Monday, December 21, 2015

Puisi Harian Fajar Makassar (Ahad, 20 Desember 2015)



















KITA BEGINI SAJA

Ada perbedaan yang tak akan pernah bisa bersama
Sebab menyatu baginya adalah sebuah petaka
Sebab berpadu baginya adalah letupan-letupan airmata
Perbedaan ini bersinar di antara kita
Yang tahu benar arti cahaya
Hanya jika dipandangi dari jauh.
Kita begini saja

Ada perbedaan menganga yang tak akan pernah bisa bersatu
Perbedaan ini membentang bukan sepanjang galah
Tak terhingga dipaku mati di tengah-tengah
Di antara kita
Mari tidak memaksa jagat raya
Kehilangan bentuknya.
Kita ya begini saja
Berbeda
Terpisah
Berjarak
Menikmati mentari pagi
Sebagaimana biasa.
*
Untuk M di sebuah kota yang nun jauh di sana

—Bandung, 17 Desember 2015
~Aida Radar~ 

*

Klik icon soundcloud di bawah ini untuk menuju ke pembacaan puisi di atas. ^^
https://soundcloud.com/aida-radar/puisi-aida-radar-kita-begini-saja-aida-radarmp3

Sunday, December 20, 2015

(Kembali) Membacakan Puisi ^^

















PADA SEBUAH MALAM, ENGKAU BERJALAN

TELAPAK kaki yang membawa langkah-langkahmu
pada sebuah malam yang dinginnya asing
adalah persembahan rahasia yang tak kau kehendaki.
Dan lengan jalanan lengang dipilih menjadi altarnya.

Daunan pohon di kiri-kanan mengingatkan
tak henti-henti sebuah kejadian
dari mimpi buruk dalam tidurmu.
Yang membuat segenap waktu adalah duka
hingga kau lupa pada rasa takut.

Dan bayanganmu ditelan bayangan pohonan
yang hilang jua di bawah bayangan langit.

Seperti inikah kehidupan di belakang punggung matahari?

Engkau bertanya kepada senyap yang melingkup.
Cahaya matamu meraba-raba arah dalam redup.
Gerangan di mana diletakkan seluruh tujuan.

Engkau terus berjalan di sela-sela percakapan
angin dan ranting-ranting yang tak kau pahami,
mengabaikan setiap persimpangan yang kau temui.

Seperti kakimu bukan kakimu,
seperti tubuhmu bukan tubuhmu,
Seperti segala sesuatu bukan milikmu,
kecuali pertanyaan,
sebab jawaban bukan pula pengetahuanmu.

Maka engkau terus berjalan.
Engkau terus berjalan…
*

(Puisi M. Aan Mansyur dalam “Aku Hendak Pindah Rumah” hal. 158)

Puisi ini saya bacakan via Soundcould.
Sila mendengarkan. :D

Tuesday, October 13, 2015

Selamat Tahun Baru 1437 Hijriyah





Pada ceramah Tahun Baru 1437 Hijriyah bakda Isya tadi di Masjid Daarut Tauhiid Bandung, KH. Miftah Faridl menyampaikan beberapa hal terkait hijrah. Selain menceritakan kembali proses dan semangat hijrah Nabi SAW dari Makkah ke Madinah dan dorongan untuk membumikan penanggalan hijriyah dalam keseharian, poin utama yang bisa saya tangkap dari seluruh isi ceramah  KH. Miftah Faridl adalah penyampaian tentang salah satu ciri keberuntungan atau ciri kerugian manusia dalam hidup.

Kata Pak Kiyai, salah satu cirri keberuntungan hidup bagi manusia adalah diberinya kesempatan berumur panjang. Selanjutnya, kesempatan umur panjang tersebut dimanfaatkan dengan selalu berusaha memperbaiki diri demi menjadi pribadi yang lebih baik dari hari ke hari hingga kelak dapat meraih khusnul khatimah. Kesempatan untuk tak henti-hentinya memperbaiki diri inilah salah satu bentuk hijrah seorang muslim/muslimah untuk mendekati Rabb-nya. Meskipun demikian, hijrah hanya akan mencapai maknanya apabila dilakukan dengan ikhlas hanya untuk meraih ridha Allah Azza wa Jalla, sebagaimana keikhlasan Baginda Nabi SAW dan Para Sahabat yang berhijrah 1437 tahun silam.

Sedangkan salah satu ciri kerugian manusia dalam hidup adalah diberinya kesempatan berumur panjang namun tak digunakan umur panjangnya itu untuk berhijrah.

Allahualam.

Wednesday, August 26, 2015

Puisi Alek Subairi

The Classic














EMPAT SORE
Oleh Alek Subairi

:Choirul Wadud, Timur Budi Radja,
Mahendra, and seorang yang tak dikenal

1
Seseorang berangkat mincing pada empat sore
dengan kail nomor 9, and sekantung
cacing bakau yang sehat.
Ada bayang-bayang mujaer, gabus, udang galah
yang senang menerima umpan rendah hati.

Ia mengerti di mana memilih tempat duduk,
mencium udara yang mengirim aroma bunga bangkai,
limbah plastik, dan hewan melata.
Sabarlah sungainya, tenanglah pandangannya
sepilah bahasanya.

Sebab bila air keruh datang, ia
seseorang yang tak berniat melaporkan
pabrik-pabrik bocor, penambang pasir,
bangkai ikan, dan suara-suara terjepit
di palung yang murung.
Sebab ia tahu, berita koran dan televisi
membirukan yang hitam, menghitamkan yang
merah, memutihkan yang
kelam dalam sekali pandang.

2
Seseorang yang lain menemui Asarnya
di depan rumah tanpa bilang-bilang.
Tak mengapa kalau ada yang menerka yang tidak-tidak,
sebab dengan demikian kebajikan tetap di peluknya,
ketika yang lain-lain mabuk dalam prasangka.

Kalau ia sampai di tikungan, dan sore yang segar
mengatakan, berjalanlah lurus dalam niat yang
mengasuh tabahmu. Lalu ia jadi yang ingin
menerima kabar dari yang tersembunyi.

3
Seseorang yang lain lagi, terjebak macet
di jalan A Yani yang terkenal. Ia berdoa kecil-kecil,
semoga makan malam yang ia rencanakan
berjalan sungguh-sungguh.

Jangan ada polisi yang menghalangi jalannya
jangan ada belokan tajam, sehingga ia tak
terseret mampir di warung lain yang
tak mencatat namanya, lalu malamnya jadi
dusta yang menghambat rejeki dan imannya.
Sungguh jangan.

Bukankah Tuhan tak bersama orang yang terburu-buru?

4
Tapi ada yang mengalir ke arah lain,
seperti kaum yang menjalankan ibadah
dengan sembunyi-sembunyi. Biarkan.
Jangan dihalang-halang. Jangan pula diolok-olok.
Sebab kita tak tahu di lubang mana
sunyi mengalir.

2012.

*Puisi ini termaktub dalam Through Darkness to Light, sebuah antologi dwibahasa penulis-penulis Indonesia yang diundang menghadiri Ubud Writers and Readers Festival 2013 di Bali.

Versi Bahasa Inggris puisi ini dapat dibaca di sini
Juga suara saya membacakan versi Bahasa Inggris-nya dapat didengar di sini. ^^