di lereng Kie Matubu setelah sehari penuh berjualan, dan sampai di telingamu.

Hari masih sangat muda bagi manusia yang kamu kenal untuk mulai mendaki Kie Matubu saat kamu melihat Anak Muda itu melintasi ladang tempatmu memacul tanah-tanah kering untuk ditanami biji-biji jagung manis. Matahari bahkan belum datang di ufuk timur.

“Jalan mana yang harus saya lalui untuk sampai ke puncak Kie Matubu?”

Anak Muda itu berbicara padamu setelah menyapa dan memperkenalkan diri dengan singkat. Saya dari Jakarta, katanya.

Kamu mengangkat telunjuk tangan kanannya. Mengarahkan mata Anak Muda itu pada sebuah jalan tanah di antara semak-semak di sisi kanan. Anak Muda itu mengangguk. Mengucap terimakasih padamu lalu bergegas menuju jalan tanah yang kamu tunjuk.

“Kenapa ke Kie Matubu?” Kamu bertanya cepat sebelum Anak Muda itu berjalan lebih jauh. Penasaran. Ada Anak Muda dari ibukota, kulitnya bersih dan terawat, rambut hitam disisir rapi, berkacamata, berjalan kaku di antara rimbunan semak, meskipun memakai setelan lengkap seorang pendaki, di matamu Anak Muda itu bukanlah seperti para pegiat gunung yang kamu ketahui betul, yang mendarah daging dalam dirimu.

“Saya pernah melihat Kie Matubu di Majalah National Geographic. Seseorang merentangkan tangannya seperti ini di puncak gunung.” Mengatakan ini, kamu melihat Anak Muda itu menengadahkan wajahnya ke langit dan menutup mata, merentangkan tangannya. Kamu melihat Anak Muda itu merasakan harapan akan kedamaian yang ditawarkan sebuah gambar di majalah para petualang.

Kamu tentu tahu gambar apa yang dimaksud Anak Muda itu. Saat gambar itu pertama kali dimuat di majalah berskala internasional itu, orang-orang di satu pulau ini begitu bergembira. Kegembiraan akan harapan tentang kejayaan masa lalu yang mungkin akan berulang, berubah menjadi masa depan. Harapan yang kamu sangsikan, namun jauh di lubuk hati juga kamu inginkan.

“Saya jalan ke atas, ya,” kata Anak Muda itu.

Kamu mengangguk. Mempersilakan Anak Muda itu beranjak dan kembali menekuri tanah kering untuk biji-biji jagungmu.

*

Kabar hilangnya Anak Muda yang tiba di telingamu hari itu mengganggumu. Telah tiga hari berlalu sejak kamu menunjukkan jalan ke Kie Matubu padanya. Hari itu semestinya kamu menghabiskan siang di ladang dengan tanah kering yang kini basah karena hujan yang mengguyur selama tiga hari. Tanah basah itu adalah harapan bagi kehidupan biji-biji jagungmu yang telah kamu semai.
Kamu benar-benar terganggu. Karenanya, kamu tidak mengindahkan tanah kering menjadi basah itu. Bakda subuh kamu justeru bersegera ke gudang dan mengambil sebuah tas hitam yang hampir berubah warna karena debu tebal yang menempel di hampir segala sisinya. Sembari menjinjing tas itu, kamu ke luar rumah dan berlari mengikuti jalan menuju puncak Kie Matubu.

*

Anak Muda itu siuman. Istrimu langsung berlari memanggilmu setelah mendengar suara lemah Anak Muda itu dari dalam kamar. Kamu masuk ke dalam kamar dan mendapati mata Anak Muda itu terbuka, dengan sorot yang lemah.

“Saya ada di mana?”

Kamu mendekati dipan tempat Anak Muda itu terbaring.

“Kamu ada di rumah saya.”

“Kenapa saya bisa ada di sini? Apa yang terjadi? Seingat saya, saya sedang mendaki menuju puncak Kie Matubu.”

Kamu menceritakan segala yang terjadi pada Anak Muda itu. Mulai dari kabar hilangnya hingga ditemukannya ia setelah tiga hari tidak diketahui keberadaannya. Kamu menemukannya pingsan di sebuah jurang jauh dari rute ke puncak Kie Matubu. Awalnya kamu mengira Anak Muda itu telah meninggal dunia. Namun detak jantung yang samar-samar kamu rasakan di dadanya membuatmu segera mengangkatnya di pundakmu dan berusaha sekuat tenaga menaiki jurang, menerjang semak belukar dan berlari kencang menuju rumah.
Badan Anak Muda itu bergetar mendengar ceritamu. Kamu menenangkannya.

“Demammu belum turun. Banyak luka di sekujur tubuhmu. Syukurlah kaki dan tanganmu tidak sampai patah, hanya terkilir. Kamu tidak boleh banyak bergerak dulu. Istirahatlah lagi. Saya akan menunggu di luar. Bila memerlukan sesuatu, jangan segan memanggil saya dan istri.”

Anak Muda itu mengangguk pelan. Ia kembali menutup matanya. Dari bibirnya, kamu mendengar ia mengucapkan terimakasih dengan nada suara yang lemah.

*

“Mengapa kamu memutuskan untuk mendaki gunung? Dari yang kulihat, kamu tidak pernah punya pengalaman mendaki gunung sebelumnya. Kamu bahkan hampir mati di atas sana.”

Telah sepekan Anak Muda itu kamu dan istri rawat di rumahmu. Hari ini ia sudah bisa makan dengan baik, bangun, dan berjalan ke luar rumah, walau hanya selesai di beranda. Ia duduk di pasangan kursi yang sedang kamu duduki di beranda.

“He-eh... kelihatan benar ya kalau saya belum pernah mendaki gunung?”

Kamu menaikkan kedua alis mata. “Bukan kelihatan lagi. Terang benderang malah.”

Anak Muda itu tersenyum bersama rasa sesal di wajah yang mengiyakan.

“Bulan lalu saya menonton sebuah film lama. Judulnya The Lunchbox, Bekal Makan Siang. Film India. Hehe... Aku menonton film India.”

Anak Muda itu terkekeh, seperti menahan malu. Mungkin menyangka kamu akan menertawakan seorang lelaki muda bercerita tentang menonton film India, bukannya film-film action Hollywood yang nampak lebih menunjukkan jati diri kelelakiannya.

Tetapi kamu diam. Mengingatkan dirimu yang muda tumbuh dewasa bersama film-film India yang diputar di sebuah channel televisi pendidikan yang kini telah berganti nama.

“Dalam salah satu scene-nya, eh... Bapak tahu scene?”

Kamu tertawa sejenak.

"Saya tahu. Lanjutkan.” Kamu membawa ingatanmu pada sebuah ruangan di kampus di mana kamu dan teman-temanmu duduk, menonton film dan membedahnya setiap sekali sebulan.

Mata Anak Muda itu menyiratkan ketakjuban. Mungkin tak menyangka seorang petani di sebuah pulau yang jauh dari Jakarta bisa mengetahui istilah semacam itu. Kembali ia melanjutkan ceritanya.

“Dalam salah satu scene-nya, pada suratnya untuk Tuan Fernandes, Ila, salah satu tokoh utama film ini, bercerita tentang kehidupan tetangganyateman bercerita dan teman masaknya bernama Bibi Deshpande. Bibi Deshpande mempunyai seorang suami yang pernah koma selama 15 tahun. Meskipun para dokter telah lepas tangan, suatu hari di rumahnya suami Bibi Deshpande terbangun dari komanya.”

“15 tahun koma bisa terbangun lagi?”

“Iya. Begitulah yang Ila ceritakan.”

“Iya... iya... lalu?”

“Sesaat setelah terbangun, hal pertama yang dilakukan suami Bibi Desphande adalah memperbaiki kipas angin tuanya yang belum rusak, lalu melihat baling-baling kipas itu berputar. Tanpa berkata apapun, suami Bibi Deshpande melakukan hal itu hingga merasa mengantuk dan beranjak tidur. Keesokan harinya, suami Bibi Deshpande bangun seperti biasa, seperti orang yang tak pernah koma, masih tanpa berkata apapun pada siapapun, dan mulai memperbaiki kipas angin tua yang tidak sedang rusak, lalu melihat baling-baling kipas itu berputar. Selama berhari-hari, tanpa berinteraksi dengan istrinya, suami Bibi Deshpande hidup seperti itu. Hingga suatu ketika, listrik padam. Karena suami Bibi Deshpande tak melihat baling-baling kipas angin yang diperbaikinya berputar seperti biasa, ia langsung terdiam. Seperti mati. Tak lama kemudian, listrik menyala, baling-baling kipas angin mulai berputar lagi. Mata suami Bibi Deshpande kembali memiliki nyawa, bergerak dan melihat kipas angin yang diperbaikinya berputar. Sejak saat itu, untuk membuat suaminya tetap hidup, walau tanpa berinteraksi dengan dirinya, Bibi Deshpande memutuskan untuk memasang genset di rumahnya.”

Anak Muda itu menatap matamu. Kamu melihat mata Anak Muda itu sejenak. Kamu mendapati ada ketakberdayaan di mata itu.

“Menutup suratnya pada Tuan Fernandes, Ila menulis, entah berkata pada dirinya sendiri atau benar-benar bertanya pada Tuan Fernandes ‘untuk apa kita hidup?’”

Anak Muda itu terdiam.

Kamu melihat wajahnya menatap sesuatu di kejauhan. Namun kamu yakin mata itu tidak sedang menatap apa-apa.

“Saya tidak tahu, tiba-tiba kata-kata penutup surat Ila itu menohok saya. Bertahun-tahun saya bekerja sebagai seorang white collar worker dan menikmati hasil kerja saya tanpa memikirkan apa yang ditanyakan Ila  itu. Lalu mendapati ‘untuk apa kita hidup?’, saya merasa seperti ditujukan pada saya. Menghujam! Saya seperti...Hufh...”

Anak Muda itu menarik dan membuang napasnya dengan susah payah. Kata-katanya terhenti. Kamu merasakan getaran dalam suara Anak Muda itu. Getaran yang kamu kenal. Getaran yang pernah kamu alami, dulu.

Istrimu datang ke beranda. Di tangannya ada nampan berisi dua mug kopi yang asapnya mengepul.

“Ini namanya Kopi Dabe. Dibuat dari campuran kopi dan rempah-rempah asli Tidore. Kamu bisa minum kopi, kan?”

“Tentu! Saya ini seorang pecinta dan peminum kopi.”

Sesudah menyeruput satu teguk Kopi Dabe, kamu berkata pada Anak Muda itu, “selama masih bernapas, kita masih akan terus bertanya-tanya, tentang alasan mengapa kita harus hidup.”

“Apakah sampai sekarang Bapak masih bertanya?”

Kamu memandang jauh ke depan. Mengangguk pelan.

“Masih. Masih… sampai saat ini.”

Anak Muda itu terdiam. Meresapi rasa dalam kata-kata yang kamu sampaikan. Sesaat kemudian Anak Muda itu tersenyum tipis. Ia memandangimu.

“Saya masih akan terus mencari, Pak. Dan juga, bertanya.” Anak Muda itu berkata dengan mantap. Binar di matanya menyala.

“Oh ya, ngomong-ngomong, Kopi Dabe ini enak..” Anak Muda itu mengangkat mug yang telah setengah diseruputnya.

“Tentu saja! Istri saya yang membuatnya!” Kamu menganggukkan kepala. Penuh kebanggaan dan rasa cinta.

“Hehe... Tentu saja...”

Mereka berdua lanjut menyeruput Kopi Dabe masing-masing dengan pelan, dengan penuh penghayatan, dengan pertanyaan-pertanyaan, tentang makna hidup yang masih akan terus membayang.

Di kejauhan, jauh dari desa di lereng Kie Matubu, di antara garis pantai yang memisahkan laut dan daratan Tidore, Ternate, dan Maitara, senja turun pelan-pelan.

*

Tidore, 25 Oktober 2018