Saturday, August 07, 2010

Berlatih Membedah...



MENELISIK MAKNA KESEMPURNAAN MANUSIA LEWAT

CERPEN “KELUARGA SEMPURNA” KARYA BENNY ARNAS


Oleh : Aida Radar


“…Mohon maaf bila dalam penyampaian saya tadi ada kekurangan di dalamnya, karena sesungguhnya saya hanyalah manusia biasa, manusia yang tak sempurna dan tak luput dari kesalahan...”


Kalimat seperti yang tertulis di atas ini kerap kita dapati atau bahkan kita ucapkan dalam berbagai pertemuan, baik pertemuan formal maupun nonformal. Kalimat demikian―secara tak langsung, sejatinya telah menjadi sebuah pengakuan bahwa kita, manusia, adalah mahluk yang tidak sempurna. Hal ini akan terdengar kontadiktif dengan pengertian hakikat manusia yang mengatakan bahwa manusia adalah mahluk paling sempurna yang pernah diciptakan Allah SWT. Kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah di muka bumi ini.


Ketaksamaan penjelasan itu memaksa kita untuk berkerut-kerut jidat; Lantas, apa makna kesempurnaan yang sebenarnya?


Adalah Keluarga Sempurna, cerpen karya Benny Arnas yang termuat di Surabaya Post pada medio ketiga Januari 2010 lalu mencuri perhatian penulis setelah khatam membacanya. Cerpen yang bercerita tentang keluarga yang sempurna dalam konteks yang sebenarnya ini awalnya, di September 2008, termuat dalam Orchard Road Buletin, sebuah buletin yang terbit di Singapura dengan judul Perfecto!.


Cerpen tersebut bercerita tentang kegundahan tokoh Aku (selanjutnya ‘Aku’) yang merasakan ketaklaziman dalam kehidupan rumahtangga bersama istrinya. Ketaklaziman itu ‘Aku’ rasakan sejak penyatuan dua hati mereka disahkan secara agama hingga dua tahun lebih kemudian. Kegundahan-kegundahan ‘Aku’, terbaca dalam tiga petikan berikut :


Sebenarnya ketaklaziman ini sudah cukup lama kurasakan. Ketika usia pernikahan kami baru seumur jagung. Tapi saat itu, ketaklaziman yang kurasakan lebih tampak sebagai adicita kehidupan yang telah menjadi nyata. Aku diserang euforia sebuah ektase berkeluarga yang mahalangka di zaman ini. (paragraf 2).


Tapi karena itu pula, aku makin yakin bahwa apa yang kami, lebih tepatnya aku rasakan, adalah benar-benar sebuah ketaklaziman. Ketaklaziman yang benar-benar akut. (paragraf 3)


Bayangkanlah. Aku adalah suami dengan keluarga kecil yang SE-LA-LU bahagia. Istriku tak pernah marah. Ia tak pernah mengeluh kalau uang belanja kurang. Tak pernah ada piring terbang yang menyentang-perenang di dapur. Tak juga pernah ada repetan tak henti bila si buah hati merengek di tengah malam. Istriku tak pernah seperti itu. Tak pernah, tak pernah, dan tampaknya tak akan pernah…… (paragraf 7).


Ketaklaziman keluarga sempurna dalam cerpen ini bertambah ketika anak mereka, Tio, lahir. Kelahiran Tio yang membawa kebahagiaan ‘Aku’ dan istrinya terus berlanjut tanpa kekurangan. Gerutuan teman-teman sekantor ‘Aku’ tentang segala kekurangan istri mereka dan anak-anak yang tak bisa diatur, tidak pernah ‘Aku’ dapati dalam keluarga kecilnya. Lewat pemikiran ‘Aku’, Benny Arnas mengumpamakan rumahtangga dalam cerpen ini seperti bahtera pada kolam dangkal yang tanpa riak. Bahtera yang hanya berjalan hanya pada air yang tenang tanpa ada gangguan paus, hiu putih, singa laut, gurita raksasa, apalagi badai dan ombak ganas seperti apabila bahtera direntangkan di lautan bebas.


Karena tak mampu menanggung kegundahan akan rumahtangga ‘aneh’nya itu, ‘Aku’ kemudian menumpahkan segala kegelisahannya dalam diary. Ia kerap bercerita dan menulis harapan agar suatu hari nanti dapat ia temukan kelemahan istri dan keluarganya hingga ia bisa hidup dalam keluarga yang lazim pada umumnya.


Kehidupan mereka berlanjut dengan kesibukan-kesibukan masing-masing. Hingga suatu hari, ketika ‘Aku’ pulang kantor lebih cepat dari biasa, ia mendapati sebuah pernyataan mencengangkan dari istrinya. Ternyata, selama ini, tak hanya ia yang merasakan ketaklaziman dalam rumahtangganya. Keanehan itu juga dirasakan istrinya. Istrinya mengungkapkan kalau ‘Aku’ terlalu sempurna untuknya. Apalagi kegelisahaan yang selama ini ‘Aku’ simpan dalam diary-nya juga telah dibaca istrinya. Berikut nukilannya :


…..Tapi sungguh, kata-katanya hari ini telah membuatku sadar bahwa ketaklaziman ini adalah hal luar biasa yang dapat meruntuhkan semuanya. Dan yang terpenting adalah, aku baru saja menyaksikan dan mendengarkan suatu pernyataan yang begitu menohok: Ketaklaziman ini bukan hanya milikku! Ia juga milik istriku! (Paragraf 58).


Hal yang lebih mengejutkan ‘Aku’ kemudian adalah bahwa Tio, anak yang menjadi perekat dan pemrakarsa paripurna kebahagian mereka ternyata telah meninggal dunia ketika ia sibuk dengan pekerjaannya. Cerpen Keluarga Sempurna ini ditutup dengan ending yang sungguh tak terduga.


Kami segera menuju kamar mandi, memandikan Tio, sebelum menyolatkan dan menanamnya dengan cara yang lazim. Ah, mungkin ini satu-satunya kelaziman yang benar-benar coba kami lakonkan, sebelum kelaziman-kelaziman lain yang akan kami temui dalam kehidupan kami yang baru nanti, kehidupan kami masing-masing. Kami akan berpisah.


‘Aku’ dan istrinya memilih untuk berpisah. Terlebih ketika Tio yang menjadi perekat ikatan pernikahan mereka telah meninggal. Mereka memutuskan untuk berpisah dan menjalani kehidupan sendiri-sendiri. Kehidupan yang berisi ketaksempurnaan dan tak dibayang-bayangi ketaklaziman-ketaklaziman.


Setelah menganalisa Keluarga Sempurna ini, lalu, saripati kehidupan apa yang penulis ambil darinya?


Keluarga Sempurna merupakan sebuah cerpen berisi pelajaran hidup yang bernas. Bahwa kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, dan manusia pun belum atau tak akan sanggup menjalani kehidupannya jika dihadapkan pada kesempurnaan (Meminjam pernyataan pengarangnya). Karena hakikat kesempurnaan pada penciptaan mahluk bernama manusia sesungguhnya adalah ketika ia menjalani hidup dalam ketaksempurnaannya. Wallahu’alam.

***

/Makassar, Juni 2010