Saturday, November 23, 2013

SAYA TIDAK TAHU BAGAIMANA MELABELI INI



















DIA

Allah,
yang jatuh cinta pada-Mu
yang jatuh cinta pada firman-firman-Mu, —Al-Qur’an itu
yang jatuh cinta pada para Rasul dan Nabi-Nabi-Mu
yang jatuh cinta pada semua Khalifah Rasulullah
yang jatuh cinta pada para Ulama
yang jatuh cinta pada Ilmu
yang jatuh cinta pada yang Makruf
yang tahu betul jalan para Pejuang
kompas untuk saya berjalan

yang mencintai segala ibu bapak
yang mencintai saya

yang bisa berbahasa Arab, agar saya punya pengajar pribadi
yang menyukai traveling, agar bisa menjelajahi bumi-Mu, bersama
kalau boleh, yang bertunangan dengan sastra
puisi-puisi terlahir dari lidah dan langkah kakinya

Allah,
saya terlalu banyak menuntutkah?
sementara jiwa sendiri masih bolong
di sana sini
saya tahu diri

Allah,
jika saya berusaha berjalan menuju-Mu
bukankah Engkau berjanji akan datang dan memeluk?

Allah,
yang Engkau persiapkan saja

terimakasih banyak
*
—AR,Bandung. 22.11.13;11.07pm

Tuesday, November 05, 2013

Di Sekitar..





SEORANG KAKAK: MALAIKAT DI SEKITAR

“di antara garangnya padang pasir, Dia pasti menciptakan oase; sesuatu yang tak bisa dengan mudah ditemui di sejuknya daerah-daerah tropis.
(Aida Radar)”

Saya mengenal seorang kakak. Awal saya berjumpa dengannya saat baru saja menjadi mahasiswa baru di kampus biru jalan Sultan Alauddin, Makassar. Waktu itu kami, saya dan teman-teman baru di kelas, sedang menunggu dosen yang —karena pekan pertama kuliah— banyak yang belum memasuki kelas kami. Pada masa menunggu itu, seorang lelaki yang memegang sebuah buku masuk dan berjalan menuju ke meja dosen. Saya dan teman-teman berpandangan dengan isi kepala kurang lebih sama, ada’mi dosen; dosen bukan ya? masih muda’ki? Ah, mungkin asisten dosen. Kami semakin yakin dengan ke-dosen-annya ketika disuruhnya kami satu per satu maju ke depan kelas dan memperkenalkan diri sebagai ritual wajib di awal perkuliahan. Maka majulah kami dari alphabet A sampai Z untuk memperkenalkan diri.

Setelah semuanya mendapat jatah maju ke depan, kami lalu menunggu lelaki itu memperkenalkan dirinya. Seperti paham keinginan kami, ia lalu mulai berbicara.”

“Sebenarnya saya bukan dosen.”

Uwauuuwauuuwauuu... Sekawanan lebah masuk di dalam kelas. Kami saling berpandangan dengan mulut dan mata penuh tanda tanya dan mulai ribut. Beberapa teman nampak marah, merasa dibohongi.

“Iya, saya bukan dosen. Saya mahasiswa seperti kalian. Mahasiswa di kelas ini. Saya berinisiatif untuk memulai perkenalan supaya kelas yang kosong ini bisa dimanfaatkan untuk saling mengenal antara kita. Terimakasih sudah memperkenalkan diri. nama saya...”

Ia memperkenalkan dirinya. Beberapa teman masih nampak bete’. Saya merasa lucu dengan ke-bete’-an teman-teman itu, sebab sejak masuk tadi tidak pernah lelaki itu mengatakan dirinya sebagai dosen. Sangkaan kami-lah yang membuatnya menjadi dosen dan tentu saja ia tidak boleh disalahkan atau dianggap berbohong dengan sangkaan sepihak itu, kan?

Dari perkenalan yang tidak biasa itu, kami semua di dalam kelas lalu menjadi teman. Tak terkecuali kakak itu. Ia adalah mahasiswa dengan penguasaan Grammar Bahasa Inggris yang sangat baik, hal yang menjadi esensi penguasaan 4 skills dalam Bahasa Inggris. Hal itu saya ketahui setelah sering berdiskusi dengannya. Ternyata dengan kemampuan itu, ia pernah menjadi pengajar di salah satu lembaga kursus Bahasa Inggris di Pare, Kediri, yang terkenal sebagai Kampung Inggris di Indonesia. Maka ia kemudian kerap menjadi tempat bertanya kami sekelas. Ketenarannya dalam Grammar tak hanya di dalam kelas kami, bahkan telinga senior dan pengurus himpunan mahasiswa Bahasa Inggris di kampus juga dimasuki informasi tersebut. Namun hal itu tak pernah membuat kakak itu merasa lebih dari kami. Saya paham betul tentang itu sebab di kelas, di depan dosen, sepanjang beberapa semester, tak penah terlihat ia mencoba dengan sengaja menonjolkan diri atau dengan sengaja mencuri subyektifitas dosen. Ah, saya banyak belajar dari kerendahan hati kakak itu.

Dalam masa-masa kuliah tak jarang saya mendapat cerita perihal pencapaian kakak itu. Di sebuah lembaga kursus ternama di Makassar, di antara peserta ujian TOEFL yang diselenggarakan, kakak itu mendapatkan nilai tertinggi dari peserta yang berasal dari kampus-kampus negeri dan swasta di dalam kota. Wah, kagum sekali saya mendengar cerita itu. Saat saya sampaikan apresiasi untuk nilai tertinggi itu, ia hanya tersenyum dan mengatakan itu bukanlah hal yang patut dikagumi. Saya benar-benar tidak menemukan kesombongan sedikitpun dalam nada bicaranya. Ah, saya semakin banyak belajar.

Hari berganti. Kalender berbeda gambar masjid beberapa kali turun dari tembok asrama. saya berangkat dan pulang kuliah dengan semangat yang kadang hendak mencapai langit, juga semangat yang kadang terjerembab jauh ke dasar lautan. Di akhir-akhir semester dan sedang menulis proposal skripsi, saya dan seorang teman tertarik untuk mengikuti sebuah program kursus dua bulan belajar Bahasa Inggris di kampus di Amerika. Program yang dicanangkan sebuah lembaga pendidikan Amerika yang ada di Indonesia. Program yang sangat terkenal dan menggiurkan. Yeaaah, sebagaimana kita ketahui bersama, setiap mahasiswa Bahasa Inggris pasti menyimpan angan untuk bisa menginjakkan kaki di antara tiga negara: Amerika, Inggris dan Australia (masuk pula New Zealand di sini), di mana orang-orang yang bahasanya sedang kami pelajari, bermukim.

Hanya saja saya punya masalah. Saya belum pernah ikut ujian TOEFL sebelumnya. Padahal salah satu syarat mengikuti seleksi program itu adalah kepemilikan sertifikat TOEFL ITP dengan skor minimal 450. Saya kebingungan. Namun hal itu tak berlangsung lama. Saya dan seorang teman itu menemukan ide yang kemungkinan bisa menyelesaikan permasalahan kami: Kakak berkemampuan Grammar yang baik dan pemeroleh skor tertinggi ujian TOEFL. Kami memintanya menjadi guru, mengajarkan kami cara-cara menghadapi dan menjawab soal-soal TOEFL. Dengan beberapa kali bujukan, kakak itu menerima permintaan kami dengan syarat serius belajar! Kami dengan semangat mengiyakan. Jadwal ditentukan Rabu dan Sabtu pagi, tempat belajar di pelataran kiri masjid kampus.

Satu hari setelah deal program belajar TOEFL itu, kakak itu memberi saya soal-soal structure dan written sections setebal kertas A4 dalam satu rim. Saya kaget luar biasa. Kakak itu tidak main-main memulai program belajar kami. Antusiasmenya mengalahkan antusiasme saya dan teman. Kami semakin terlecut untuk belajar.

Program belajar berjalan dengan lancar dalam beberapa kali pertemuan. Saya dan teman mulai mendapatkan gambaran dan trik-trik ujian yang akan kami ikuti. Rabu dan Sabtu pagi setia menemani kami di pelataran kiri masjid kampus. Sampai suatu hari saya dan teman saling menyampaikan ketidakenakan kami tentang kakak itu. Bagaimana tidak? Program belajar kami ini sudah gratis, diberi pula bahan dan soal-soal latihan TOELF tanpa ada uang kami yang keluar. Tak hanya itu, kakak yang akan ke kampus hanya untuk urusan proposal skripsi, harus menempuh jarak tidak dekat (dari sekitaran kampus di Tamalanrea ke Alauddin) dua kali sepekan untuk mengajar saya dan teman, tanpa pernah meminta ongkos pete-pete yang dua kali diganti. Bagaimana kami tidak enak hati? Maka kami berniat, dengan patungan, membelikan kakak itu sebuah baju koko.

Sebab saat itu bulan Ramadhan, saya dan teman menuju ke Masjid Al-Markaz yang halamannya menjadi pasar musiman, untuk membeli baju koko untuk kakak itu. Sebuah upaya kecil kami mengurangi ketakenakan hati.

Pertemuan belajar selanjutnya, setelah selesai belajar, saya dan teman memberikan baju koko yang kami beli secara patungan pada kakak itu. Lama dipandanginya pemberian kami, setelah sebelumnya menolak menerima. Pemberian itu ia terima karena kami “mengancam” tidak mau melanjutkan belajar jika tidak diterima dan dengan sebuah syarat: itu pemberian pertama dan terakhir kami padanya.

“Kak, kenapa’ki tidak mau menerima pemberian-pemberian selanjutnya?” Entah saya atau teman bertanya.

Lalu kata-kata yang dikeluarkan kakak itu sesudah lama memandangi pemberian kami tidak pernah bisa saya lupakan, “saya takut tidak bisa lagi ikhlas mengajar setelah menerima pemberian ini. Saya takut nantinya saya mengajar hanya untuk mengharapkan diberi ini itu. Saya takut sekali.” Seketika itu, saya dan teman seperti kaku. Kami saling memandangi dengan mulut yang menganga dan mata yang menyiratkan ketakpercayaan (ketakjuban). Ah, kami semakin, semakin belajar banyak.
*

Sebagaimana yang saya tulis di atas, setiap mahasiswa Bahasa Inggris selalu punya keinginan sampai di negara-negara Native English. Tak terkecuali kakak itu. Maka pada sebuah pertemuan belajar, pada kakak itu saya tanyakan mengenai keinginannya pergi ke luar negeri.

“Kak, kenapa’ki mau ke luar negeri? Amerika? Inggris? Australia?”

Tanpa pemaksaan atau tanpa dibuat-buat untuk mendapatkan kesan baik, kakak itu dengan tenang menjawab,

“Saya.. saya ingin berdakwah.”

Seketika itu, ingin rasanya saya membenamkan diri di bagian terdalam bumi. Saya, teman dan beberapa orang yang saya kenal, yang selalu menggebu-gebu ingin ke luar negeri mungkin untuk sebuah pembuktian diri, atau mungkin juga mengejar prestige duniawi —menaikkan gengsi karena pernah menginjakkan kaki di negara adikuasa; sungguh merasa malu yang tak terkira pada kakak itu. Saya malu sekali! Sungguh!

Oh Allah, Engkau memang selalu punya cara memberi pelajaran dan penyadaran pada hamba-hambaMu ini. Allahuakbar!
*

Kakak itu, dari ceritanya, jika tidak bisa ke luar negeri, berniat masuk ke Mahad Al-Birr (sekolah Bahasa Arab dan Pendidikan dakwah Agama Islam di dalam kampus kami) untuk memperdalam ilmu Islamnya agar bisa bisa dikirim untuk berdakwah di seantero Nusantara. Subhanallah. Kakak yang baik hati, kakak yang sungguh rendah hati.
 
Sudah hampir satu tahun ini saya belum berkomunikasi lagi dengan kakak itu pascawisuda. Pernah beberapa kali saya mencoba menelepon dan sms, namun tidak ada respon. Mungkin ia berada di sebuah tempat yang tidak bisa dijangkau signal telepon genggam. Saya berharap dan berdoa pada Allah, di manapun kakak itu berada, ia senantiasa berada dalam lindungan dan Rahmah Allah. Juga suatu hari, terkabul keinginannya pergi ke luar negeri untuk BERDAKWAH. Amiiinnn...

Tuesday, October 29, 2013

Ternyata Pernah Menulis ini April Kemarin (Hasil bongkar-bongkar file) ^_^





CERITA PERJALANAN
-Bagian 1: Perjalanan Sendiri-

Kita tidak benar-benar sendiri
Ada yang selalu mengawasi
dan menjaga lewat manusia-manusiaNya
—tangan-tangan Allah yang bekerja*.

Jadi ceritanya begini. Saya, dari lahir hingga lulus SMA, tidak pernah keluar dari Pulau Tidore (tidak pernah maksudnya tidak bermukim di luar Tidore). Maka isi pikiran dan gambaran tentang hidup saat itu hanya selebar Tidore dan sesempit layar televisi di ruang keluarga. Sampai suatu ketika, di tahun 2007 silam, saya diharuskan melakukan perjalanan Ternate-Makassar dengan kapal laut selama empat hari tiga malam, seorang diri. Ya, tidak ada keluarga atau teman yang menemani.  Demi mewujudkan cita-cita menuntut ilmu, saya memberanikan diri pergi sendiri. Saat itu harga tiket kapal cukup menguras kantong, tiket pesawat apalagi.

Di Makassar akan ada kakak-kakak sepupu yang menjemput dan ‘mengurus’ saya, tapi empat hari tiga malam, saya mesti ‘mengurus’ diri sendiri. Pertama kali keluar cangkang, saya harus berani. Saya sangat bersyukur pada Allah, selama perjalanan waktu itu, saya dipertemukanNya dengan hamba-hambaNya baik yang kemudian menjadi teman perjalanan. Berkat doa saya ditambah doa mama dan papa di sujud-sujud mereka, saya tiba di Pelabuhan Soekarno-Hatta dengan selamat. Akhirnya saya menginjakkan kaki ini di tanah Celebes.

Saya ingin ke Jawa. Itu yang ada dalam pikiran saya dari tahun pertama hingga ke-tiga di Makassar. Sebenarnya sejak SMP hingga SMA, tujuan lanjut studi yang sudah saya rancang adalah di Kota Malang. Ada UMM: Universitas Muhammadiyah Malang, di sana. Namun rezeki saya ternyata berada di Makassar (sampai sekarang saya masih bertanya-tanya, takdir apa yang mengantarkan saya ke Makassar 0_0). Oleh karena keinginan berada di Malang itu sudah lama ada di hati ini, maka dengan keberanian yang dipaksakan, saya bersiap melakukan perjalanan lagi. Tujuan perjalanan adalah Malang, sepupu saya kuliah di sana, ah... saya punya tempat menginap yang pasti dan aman. Maka bersiaplah saya membeli tiket untuk sampai ke Surabaya dan lanjut ke Malang. Ada dua pilihan berkendara saat itu: pesawat yang cepat tapi menguras kantong atau kapal yang bisa dijangkau tapi memakan waktu 24 jam perjanan. Tabungan untuk perjalanan saya saat itu sebenarnya cukup untuk membeli tiket pesawat, tapi konsekuensinya: pergi bisa bernaung di samping sayap pesawat, tapi pulangnya saya harus membuat sayap sendiri untuk terbang alias menjadi burung. Wah! Itu tidak mungkin, kan? Maka dengan pasrah, saya membeli tiket kapal dan berlayar menuju Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Sendiri lagi.

Akhirnya saya akan menginjakkan kaki di pulau Jawa, meski baru di Surabaya. Selama 24 lebih berada di atas kapal antara Makassar dan Surabaya, lagi-lagi saya mendapatkan pengamanan yang super. Dari siapa? Siapa lagi kalau bukan Allah! Doa-doa yang kedua orangtua saya kirimkan tentu didengar-Nya. Saya mendapat tempat yang baik dan sangat layak. Saya katakan sangat layak sebab tiket saya yang bertuliskan economic class tapi saya dapat tempat di kelas wisata aka kelas III. Bukannya saya memanipulasi tiket nih ya, tapi karena saat itu bukan musim liburan dan tiket pesawat sedang murah-murahnya, maka penumpang kapal pun berkurang. Tempat di dek 5 milik Kelas Wisata bisa dipergunakan penumpang kelas ekonomi sesuka-sukanya. Subhanallah... Allah memang Maha Baik!

Oh belum selesai, ditambah lagi, pada waktu yang bersamaan, di kapal itu ada satu kelompok seni asal Maluku Utara yang akan melakukan perjalanan ke Bali sebab mereka akan pentas di sana. Maka saya yang awalnya sendiri, akhirnya punya teman perjalanan. 24 jam lebih menjadi hidup. Tidak boring. Saya bisa berkeliling kapal, naik turun dek satu sampai tujuh (ups! saya tidak jujur. saya belum pernah sampai di dek satu dan dua, Teman, sebab penumpang dilarang masuk ke sana. Itu area ABK. ^0^) tanpa khawatir barang saya akan kecurian karena ada yang menjaga.

Tanjung Perak selalu ramai jika kapal sandar. Kurang lebih pukul 11 pagi kapal yang saya tumpangi berlabuh di Surabaya. Saya tidak akan seperjalanan lagi dengan teman-teman seni dari Ternate tadi. Mereka ke Banyuwangi sementara Malang adalah tujuan saya. Turun dari kapal kami berpisah. Saya lalu mencari agen travel yang akan membawa saya ke Malang. Saya tahu prosedur mencari agen travel bakda turun dari kapal karena Imung CR7 (sepupu saya di Malang) telah menjelaskan rute yang harus saya ambil untuk sampai di Malang. Maka dengan memasang wajah sok tahu sok berani sok berpengalaman, saya lalu berhasil mendapat mobil travel yang nyaman. Demikian memang ilmunya, jika bolang seorang diri, jadilah orang yang sok tahu sok berani sok berpengalaman supaya tidak nampak bodoh dan tidak nampak baru sehingga tidak kena tipu di negeri orang! ;D

Saya tidak pernah bisa tidur jika berada di atas mobil dalam sebuah perjalanan. Ada kerugian yang saya rasakan jika saya sampai ketiduran. Saya akan kehilangan momen dan pemandangan yang pertama kali saya lihat. Perjalanan Surabaya-Malang saya habiskan dengan ber-wah-wah-ria sambil mengetik sms (mengabari keberadaan saya) ke tiga nomor wajib: Mama, Papa, dan Max. Dengan mengabari keberadaan, saya merasa aman dan terjaga.

Saya suka pada perjalanan. Sangat! Perjalanan-perjalanan selalu menghadirkan hikmah dan membuat saya takjub: betapa luas, betapa luarbiasa, betapa keren bumi ini. Ketakjuban itu kemudian bermuara pada ketakjuban tertinggi, betapa Maha Kuasa pencipta bumi ini: Allah SWT. Maka saya ingin terus melakukan perjalanan, singgah di suatu tempat dan belajar di sana.
Keren sekali ya hidup ini, Terimakasih Allah... :)
 
To be continued... (gak tahu kapan nulis lanjutnya. doain yooo...hihi)

*Digubah dari kata-kata Putu Wijaya di sebuah program TV di TVRI bersama Slamet Raharjo (lupa nama program dan tanggalnya). “Manusia adalah tangan-tangan Tuhan yang bekerja”.


Friday, October 25, 2013

The King and His Cub

 mencari ibu

Ini bukan foto milik saya. 
Saya menemukannya di sini ketika mengunduh materi descriptive text untuk tugas Research-based Paper di mata kuliah EFL Methodology.  
Awalnya terasa biasa saja saya melihatnya, tapi saat diperhatikan baik-baik, foto ini ternyata keren sekali. 
Sang Raja dan bayinya berjalan (seperti mencari sesuatu) berdampingan.
Ayah yang gagah dan anaknya yang cute
Cantik, ya? :)

Saya menampangkannya di wallpaper laptop dua hari ini.
Saya tidak tahu apa judul foto ini.
Namun di postingan ini saya beri judul 
"MENCARI IBU".
^_^v