Thursday, December 30, 2010

CERPEN KEGELISAHAN...



Mulai awal tahun ini hingga hari ini, ada satu kegelisahan yang mampir menambah beberapa kegelisahan pikiran Z. Sang pendatang baru itu benar-benar membuat Z pusing. Tidak tahu Z harus berdiri di posisi mana. Semua pilihan sepertinya akan menuai salah. Bingung!


Sampai suatu hari, di lima bulan silam, Z seperti menemukan diri Z (kemungkinan setelah lulus kuliah beberapa bulan lagi, InsyaAllah) dalam tokoh Sandra di cerpen Selamat Malam, Malam karya Benny Arnas. Maka Z postingkan cerpen itu di rumah Z ini (Alhamdulillah pengarangnya telah mengizinkan ^_^). Mungkin engkau pun mempunyai kegelisahan yang sama dengan Z dan Sandra, serta engkau ternyata juga menemukan dirimu dalam Sandra. Setidaknya kita bisa saling berbagi dan memberi masukan untuk mengurangi kegelisahan itu (atau bahkan bisa memecahkannya, kan? :D)


Nah, selamat membaca! ^_^


*******************


Selamat Malam, Malam

(Dimuat di Harian Global Medan, Sabtu 3 Juli 2010)

Oleh : Benny Arnas


Di beranda ini, kuhela napas perlahan. Mencoba melepaskan semua penat dan tuntutan yang beberapa waktu terakhir berlomba-lomba memerudukkanku. Ah, tiada apa yang bisa menjamin sebuah kebahagiaan, selain kemahiran bersikap arif terhadap semua ketentuan, bukan?


Entah, apakah tengah berfalsafah atau sekadar mengalihkan penyesalan-dan sedikit keperihan-terhadap keputusanku satu bulan yang lalu untuk tidak ikut serta dalam hajatan akbar itu. Aku tak tahu....


Yang coba kuselami saat ini adalah, bahwa ada sekuntum sunyi yang masih betah berlama-lama tumbuh di dahan malam yang basah. Entah bagaimana, kegelapan dan air langit yang jatuh satu-satu di tempias daun pisang di salah satu sisi pagar, seakan-akan sengaja bertaut demi merajut kesyahduan ini: Sebuah potongan masa yang begitu asyik untuk ditekuni dengan bermenung-menung. Ah, sepertinya aku terlalu mendramatisir keadaan, ya? Mungkin. Namun... jujur, setidaknya itulah yang aku rasakan.


Aku tahu, dari gaya tuturan yang kulontarkan pada mega yang belum menggantungkan bulan di sana, mudahlah bagi kalian untuk menebak seperti apa perasaanku saat ini. Bahagia; sedang jatuh cinta; mencari inspirasi untuk sebuah puisi cinta; baru saja bertemu seorang CEO sebuah penerbitan yang-entah bagaimana asal mulanya-mau menerbitkan sajak-sajakku; atau.... oww, tidak, Kawan! Semua kemungkinan-kemungkinan yang elok didengar, wangi diendus, dan (tentu saja) bergairah untuk diimpikan itu, tiadalah benar adanya. Tak ada itu! Satu kata saja yang akan mewakili apa-apa yang sedang berkeriapan dalam sanubariku: Sentimental.


Aku tak tahu, bagaimana ketersentuhan psikologis itu menderaku. Aku hanya mencoba meyikapi semua yang berlaku pada karib-karibku itu dengan kebijaksanaan yang benar-benar kuupayakan. Aku tengah mengurainya menjadi sebuah perasaan bahagia yang sejatinya memang layak kubahagiai.


"Sanra, lihatlah mereka! Berhasil semua, bukan?"


Aku hanya tersenyum sabit ketika Ibu mengatakan itu beberapa hari yang lalu. Takkah Ibu lihat bahwa aku sudah berupaya membantu keuangan keluarga dengan apa-apa yang kubisa? Memang, mungkin, di mata sebagian sesiapa, apa-apa yang kugiati masih dipandang seperdelapan mata, termasuk oleh orangtuaku sendiri.


"Bukan itu perkaranya, Sanra. Bagaimana kalau kau tua nanti. Apa masih kuat bekerja? Mau kau kasih makan batu anak-binimu?"


Nah, pada Ayah, aku tak semringah-raya ketika ia berkoar, menimpali kata-kata ibu sebelumnya. Aku tak mau-bukannya takut-ayah justru menanggapi reaksiku itu sebagai bentuk peremehan terhadap tuntutannya-bersama Ibu.


Memang sampai sejauh ini, ketiga adikku tak banyak menuntut seperti kedua orangtuaku. Namun, itu hanya masalah pembicaraan di permukaan. Maria yang kini kuliah di semester VII di sebuah Universitas di luar kota pernah mengatakan bahwa rumah kami di Perumnas akan dijualnya demi berpenghidupan dengan cara itu. Aku sempat menentang niatannya itu, namun Ayah dan Ibu justru membelanya.


"Kakak takut tak dapat warisan rumah itu, kan?"


Kalau tak ingat kalau adikku itu adalah seorang perempuan, sudah kugampar ia saat itu juga.


Masri. Adikku nomor dua yang kuliah di semester awal di sekolah tinggi setingkat universitas di kota ini tentu saja masih belum dapat dipastikan bagaimana prinsip hidupnya: berseberangan atau selurusan denganku. Yah, semua berlaku karena hingga kini, biaya kuliahnya masih menjadi tanggunganku. Ketika telah diwisuda kelak, mungkinlah dapat terbaca, akan kemana pikirannya mengembara demi sebuah pekerjaan-mungkin juga kehormatan.


Bagaimana dengan si bungsu? Ai ai, terlalu subuh membicarakan bagaimana Dika yang masih kelas tiga SD itu mencanangkan hari depannya: Menyunggi-nyunggi sebuah gengsi (mungkin semu atau... entahlah!) dan strata 'terpandang' di tengah-tengah masyarakat, atau memilih berpenghidupan dengan apa-apa yang sekiranya bisa diperjuangkan sesuai dengan kecakapan yang dipunyainya. Ah, masih lama itu....


Cicak-cicak yang bercericikan di dekat ventilasi pintu, sekejap mengalihkan lamunanku. Tiba-tiba mataku seakan tersadar pada keadaan sekitar: Malam yang masih merangkak pelan-pelan.


Hai Malam, ada apa dengan mereka yang bersembunyi di balik jubah kelammu itu? Mengapa belum jua mereka menebar lampion biru segilima itu di sekujur gelapmu?


Ya ya ya, dimafhumilah, bebintang itu tertahan dalam renjananya karena malam masih rinai. Serombongan rintik masih setengah memaksa menyeruak dari kelam-raya, berganti-gantian melubangi tanah pekarangan ini. Ah, kadangkala aku berprasangka, bahwa mereka tengah menghiburku dengan instrumentalia alamnya, kesunyiannya yang memainkan melodi yang menyayat-nyayat.


"Sudahlah Sanra, kau teruskan saja pekerjaanmu berwirausaha itu?"


Terimakasih rinai atas pembelaan (atau hanya penghiburan?!) itu. Terimakasih sekuntum sunyi. Terimakasih sebatang malam. Terimakasih... oh ya, apakah aku harus mengucapkan kata itu padamu juga, wahai angin? Atas semua kabar-kabar yang bukan kabar-kabari yang kaukabarkan padaku beberapa hari yang lalu yang menjadi musabab kesemuanya: kemarahan ayah yang memuncak; kekesalan ibu yang remuk-redam; hingga perubahan sikap karib-karibku itu.


Yah, karib-karibku yang dulu kerap menyambangiku dan berdiskusi hangat di beranda ini, tiada pernah menampakkan batang hidungnya lagi.


Dulu, ada-ada saja yang kami bincangkan. Mulai dari kelambanan pemerintah menangani korban bencana alam, kesan ketidakpedulian mereka terhadap penjajahan Israel pada Palestina, tentang berbelit-belitnya birokrasi di negeri ini, tentang walikota terpilih yang ingkar janji, bla bla bla.... Kritis. Tajam. Menusuk hingga meletuskan gelembung adrenalin kami.


Dan... yang masih segar dalam ingatan adalah, kami semua pernah sama-sama turun ke jalan beberapa bulan yang lalu, demi menuntut penegakkan hukum terhadap beberapa orang dekat petinggi pemerintahan daerah yang terlibat kasus korupsi namun dibebaskan dalam sebuah persidangan tertutup.


"Baca itu, Sanra!"


Entah aku lupa, ayah atau ibu yang menyodorkan koran itu padaku di suatu pagi buta. Yang jelas, dengan sangat-sangat terang kulihat di sana. Nama-nama kawan-kawan diskusiku di antara leretan panjang nama-nama lain yang disertai nomor (entah nomor apa?) dan tanggal lahir mereka.


Tiba-tiba, suara sedikit riuh dari dalam rumah membuyarkan lamunan dan pengaduanku pada romantisme malam ini. Kulihat ayah, ibu, Masri, dan Dika sudah di muka pintu.


"Sanra, tadi adikmu Maria menelpon..."


"Ada bukaan di bulan depan!" Ibu memotong kalimat Ayah dengan semangat.


"Iya, Kak. Jangan nggak ikut lagi, ya?" timpal Masri.


Kulihat Dika hanya melongo memperhatikan mereka yang tiba-tiba saja berbicara dengan penekanan yang serius. Tak lama, ia mengalihkan pandangan ke arahku.


Keningku berlipat tiga, mempersilakan ia melempar kebingungan padaku.


"Tadi, abis Kak Maria nelpon, Ibu, Ayah, dan Kak Masri ribut-ribut..."


Hening.


"... PNS itu apa sih, Kak?" tanya Dika polos.


Aku bergegas meraih tubuh adik bungsuku itu. Menggendong sambil mengelitiknya, sebelum bergegas ke dalam. Meninggalkan Ayah, Ibu, Andika, dan sekuntum sunyi yang masih saja tumbuh di sebatang malam yang kelam, yang masih basah, yang kian resah.***


Jakarta, April 2010



Wednesday, December 01, 2010

PROYEK ANTOLOGI TENTANG PERSAHABATAN FLP SULSEL



Assalamu'alaikum Wr.Wb...


FLP Sulawesi Selatan mengundang teman-teman anggota FLP Sulsel di mana saja berada, untuk berpartisipasi dalam proyek buku ANTOLOGI TENTANG PERSAHABATAN yang inspiratif, bermakna, dan menyentuh... ^_^

Tema : PERSAHABATAN (Pentingnya Persahabatan) Genre : REMAJA Syarat :

1. Anggota FLP Sulawesi Selatan (Wilayah, Cabang, dan Ranting)
2. Naskah Asli karya sendiri dan belum pernah dipubilkasi di media cetak nasional dan/atau daerah.
3. Naskah Boleh dari Pengalaman diri sendiri atau orang lain. (Nama tokoh dan tempat boleh disamarkan untuk menjaga privasi).
Teknis :

1. Ketik dalam MS Word, maksimal 6 halaman A4
2. font : times new roman, ukuran 12,
3. spasi : 1.5
4. Kirim ke: flpsulsel@gmail.com atau ayeQ_luvmapa@yahoo.co.id,
dengan subject : Persahabatan
5. Deadline : 27 Desember 2010.

Buruan tuliskan kisahmu, FLPers Sulsel! Naskah yang masuk ke email, akan diseleksi dan apabila naskahnya memenuhi persyaratan, InsyaAllah akan dibukukan dalam bentuk antologi bersama FLP Sulsel. Naskah yang terpilih akan diumumkan di website FLP Sulsel : www.flpsulsel.com, setelah tanggal 27 Desember 2010.

So, tunggu apa lagi? Tulis, tulis, dan tulis sekarang juga.

Goreskan Pena, Tajamkan Dakwah! SEMANGAT!!! ^_^


***

Aida Radar

(Pjs.Kood.Kaderisasi FLP Sulsel)

ayeQ_luvmapa@yahoo.co.id



NB : Share pada teman-teman FLP lainnya ya... ^_^

Sunday, November 28, 2010

Celoteh Komik, Nih...


Komik ‘An Ancient Love Story’

(Intrigue & Romance in Heinan Time)

Volume 1 – 6



Tokoh Utama :

Putri Ruri : Anak Dainagon Fujiwara Tadamune, Gadis dari keluarga terhormat keturunan Kekkanke (keluarga wali/kepala penasihat kaisar zaman dulu). Mempunyai pengalaman cinta pertama masa kecil dengan Yoshinonokimi di Yoshino. Berumur 16 tahun tapi belum menikah. Bertunangan dengan teman adiknya dan teman sepermainannya waktu kecil bernama Takaakira. Disukai oleh Putra Mahkota Takao waktu mengelidiki orang-orang Saidajin yang berencana melakukan kudeta terhadap putra mahkota.


Ternyata :

Ø Rambut wanita-wanita Jepang itu sangat panjang.

Ø Setiap kali berbicara, para bangsawan satu dan lainnya dibatasi oleh tirai dan pelayan pribadi mereka tetap mendampingi. Kalau pembicaraan merujuk pada hal-hal rahasia, maka mereka akan menyuruh pelayan pribadinya keluar.

Ø Dulu tahun baru jatuh pada musim semi.

Ø Di pagi hari setelah pernikahan, ada upacara saling bertukar pakaian antara pengantin pria dan wanita.

Ø Lupa adalah sebuah kejahatan, kataYoshinonokimi.

Ø Para wanita jepang mempunyai kotak rambut, yaitu sebuah kotak untuk menaruh rambut mereka saat tidur.

Ø Orang Jepang sama Heinan sangat (sangat) menaruh perhatian pada Sastra. Hal ini terbukti dengan setiap isi surat yang dibuat, bentuknya adalah puisi. Seorang bangsawan (khususnya seorang putri) yang tidak bisa berpuisi dan menulis puisi yang bagus maka ia akan dianggap sebelah mata oleh bangsawan yang lainnya. Bisa dikatakan puisi adalah ‘ruh’ bangsawan Jepang. (Mmm... bagaimana dengan para pendahulu di Khatulistiwa kita, ya? Adakah perhatian lebih pada ‘sastra’ itu?)


Puisi-puisi :

Ø Puisi Takaakira pada Ruri (dalam masa berkabung lima bulan untuk neneknya) :

Yufu Sareba moekoso watarunatsu mushi no Mi ni amaru omohi hito ya shiruramu :

Tahukah engkau betapa bak kunang-kunang yang semakin terang bercahaya saat senja. Aku terbakar oleh kenangan membara yang memancar dari diriku. Betapapun kuat ia kutahan? Tak patutnya aku sering mengirim surat semacam ini kala nenekku baru saja tiada. Tapi perasaanku mendahuluiku... Takaakira. (Kata Ruri : Tulisan Jelek seperti cacing tanah begini).


Ø Surat Takaakira pada Nonihime (satu dari 3 gadis tercantik) :

Sebenarnya kekasihku orang yang sulit. Selama aku tidak bisa membuat puisi yang bagus, dia takkan bersedia menikah denganku. Aku hanya punya waktu 5 bulan. Aku tahu aku merepotkanmu, tapi kumohon bimbinganmu. Salam,


Ø Puisi Takaakira para Ruri yang berunsur Musim Semi

Haru tatsu to kaze ni kikedomo hana no kaori wo kikanu kagiri wa araji tozo omou : kudengar kabar bahwa musim semi telah tiba, tapi bunga-bunga belum mekar. Baunya pun belum tercium. Aku tak akan menganggap musim semi tiba sampai aku mencium bau bunga. (arti tersirat menurut pikiran Ruri : kudengar musim semi telah tiba. Tapi sampai balasan dari orang tercinta datang, aku takkan menganggap musim semi telah tiba).


Ø Balasan puisi Ruri pada Takaakira :

Kokorozashi araba miyuramu waga yado no Hana no sakari no haru no yoiyume :

bau bunga tidak tercium, katamu. sayang sekali, bunga di kebunku mekar penuh, indah bagai mimpi saat malam tiba. mungkin tidak tercium baunya olehmu karena kau yang tidak romantis?


Ø Puisi Takaakira pada Ruri :

Saat bunga ume masih antara mekar dan belum. Kini bunga sakura pun mulai berguguran.


Ø Puisi Ruri : Haru same no furu wa namida ka sakurahara chiro wo oshimanu hitoshi nakereba (hujan di musim semi adalah air mataku yang menyayangkan gugurnya sakura)


Ø Puisi para komplotan rencana kudeta putra mahkota : Haru no hi no kari wo tanomi michinaki michi wo fumiwake yukamu-udaiben- (mempercayai hangatnya sinar matahari saat musim semi tiba, aku melangkah maju walau jalan kini penuh tumpukan salju) = memercayai kekuasaan putera mahkota yang baru, aku tabah menahan semua kesulitan.


Ø Puisi putra mahkota pada Ruri : Yumejidani kimi ni kayoheru mono naraba utsutsuni minto omohazaramashi (Andai bisa besua denganmu dalam mimpi, aku takkan berkeinginan bejumpa denganmu di dunia nyata. tapi karena dalam mimpi pun kita tak bisa bertemu, perasaanku padamu semakin dalam).


Ø Puisi Ruri pada Takao sang putra mahkota : Se o hayami kako no kajitae yuku-funeno tomari wa nakoda ware shiri-nubeki (karena cepatnya aliran sungai, perahu kehilangan kayuhnya. Aku tak tahu ke mana perahu itu menuju).


Istilah :

Ø Tanabata : Festival yang dirayakan tiap 7 Juli. Menurut legenda, di malam itu Kengyu (the cowherd star) dan Shokujo ( The weaver star) bertemu setahun sekali di galaksi bima sakti.

Ø Miyabara : Cucu Kaisar

Ø Keishi : pengurus rumah keluarga bangsawan.

Ø Menarik rambut panjang /belakang : ungkapan ‘menjadi ganjalan di hati’.

Ø Judai : menjadi istri kaisar.


Sebenarnya masih sangat banyak yang mau Z tuliskan tentang komik keren ini, tapi sayangnya batas penyewaannya sudah lewat, bahkan sudah kena denda (Rp. .....) beberapa hari Z. Ditambah bagi Z, ‘Waktu 24 jam dalam sehari kok sedikit banget, seh!?’, karena beberapa waktu ke depan Z belum punya waktu untuk membahas tuntas isi komiknya. Hiks... T_T

***