Monday, December 29, 2014

CERITA PAGI





DOA-DOA DAN PERLINDUNGAN-NYA

Bahwa doa-doa punya jawaban dan waktunya tersendiri. Tak ada yang lebih cepat atau terlambat.
Yang ada hanyalah pada saatnya, tepat pada waktunya. Di keadaan yang bahkan tak diduga sebelumnya.

Pagi ini sepulang membeli bubur ayam langganan di Gegerkalong Tengah, mata saya tertuju pada seorang lelaki berkacamata yang berjalan tanpa alas kaki. Saya heran, di puncak dinginnya udara Bandung akhir-akhir ini, kok bisa-bisanya dia tak bersandal, menginjak aspal yang demikian dinginnya.  Secara sambil lalu saya memikirkan hal itu.

Lelaki itu sepertinya menyadari kalau saya sempat melihat ke arahnya tadi.

Beberapa langkah berjalan saya mendengar teriakan di belakang dan seorang Mamang melewati saya sambil berkata “hati-hati, Teh. Dia lagi ngamuk!” lalu terburu-buru berjalan ke depan. Saya melihat ke belakang. Dia yang dimaksudkan Mamang tadi adalah lelaki yang tak bersandal itu. Posisi berjalannya tak jauh dari dari posisi saya berjalan. Menyadari hal itu, saya mulai gemetaran.
Di depan sebuh toko kue, saya berhenti dan berbelok menuju toko kue itu. Hanya agar tak berada di depan lelaki itu saat berjalan, saya berencana berhenti sejenak. Tak disangka, lelaki itu malah mengekori saya. Dia memukul-mukul banner di butik di samping toko kue. Duh! Kenapa dia mengikuti saya? Saya ketakutan sekali. Astaghfirullah… Astaghfirullah… Astaghfirullah…

Mencoba nampak tenang, saya keluar dari area toko kue dan lanjut berjalan. Lelaki itu juga keluar dari area toko kue dan berjalan setengah berlari di belakang saya sambil berteriak-teriak. Pandangan semua orang di jalan bertumpu padanya. Di depan saya seorang ibu bahkan siap-siap berlari menjauh. Wajah ketakutan dan panik terbaca di sana. Saya mempercepat langkah. Ketakutan. Astaghfirullah… Astaghfirullah… Astaghfirullah…

Saat hendak berpapasan dengan ibu yang ketakutan tadi, lelaki itu berteriak lagi dan berlari kencang  ke arah kami. Saya sudah hampir pingsan mengira dia akan memukul kami. Namun ternyata tidak. Dia memukul pagar besi di samping tempat saya dan ibu tadi berdiri. Lutut saya rasa-rasanya kehilangan mur-mur penyangganya. Ibu tadi semakin panik.  

Lelaki itu saya kira akan berjalan terus di depan kami. Dugaan saya meleset lagi. Setelah memukul keras kaca spion pada sebuah mobil yang lewat di jalan, berdiri di tengah-tengah jalan dan hendak memukul beberapa pengendara motor yang berjalan pelan, dia duduk di depan mobil yang diparkir di depan MQ Guest House, tertawa-tawa dan melihat ke arah saya dan ibu tadi. Mencoba berani, ibu tadi mengajak saya berjalan lagi, melewati lelaki itu.

Ketika berada tepat di depan salon muslimah dan berhasil melewati GuestHouse, lelaki itu mengejar. Tak jauh di samping kanan saya, sebuah tempat sampah yang terisi penuh ditendangnya kuat sekali. Seluruh isi dalam tempat sampah berhamburan. Ibu di depan saya berteriak. Saya sudah hampir menangis, namun mencoba menunjukkan wajah yang tenang dan bersikap seorah-olah tidak mempedulikan aksi lelaki itu. Saya pernah mendengar orang berkata saat ada orang gila mengamuk, jangan pedulikan. Mereka hanya mencari perhatian. Toh nantinya akan berhenti sendiri. Maka saya mengikuti wejangan itu.

Namun tak berhasil. Lelaki itu malah menjadi-jadi. Masih di depan kami yang terhenti karena kaget, didudukinnya sebuah motor sambil bergoyang-goyang, mengambil paksa kerupuk yang tergantung di depan warung makan. Sembari dia melakukan aksi itu, saya kembali menguatkan hati dan bersama ibu tadi menyeberang jalan agar tidak berada di satu sisi jalan yang sama dengan lelaki itu. Melihat kami menyeberang, lelaki tadi sontak membuang kerupuknya dan berlari menyeberang mengikuti kami. Tampangnya sungguh menakutkan sekali. Ya Allah… hamba berlindung kepadaMu dari gangguan orang itu. Ya Allah… hamba berlindung kepadaMu dari gangguan orang itu. Ya Allah… hamba berlindung kepadaMu dari gangguan orang itu… Di dalam hati saya berdoa tak henti-henti. Lelaki itu masih ada di belakang. Ketakutan saya bertambah berkali lipat.

Plaaakkk! Plaaakkk! Tiba-tiba suara seseorang ditampar terdengar dari belakang. Saya sontak berbalik dan bertanya-tanya. Di depan konter hp seorang bapak terlihat menampar dan memukul lelaki itu hingga terjengkang. Bapak itu marah. “Pulang kamu! Pulang kamu!”

Orang-orang di sekitar langsung menumpuk di tempat kejadian. Lelaki itu ditampar bapak tadi lagi. “Kurang ajar! Mencuri dagangan orang, mengganggu kendaraan dan orang yang lewat.” Plaaakkk! Plaaakkk!

Langkah saya terhenti. Lelaki itu saya lihat terduduk di tanah dan mulai menangis. Orang-orang semakin berkerumun. Saya terdiam.  Lelaki yang sakit mental itu tak akan mengganggu lagi. Ibu tadi tak sudah terlihat. Mungkin telah berjalan jauh di depan.
Beberapa menit selepas itu saya kembali berjalan menuju rumah. Benak saya bercampur aduk, entah lega entah sedih. Semasa berjalan ini saya sekonyong-konyong menyadari sesuatu.

Doa-doa yang saya kirimkan di tengah gemetar dan ketakutan tadi dijawab-Nya?

Allahuakbar! Allahuakbar! Allahuakbar! …

Saya takbir berkali-kali. Mata saya berair. Bubur ayam di kantong yang saya pegang sedari tadi, masih terasa hangat.

*
—Aida Radar, Bandung, Pagi Ini.

 #Ilustrasi dari sini

Sunday, March 16, 2014

16 Maret






















3 pelukan

kapan terakhir kita berpelukan?
tiba-tiba saja aku mempertanyakan itu.
seberapa sering? entahlah.
mungkin karena tak terhitung, aku tak bisa mengingat jumlahnya.
mungkin karena hanya seberapa, aku lupa pada angka berapa ia membatas.
namun ada dua pelukan yang paling aku ingat.

pelukan pertama:
waktu itu suara mengaji dari masjid sudah diputar lama
kita masih berada di pantai. bayangan papa yang segera tiba membayang. kita akan kena dera dengan kayu bakar sebab pulang menjelang azan dan batobo.
kau dan aku basah kuyup di dekat jembatan kayu kecil yang dibuat pak nelayan untuk anak-anak nakal seperti kita dan teman lainnya yang selalu bersalto atau lompat ke dalam air laut dari atas perahu ikannya.
berpelukan dan berjanji untuk saling menyayangi, setelah sepanjang tahun kita habiskan banyak dengan menjadi tom dan jerry.

pelukan kedua:
kamar semacam kapal pecah. kamu memakai kaos hitam himpin. aku? daster pink putih selutut. aku masih ingat itu.
di satu sudut, aku memelukmu erat. tersenyum dan menghibur dengan rasa bersalah.
airmatamu berjejak di lantai, yang beberapa menit sebelumnya kita jadikan sebagai ring bagi para petinju profesional.
tidak ada janji saling menyayangi yang terucap. hanya bahwa pelukan itu terpahat kuat di dada ini.

akan ada satu pelukan lagi yang aku ingat.
saat menulis ini, kedua tanganku sedang memanjang dari bandung dan tiba di pangkep.
melewati lautan antara jawa dan sulawesi.
melewati apapun yang selalu sulit mulut sampaikan.
untuk memelukmu.
*

selamat milad, max. selamat menjalani angka 23. ^_^

diriku sengaja memosting ini jam 23.59 waktu makassar. 1 menit sebelum tanggal di kalender bulan maret berpindah dari 16 ke 17. :p

—AR,Bdg.16.3.14;9.03pm

Saturday, March 01, 2014

Ceritanya Cerita..





Suatu siang di Surabaya, di jalan dekat stasiun Pasar Turi, seorang lelaki mendekati tukang becak yang lagi tidur di dudukan becaknya. Lelaki itu membangunkan Mamas Becak.

Lelaki              : Mas, ke stasiun Turi ya...

Mamas Becak : Oh nggeh. Monggo, Mas. (Turun dari becaknya)

Sebab pernah mendapat wejangan dari seorang kenalannya perihal tukang becak yang curang dan suka menaikkan harga jika tidak ditanyai lebih dulu, lelaki itu bertanya harga menuju ke stasiun Pasar Turi.
Karena telah menjadi profesi selama bertahun-tahun, Mamas becak itu langsung tahu bahwa lelaki itu pastilah orang baru di Surabaya.

Mamas Becak: 20 rebu, Mas.

Lelaki           : (Hmmm... seperti yang saya kira. Untung saya patuhi wejangan teman itu. *kata hatinya*) Waaahhh... Mahal banget, Mas! Biasanya juga nggak sampai segitu.

Mamas Becak   : Nggak sampai segitu gimana, Mas? Lha wong tarifnya emang segitu.

Lelaki              : Wah... Kemahalan, Mas. Kan jalurnya dekat aja nih. Tuh, saya bahkan bisa ngelihat stasiun Turi dari sini. (menunjuk stasiun)

Sang Mamas Becak mendengus. Matahari sedang panas-panasnya. Lalu pelan-pelan didekatinya lelaki itu dan berhenti di depan telinganya. (Untuk efek dramatisasi. qeqeqe) Mamas Becak itu kemudian berbisik:

"Mas, entar kalau malam, bulan juga dekat." (menunjuk langit)

Lelaki itu menganga melihat Mamas Becak.

-selesai-

*


Hohohoho... :D
Saya sampai memegang perut saat seorang dosen menceritakan ini di pertemuan pertama sebuah mata kuliah. Lucu sekali. hihihi...

Redaksi Pak Dosen yang bercerita tentu saja tidak seperti apa yang saya tulis di atas. Stasiun pun karena saya lupa apa namanya yang diceritakan Pak Dosen, saya memilih salah satu stasiun saja di Surabaya. Tapi secara maksud, begitulah kira-kira. Dalam pikiran saya setelah "Lelaki itu menganga melihat Mamas Becak": Lelaki itu menganga mungkin karena kaget, ada filsuf menyamar jadi tukang becak kali ya?" (Abaikan isi pikiran saya ini. Hehe...)

Jadi kesimpulannya adalah... (mana yang benar?) ^_^ >> intermezzo<<
a. Yang dekat belum tentu dekat
b. Yang jauh belum tentu dekat
c. Yang dekat belum tentu jauh
d. Yang jauh belum tentu jauh.

#Ilustrasi dari sini



Monday, February 24, 2014

SEBUAH CINCIN DI DALAM KELAS




Saat mengikuti kuliah sore tadi, ada hal mencolok dari Pak Dosen yang saya perhatikan. Mencolok di sini bukan berarti beliau memakai sesuatu yang menarik perhatian seluruh isi kelas. Saya mengira, hanya saya sendiri saja yang merasa itu adalah hal yang mencolok. Entah teman-teman lain bagaimana memandangnya. Saya tidak bertanya pendapat mereka. Jadi pada bagian ini, saya merasa menjadi satu-satunya yang memperhatikan. Iya. Begitu saja, agak kalian tidak perlu diputar-putar lagi (hanya) pada kata-kata pembuka ini. (berasa skripsi ya?) Hehe ^_^

Jadi begini. Sesuatu yang saya perhatian dari Pak Dosen itu adalah jari manis di tangan kanannya yang dilingkari sebuah besi berwarna emas. Apalagi kalau bukan cincin. Iya, cincin. Cincin emas. 

Cincin itu mengilap sekali. Nampaknya cincin itu baru saja dicuci. Benar! Saya yakin itu. Mengapa? Sebab seseorang yang rambutnya sudah beruban seperti beliau, kadar kilapan cincin belum tentu bisa se-mentereng itu. Kehidupan yang telah dijalani bertahun-tahun tentu memungkinkannya berubah kusam. 

Cincin itu menjadi semakin menyilaukan mata saya, ketika kedua tangan beliau berada di depan dada. Sebab beliau menjelaskan materi sambil berdiri (tak jauh dari tepat di depan saya), saya menjadi semakin fokus pada gerak tangan kanannya, tepat di jari manis itu. Fokus saya cukup lama ada di sana, sembari telinga berusaha menangkap apapun yang beliau katakan.

Saya tidak tahu apakah saat memperhatikan jari manis dan cincin emas yang melingkarinya, pembahasan materi kuliah tersimpan di kepala saya atau tidak. Tapi sepertinya ada sedikit. Hehe...

Jelasnya saya hanya tahu, di cincin itu, tak cuma ada sebuah besi berwarna emas yang melingkar di jari manis kanan seorang lelaki. Di cincin emas itu, ada sebuah janji, -yang kokoh- dibangunnya bersama seseorang: wanita yang selalu bersama dan menunggu beliau di sebuah tempat dan memakai cincin yang sama, yang melingkari jari manisnya di tangan bagian kanan.

Sampai berakhir kuliah, saat melihat tangan dan cincin Pak Dosen, saya merasa hati menjadi lembut dengan doa-doa dan saya tak berhenti tersenyum, diam-diam, mengikuti punggung beliau yang keluar dari kelas.
^_^

#Ilustrasi dari sini

Friday, February 21, 2014

Tentang Photos..




Gambar ini adalah sebuah scene dalam drama Goddess of Marriage. 
Saya memberinya judul:
A Disappointment = Sebuah Kekecewaan

Beberapa menit sebelumnya, saya baru saja selesai mengunggah empat penghuni baru di www.aidaradar.tumblr.com mengenai scenes yang saya sukai dari drama itu. Jika berminat melihatnya, silakan membuka link tumblr itu dan menuju pada postingan yang ada hashtag #OhJinSuk seperti ini:

Sunday, February 09, 2014

MEMELIHARA INGATAN



(klik link untuk menuju ke puisi)

#ilustrasi dari sini

Tuesday, February 04, 2014

Z-BUKU-LAUT-PAGI







Setelah hampir setahun tak melihat laut, akhirnya saya berdiri di depannya. Awalnya saya berencana melihat laut di salah satu pantai di Jawa Barat, jarak yang (mungkin) bisa saya tempuh dari tempat studi saat ini walaupuan jarak tempuh tercepat adalah 6 jam perjalanan. Sebab terlalu ingin saya melihat laut, saya punya banyak rencana-rencana di kepala untuk mewujudkannya. Apapun yang terjadi!

Ternyata, Allah punya rencana yang lebih manis (terimakasih Allah-ku. ^_^) . Saya bisa melihat laut. Bukan di tempat studi, tapi di tanah kelahiran: Laut yang dirindukan, laut yang disimpan di dalam hati. :D

Saya lalu percaya pada kata-kata Lord Hideyoshi Toyotomi yang saya kutip dari buku Strategi Hideyoshi yang beberapa hari lalu saya baca. “Terbayangkan berarti terjangkau”. Kata-kata itu memberi semacam harapan. Apa yang saya bayangkan, tentu bisa saya jangkau!  (Bila Allah mengizinkan)

Berhari-hari sebelum liburan semester tiba, bayangan tentang laut tidak pindah-pindah dari pikiran saya. Hingga dua pekan silam di tumblr, saya memosting sebuah gambar (scene) drama Korea (Goddess of Marriage) berjudul “Menghadap Samudera” dan berencana mempunyai foto dengan setting laut yang maknanya (hampir/kurang lebih) sama. Dan… 

Jeng… Jeng… Jeng…

Saya akhirnya berhasil mewujudkannya! Woaaaaaa…

Di tempat yang lebih menarik dari apa yang diharapkan lagi!  

Asssaaaaaaaa! 

Hehe… :D


Berikut saya post hasil foto-foto itu (sembilan foto lagi) dengan judul besar SAYA, BUKU, LAUT, DAN PAGI di www.aidaradar.tumblr.com

Foto-foto itu diambil di Dermaga Pasar Goto, Kota Tidore Kepulauan, pada 26 Januari 2014 di pagi yang selalu saya sukai. :D