Saturday, December 22, 2012

SATU CERITA YANG TELAH SAMPAI PADA ENDING







pada sebuah pigura di kamar utama, selalu kutanam bunga beragam jenis dan warna, menyirami dan menjaganya dari tangan-tangan casanova, yang menebar pesona pada gadis-gadis bermata hijau, dengan modal sepotong sajak cinta dan setangkai mawar merah


saat bepergian aku kerap takut akan ada satu tangkai saja bunga-bunga itu me-layu, sebab di tiap tetes air yang mengenyangkannya pagi sore, telah kubangun sebuah rumah mungil di depan laut dan dalam pelukan gunung-gunung bisu
 ......

SELANJUTNYA DI: http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2012/12/22/satu-cerita-yang-telah-sampai-pada-ending-518801.html 

Tuesday, December 11, 2012

PUISI PRES 2

















seorang adik pernah bertanya

“kak, mengapa banyak penyair maskulin betah berlama-lama menulis sajak di atas pasir? tidakkah mereka berniat menulis di atas sebuah undangan mawar merah?”

aku bimbang. tak punya jawaban. tapi harus ada jawaban. adik tidak pernah puas  dengan gelengan.
“entahlah. mungkin saja mereka takut senyum gadis muda membuat kata-kata yang mereka lahirkan di koran-koran  cemburu dan akan bunuh diri sebelum diterbitkan."

adik itu kaget. dua bola pimpong menggelinding di matanya.
“ow! mengapa bisa begitu, kak?”

aku tersenyum puas. sebuah jawaban pamungkas siap mengunci pertanyaan-pertanyaannya.
“entahlah, dik. kakak tidak tahu. kakak bukan seorang pernyair.”

Saturday, December 08, 2012

Thursday, December 06, 2012

TAK HANYA SEKEDAR NAMA



Z panggil kamu siapa ya?
Z panggil Kk yaaa... J
Z panggil ......... yaaa... J

Kerap, dalam pergaulan sehari-hari saya kesulitan memanggil atau menyapa seseorang dengan sapaan panggilan yang tepat. Panggilan/sapaan yang tepat sangatlah penting bagi saya. Sebab dengan mengetahui panggilan yang tepat dari lawan bicara, saya akan mendapatkan kenyamanan berinteraksi dengannya. Tiga kalimat bercetak miring di atas, sering saya gunakan ketika kali pertama berinteraksi dengan seseorang, baik face to face, telpon atau sms, memberi atau menjawab komentar di blog maupun via jejaring sosial: facebook dan twitter.

Saya menggunakan 3 kalimat itu, bukan tanpa alasan. Tak sekedar basa basi di awal perkenalan, atau mencairkan suasana yang tadinya kaku karena baku. Mengenai nama panggilan ini, saya teringat pada kebiasaan (atau budaya?) orang-orang di Negeri Sakura (Efek terlalu sering membaca manga :D). Jika seseorang belum terlalu akrab dengan seseorang lainnya, dia akan memanggil orang tersebut dengan nama keluarga atau marganya. Namun apabila dua orang atau lebih telah lama bergaul bersama (bisa dikatakan teman sejak kecil atau teman karib) mereka biasanya telah saling menyapa dengan menggunakan nama kecil/nama kesayangan. (Eh, ternyata bukan hanya di Nippon saja kebiasaan ini lho, seluruh dunia menggunakannya ternyata. Aiiihhh... Mari membuka buku Geografi lagi. ;D)

Contohnya seperti  Koizumi Junichiro (bila sudah masuk dunia internasional, nama keluarga/marga akan berada di belakang, menjadi: Junichiro Koizumi). Sebut saja saya ini teman kecilnya Junichiro Koizumi. Sejak dulu saya selalu memanggilnya Juni dan dia pun memanggil saya dengan nama panggilan yang saya sukai. Maka suatu ketika, bila saya memanggilnya dengan mana Koizumi­-San, dipastikan dia akan memelototi saya. Apakah dia sedang marah padaku? Apakah aku telah melakukan kesalahan? Apakah aku telah menyakitinya? Mengapa dia memanggilku begitu? Saya memastikan pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menghiasi isi kepala Juni, sebab panggilan nama keluarganya telah menandakan ada yang berbeda dari saya terhadapnya. Ada jurang yang telah memisahkan saya dan Juni tersebab panggilan yang tidak biasa itu. Tiba-tiba kami akan menjadi asing satu sama lain. 

Begitu pula ketika hari pertama masuk ke kampus sebagai murid baru, tiba-tiba saya yang belum pernah dilihat sebelumnya langsung menyapa Junichiro Koizumi  dengan nama kecil/nama rumah: Juni, bukan nama keluarga: Koizumi, maka orang-orang di sekitar (terutama teman-temannya) akan kebingungan dan bertanya-tanya: Siapa dia? Kenapa dia memanggilmu Juni? Memangnya kau mengenalnya? Kalau kejadian itu telah terjadi, mereka akan sampai pada kesimpulan: Gadis itu pasti tertarik padamu.Sepertinya dia sudah lama memerhatikanmu. Sepertinya dia ingin menjadi temanmu, dan bla bla bla...

Oleh karena itu, nama panggilan bagi saya tidak hanya sekedar nama. Lebih dari itu. Nama panggilan menurut saya adalah sebuah penanda keakraban pergaulan saya dengan seseorang. Selain itu, nama panggilan juga bisa menjadi jurang pemisah —yang mempunyai jarak yang berbeda, antara saya dengan seseorang. Ketika saya memanggil seseorang dengan nama lengkapnya, itu berarti saya mempunyai respect yang luar biasa besar padanya. Seringkali momen demikian terjadi jika saya baru pertama kali bertemu. Saya mempunyai sense of respect yang tinggi, kan? *hueeekkk* :D

Selama 4 tahun lebih bermukim di Makassar, saya merasa lega dengan banyaknya kata sapaan yang bisa dipakai untuk membagi-bagi kedudukan seseorang di mata saya dalam pergaulan sehari-hari. Bila menyapa orang yang lebih tua atau seseorang yang dihormati atau seseorang yang baru dikenal atau seseorang yang saya belum terbiasa dengannya, saya bisa menggunakan “kita”. Penggunaan -‘ta dan -‘ki juga sering saya gunakan pada teman yang sudah lama saya kenal, tetapi itu mengindikasikan saya masih segan dan belum memahami karakter orang tersebut dan saya tidak ingin membuatnya marah dengan sok kenal sok dekat sok akrab. Nah, untuk mereka yang sudah akrab sekali, kebangetan dekatnya, saya tidak segan-segan memanggil langsung nama kemudian menggantinya dengan “kau”, “-‘ko”, “-mu”, dan nama-nama yang kami sepakati bersama.

Nah, karena kebiasaan yang sudah dibangun itu, saya akan memperoleh kesulitan baru apabila berinteraksi dengan orang Non-Sulawesi Selatan atau mereka yang tidak memahami dialek Sulsel. Kesulitan ini banyak terjadi di sms. Saat berada pada kesulitan menentukan kata ganti nama panggilan itu saya biasanya mencari aman dengan menggantinya dengan “dirimu”, “ngon (untuk orang Tidore)”, kamu. Saya menghindari menggunakan “anda” untuk menyapa. Sebab memanggil seseorang dengan “anda”, sama artinya saya telah membangun sebuah dinding pemisah yang sangat asing antara saya dan orang itu. Dan saya tidak mau hal itu terjadi. Tapi saya tahu kadang saya memilih menggunakannya jika orang yang saya ajak bicara membuat mood saya menjadi jelek atau saya memang sudah tidak sreg pada orang itu sebelum-sebelumnya.

Mengenai nama-nama yang kami sepakati bersama itu, dalam keseharian saya kemudian mempunyai sangat banyak nama panggilan. Setiap komunitas berbeda yang saya masuki, setiap panggilan saya akan berbeda pula. Tak hanya nama dari akta kelahiran dan nama panggilan orang-orang di rumah, saya senang karena tiba-tiba saya bisa menjadi:
·      “Ocid” (Kak Atun memanggil saya demikian. Saya pun memanggilnya Kak Delia dari Rosyid dan Delia di film Tiga Hati Dua Dunia Satu Cinta),
·      “Aide” (Nendenk sering memakainya),
·      “Kak Ida” (Qia dan Asra),
·      Kak Aida (Para junior di FLP sering menggunakan ini),
·      “Da” (Kak Dyah dan Bang Benny. Meski kadang Bang Benny menggantinya dengan “Adikku”),
·      “Say dan Jeng” (ini milik Jeng Vhira), dan
·      “Aida” (ini panggilan umum. :D).

Di Kelas M EDSA, LKIM-PENA dan IMM, saya hanya punya satu panggilan: Ummu, dan para junior akan menambah embel-embel “Kak” di depan. Selain itu, saya juga sering menjadi “Mbak”, ‘Neng Gelis”, “Uni”, dan sebagainya bila seseorang yang asal daerahnya berbeda mencoba untuk mengakrabkan diri. Dengan teman-teman cewek seangkatan di SMA, kami selalu saling menyapa dengan “Say”, “Sayang”, “Cinta”, “Cin”, “Honey”, dan pokoknya yang beraroma bunga saking kelebihan akrab ikatan emosional kami. (Qiqiqiqi... :D)

Seorang sepupu saya sangat menyukai boyband asal Korena Selatan, Big Bang. Dia mengagumi G-Dragon, sang leader. Maka ketika berinteraksi dengannnya saya suka memanggilnya GD dan dia akan memanggil saya TOP/Tabii/SeungHyun, member Big Bang yang saya sukai. Max, demikian saya memanggil adik saya. Memanggilnya demikian, menjadikan kami lebih dekat dari biasa. Tapi kalau sedang marah, nama lengkap beserta marga akan keluar dari mulut saya untuknya! (Hohooohohoo... :D)

Dari semua pembahasan yang memusingkan di atas (maaf yaaa... :D), saya ingin mengutip sebuah hadits dari Baginda Rasulullah SAW: “Tiga hal yang dapat memumikan kecintaan sahabat kepadamu (yaitu) memberi salam apabila bertemu, melapangkan tempat duduk untuknya di majlis dan memanggilnya dengan nama yang disukainya” (HR. Bukhari). Kamu juga yaaa... :D

Ah, tapi saya punya satu masalah baru yang sudah lama ada. Untuk seseorang yang bermukim di hati dan pikiran ini, saya harus memanggilnya siapa, ya? :D
***

Thursday, August 30, 2012

Cerita yang Hidup di Hati


Ini adalah satu dari beberapa cerpen yang paling membekas pada diri Z mengenai Ramadhan dan hikmah di baliknya. Berulang kali Z baca, berulang kali Z akan rindu dan ingin membaca kembali. Lagi dan lagi. Kemudian Z berdoa semoga bisa memiliki hati yang lembut seperti "Istri Saya" di cerpen ini. Amiiinnn... Semoga begitu pun kamu... Selamat membaca! :D

Kenangan Ramadhan
Oleh: Hendry Ch Bangun
(Suara Karya, Sabtu, 22 Agustus 2009)

"Pa, jangan lupa nanti siang beli berasnya dua karung, yang 50 kilo. Terus, mie instan dua dus, dan sarden 25," kata ibu anak-anak saat saat saya hendak menutup pintu mobil, di pagi yang masih agak gelap itu. Saya mengangguk, menaikkan kaca mobil dan mulai berjalan. Lalu saya membayangkan akan membelinya di pasar pada saat istirahat kantor nanti siang, karena ada kios beras yang menjadi tempat saya biasa membeli dengan harga yang lebih baik dari tempat-tempat lain. Kalau mie instan, harga di pasar tidak jauh berbeda dengan di toko serba ada.

Saya memang biasa membeli beras di Ibu Titi, karena timbangannya paling pas. Bukan rahasia lagi, beras ukuran 50 kg biasanya berkurang 1-2 kg, yang ukuran 20 kg, pun demikian. Sehingga kita bisa salah hitung dalam merencanakan konsumsi di rumah. Bu Titi ini tergolong jujur, kalau dari agen besarnya kurang jumlahnya, dia akan katakan apa adanya.

Memberi bingkisan kepada orang-orang yang kami anggap kurang mampu merupakan tradisi yang sudah berjalan beberapa tahun. Aku lupa persisnya, mungkin 4-5 tahun terakhir. Awalnya kami hanya memberikan bungkusan lebaran kepada tukang ojek, tukang sampah, dan beberapa tetangga luar komplek yang berisi satu kaleng biskuit dan sirup. Maksudnya agar mereka bisa berhari raya dengan sedikit hidangan, paling tidak bagi keluarga sendiri.

Tetapi istri saya kemudian berinisiatif memberikan pula bingkisan yang berisi beras 5 liter, mie instan 4 bungkus, sarden satu buah, kadang ditambah gula dengan teh atau kopi. Tidak jelas berapa kali, tapi seingat saya-karena semua dia yang mengatur-dua kali dalam setahun. Kalau tidak salah itu terjadi ketika terjadi krisis moneter yang membuat kehidupan susah. Rupa-rupanya dia tidak tega melihat tukang ojek yang mulai kehilangan penumpang, yang kadang hanya dapat Rp 25.000 saja sehari sudah harus bekerja dari subuh sampai malam.

"Anggap saja ini zakat, membersihkan harta. Lagi pula kalau mereka lapar, tidak berkecukupan nanti pikirannya bisa macam-macam. Yang rugikan kan kita juga," kata istriku suatu saat.
Tentu saja tukang ojek gembira mendapatkan bahan pokok yang tidak disangka-sangka itu. Beras 4 liter paling tidak bisa menghidupi mereka 4 hari. Dan lauk sekadarnya sudah cukup untuk mendapatkan makan yang enak. Apalagi orang Indonesia sudah biasa makan nasi dengan lauk mie rebus.

Tukang-tukang ojek itu dekat dengan keluarga kami karena anak-anak yang bersekolah harus menggunakan jasa mereka. Ketika dulu masih ada angkot khusus yang membawa penumpang dari komplek ke kantor kecamatan, tidak ada masalah. Tetapi mobil plat hitam itu lalu dilarang akibat ada angkutan resmi dari jalan utama dekat komplek. Nah dari komplek ke jalan utama itu karena jaraknya sekitar 1 km dan perlu sekitar 6-7 menit berjalan kaki, muncullah ojek. Lama kelamaan mereka pun banyak disewa sekalian ke pasar. Untuk yang takut terlambat, ojek pilihan paling tepat. Begitu pula yang anaknya masih bersekolah di taman kanak-kanak dan sekolah dasar, lebih percaya berlangganan tukang ojek ketimbang naik angkot.

Si sulung dulu punya ojek langganan, begitu pula anak kedua dan ketiga. Dalam perjalanan waktu terjadi regenerasi di antara tukang ojek ini, tinggal satu-dua yang setia pada profesinya. Ada yang berhasil seperti Bang Satiri, dia menjadi warung sayur, yang karena ulet bahkan kini sudah punya mobil kijang. Dulu dia memulai dengan mencari pesanan, membelinya di pasar, lalu pagi hari mengantar ke warga di komplek. Istrinya keliling berdagang telur. Lama kelamaan mereka memiliki warung dan sukses. Tetapi jauh lebih banyak yang hidup pas-pasan. Kadang melihat wajahnya yang pucat saja, kita mengetahuil bagaimana sulitnya kehidupan mereka. Sungguh saya tidak tega melihatnya.

"Pa, bagaimana kalau rumput-rumput dan got itu dibersihkan Bang Mamat saja," kata istriku pada suatu saat, ketika kami sedang berbincang di depan teras, menyebut nama tukang ojek langganan anak kami. "Kenapa? Aku kan juga bisa mengerjakannya hari Minggu nanti," kataku.

"Biar dia dapat uang. Kasihan tuh, kayaknya dia lagi butuh," tambah istriku lagi.

"Ya sudah, nggak apa-apa. Panggil saja besok pagi."

Saya memahami jalan pikiran istri yang ingin memberi pancing dan bukan ikan. Dia ingin member tetapi agar tidak keenakan atau "tuman" maka orang itu harus diberikan pekerjaan. Maka di sekeliling komplek ada orang yang spesialis urusan listrik, ada tukang yang mengerjakan bangunan kecil-kecilan, yang mengecat, memotong rumput, dan sebagainya. Kami relatif dekat dengan orang-orang luar komplek ini, karena pembantu kami pun pada awal-awalnya dari kampong itu, namun rata-rata berhenti karena kawin muda atau ingin bekerja di pabrik.

***

Maka ketika istri saya berpulang Ramadhan tahun lalu, tukang-tukang ojek lah yang paling dulu datang ke rumah untuk menyampaikan duka cita. Tidak lama setelah dokter menyatakan istri saya meninggal dan kerabat memberitahu tetangga, mereka yang mangkal di ujung jalan menuju ke luar komplek, segera muncul di rumah. Mereka memang tahu istri saya sakit, apalagi ketika pulang ke rumah beberapa hari sebelumnya, dia dibawa dengan ambulans, yang tentu saja menarik perhatian.

"Ibu orang baik, Pak. Kami selama ini sudah banyak dibantu," kata seorang paling senior di antara mereka. Ada berbagai macam cerita yang mereka sampaikan, yang saya sendiri tidak tahu pernah dilakukan istri untuk kalangan bawah ini. Dengan sigap mereka pun membantu menawarkan diri untuk membantu mengatur rumah yang sebentar lagi akan ramai dikunjungi orang.

"Kami terus terang kehilangan Ibu. Kami mendoakan agar kebaikannya dibalas oleh Allah Swt," kata Bang Mamat yang kelihatan terpukul.

Selama ini aku terbiasa pergi pagi sekali dan pulang ketika sudah gelap pula. Pekerjaan saya menuntut saya harus hadir di kantor dari pagi sampai habis Maghrib, namun karena berbagai pertimbangan, antara lain kemacetan yang luar biasa maka biasanya saya mengundur waktu kepulangan. Saya suka tidak tahan harus "sikut-sikutan" di jalan raya yang bisa memancing emosi.

Keadaan ini membuat saya sering tidak tahu keadaan di rumah, termasuk yang dilakukan istri dan anak-anak. Kadang kalau sore sudah berkumpul, mereka pergi sekadar jalan-jalan ke pertokoan yang dapat ditempuh sekitar 15 menit. Kalaupun tahu biasanya hanya dari cerita mereka saja. Termasuk perkembangan keadaan di komplek. Misalnya Pak anu akan mantu, ibu anu masuk rumah sakit karena penyakit anu, dsb. Tetapi untuk yang dilakukannya, istriku jarang bercerita.

Hanya ada satu tanda-tanda bila dia melakukan sesuatu, yaitu minta tambahan uang atau minta dibelikan sesuatu yang sebenarnya anggarannya sudah direncanakan dan uangnya ada padanya. Misalnya saja, mengajak makan di restoran cepat saji Jepang yang disukainya. Kalau minta traktir artinya uang yang dia cadangkan pasti dipakai untuk keperluan lain. Baru setelah didesak dia akan mengaku.

"Iya, ngaku deh aku. Uangnya aku kasih Bu Anu untuk bayar uang sekolah anaknya," katanya suatu saat menyebut nama tetangga sebelah yang belum lama menjadi janda.

"Iya betul, uangnya aku pinjamin sama orang. Dia janji mau mulangin minggu ini ternyata dia bilang belum punya uang," katanya di saat yang lain. Entah berapa banyak orang yang dipinjami aku tidak tahu. Tapi semuanya menjadi jelas ketika soal piutang-piutang ini sempat dilontarkan pembantu kami saat jasad istri sudah terbaring kaku di ruang tamu. Dia menyebut beberapa nama, dengan jumlah uang yang kalau dijumlah bisa membeli beras puluhan karung.

"Sudah, kita relakan saja. Kalau mereka merasa mau bayar, kita terima. Kalau tidak biarkan saja," kata saya. Bagi saya, uang yang dipinjamkan itu tokh akan menambah pahala bagi istri, dikembalikan ataupun tidak.

Kenangan ini yang membuat Ramadhan kali ini terasa lain. Meskipun istri tercinta sudah pergi, dia masih meninggalkan bekas yang begitu dalam. Sepeninggalnya, tradisi member bingkisan bagi mereka yang membutuhkan terus kami jalankan.

Mudah-mudahan idenya yang terus dilaksanakan itu membuat almarhumah tidak berhenti mendapatkan rahmat dari Sang Pencipta.

"Pak, bingkisannya kapan dibagikan. Nanti atau besok," kata pembantu kami tadi pagi.

"Ya nanti dong. Justru maksudnya biar mereka memiliki beras di awal bulan puasa," kataku.

Sambil menghidupkan mobil, aku tersenyum, membayangkan senyum istri di atas sana.

***

@ Palmerah Barat, Agustus 2009

Monday, July 16, 2012

Kamu. Sekali Lagi...












PUISI DAN PERTEMUAN KITA

“kita akan lama berpisah, ya?”
“mungkin. akankah kau merindu?”
“tentu. kapan kita bisa bertemu lagi?”

hari itu,
setelah matahari berhenti terbit di mata kita,
sampai hari ini
menjadikanmu puisi
adalah caraku mengatur setiap pertemuan
denganmu.

(AR, Jogjakarta, 16.7.12;12.21pm)

Tuesday, June 26, 2012

Hmm... Puisi...
















BUKAN PERTEMUAN

seingatku,
kita tidak pernah bertemu
hari itu

meski kopi yang dihidangkan pelayan cafe
di meja yang sama,
tegukan terakhirnya menggelinjang di mataku dan -mu.

aku tahu betul!
hari itu, di jam yang sama,
kau berada di utara dan aku meranjak menuju selatan.
mana mungkin kita bertemu, kan?


walau ada pembicaraan dan tawa selingan,
ketika tanganku dan -mu bersentuhan
di dalam sebuah piring kaca
berisi brownis keju yang kita suka


aku hanya tahu
memoriku masih kosong.

dan kita memang tidak pernah bertemu
hari itu
*

- AR, 25.6.12;10:12 -

Tuesday, June 05, 2012

Mari Berpuisi


ALUR
 
seperti roda yang berlari,
ada masa ketika langit tak boleh berwarna
kecuali hitam di bawah mata-mata.
rembulan cukup purnama.
setiap wajah mencari jalan setapak
ditemani lampu minyak raksasa
meski begitu laut tetap berkilau
setiap kali cakrawala
melahirkan bayi yang masih memerah.
berkali-kali.

- AR, 4.6.12; 08:10 pm -

Sunday, May 20, 2012

My First Book before getting Bachelor Degree ^_^




“WANITA IMAM DAN LELAKI CAHAYA”
Karya Aida Radar

Beberapa karya dalam buku ini bertema pendidikan dan sarat dengan nilai-nilai religius. Aida Radar adalah penulis yang berorientasi pada pemikiran sesuatu yang ada di sekitarnya. Dari kehidupan pribadi, bertetangga sampai kehidupan sosial yang selalu mencerminkan nilai religius, moral dan sosial budaya. Berkat minat, ketekunan, kesabaran dan totalitas, penulis yang bukan berasal dari jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia ini membuktikan bahwa sastra adalah milik semua orang dan ia bisa berprestasi karenanya. Sebab sastra adalah cermin dan potret kehidupan. Saya berharap imajinasi Aida bisa menjadi motor penggerak generasi berikutnya di Universitas Muhammadiyah Makassar, khususnya di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan tempatnya menimba ilmu.
(Haslinda, S.Pd., M.Pd., Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Universitas Muhammadiyah Makassar)

Buku ini bukti bahwa tiap cerita tidak harus diselesaikan berpanjang lebar, ending yang singkat bisa menjadi sangat cukup dan mengejutkan. Sederhana tapi tetap manis. Aida yang seorang mahasiswa mampu menggambarkan kita sosok dosen dengan paket yang lengkap, tanpa menggurui di cerpen Engku Badar. Membuat para pengajar ingin menjadi seperti sosok Engku Badar. Kumpulan cerpen dan puisi ini berisi banyak pesan moral. Selamat buat Aida! 
(Muhallim Djamaluddin, S.Pd., Presenter “English Corner” di TVRI Sulsel)

Dalam buku ini, Aida Radar banyak bercerita tentang pertemuan. Pertemuan memang, sekecil apapun, oleh siapa dan apapun, akan mengundang beribu perasaan. Entah perasaan itu hanya berujung pada pertanyaan-pertanyaan, bukanlah sesuatu yang penting dipertanyakan. Yang menarik adalah adakah hal terluput dari pertemuan-pertemuan itu? Aida Radar sebagai penulis muda potensial mencoba untuk mengajak pembaca agar tidak luput dalam setiap pertemuan di alam ini. Sebagai penulis kelahiran Tidore, besar harapan kita agar Aida Radar bisa mempertahankan capaian-capaian yang diperolehnya selama ini. Sehingga kelak, penulis-penulis dari Timur Indonesia mampu berbicara banyak dalam peta kesusasteraan tanah air.
(Fitrawan Umar, Ketua Forum Lingkar Pena Wilayah Sulsel)

Tuesday, May 08, 2012

Memperkenalkan...!



Rumah lain Z neeehhh...


Berkunjung yoooo... :D


Wednesday, February 29, 2012

JATUH CINTA...


pada puisi aku menjadi gila

pada puisi
aku menjadi penyelam
yang gila
tergila-gila.
sebab palung mariana
hanya ada
di dasar katakata


Makassar, 27 Februari 2012

Saturday, February 11, 2012

Untuk Kekasih...


Muhammad SAW


aku paham mengenai

kepantasan dan ketakpantasan

: bertemu denganmu.


aku diberi-Nya isi kepala utuh

mencari-Nya, mencarimu.


rupanya 22 yang telah silam

belum menyingkap

ketahuanku akanmu, Muhammad.


betapa ingin

aku bersehadapan denganmu.

meresapi hikmahmu.

memandang cahaya di wajahmu.


bila terlampau melangit,

bolehkan aku sekedar

menatap punggungmu, wahai Kekasih?


***

(AR, 20.01.12-11.02.12)