Saturday, December 22, 2012

SATU CERITA YANG TELAH SAMPAI PADA ENDING







pada sebuah pigura di kamar utama, selalu kutanam bunga beragam jenis dan warna, menyirami dan menjaganya dari tangan-tangan casanova, yang menebar pesona pada gadis-gadis bermata hijau, dengan modal sepotong sajak cinta dan setangkai mawar merah


saat bepergian aku kerap takut akan ada satu tangkai saja bunga-bunga itu me-layu, sebab di tiap tetes air yang mengenyangkannya pagi sore, telah kubangun sebuah rumah mungil di depan laut dan dalam pelukan gunung-gunung bisu
 ......

SELANJUTNYA DI: http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2012/12/22/satu-cerita-yang-telah-sampai-pada-ending-518801.html 

Tuesday, December 11, 2012

PUISI PRES 2

















seorang adik pernah bertanya

“kak, mengapa banyak penyair maskulin betah berlama-lama menulis sajak di atas pasir? tidakkah mereka berniat menulis di atas sebuah undangan mawar merah?”

aku bimbang. tak punya jawaban. tapi harus ada jawaban. adik tidak pernah puas  dengan gelengan.
“entahlah. mungkin saja mereka takut senyum gadis muda membuat kata-kata yang mereka lahirkan di koran-koran  cemburu dan akan bunuh diri sebelum diterbitkan."

adik itu kaget. dua bola pimpong menggelinding di matanya.
“ow! mengapa bisa begitu, kak?”

aku tersenyum puas. sebuah jawaban pamungkas siap mengunci pertanyaan-pertanyaannya.
“entahlah, dik. kakak tidak tahu. kakak bukan seorang pernyair.”

Saturday, December 08, 2012

Thursday, December 06, 2012

TAK HANYA SEKEDAR NAMA



Z panggil kamu siapa ya?
Z panggil Kk yaaa... J
Z panggil ......... yaaa... J

Kerap, dalam pergaulan sehari-hari saya kesulitan memanggil atau menyapa seseorang dengan sapaan panggilan yang tepat. Panggilan/sapaan yang tepat sangatlah penting bagi saya. Sebab dengan mengetahui panggilan yang tepat dari lawan bicara, saya akan mendapatkan kenyamanan berinteraksi dengannya. Tiga kalimat bercetak miring di atas, sering saya gunakan ketika kali pertama berinteraksi dengan seseorang, baik face to face, telpon atau sms, memberi atau menjawab komentar di blog maupun via jejaring sosial: facebook dan twitter.

Saya menggunakan 3 kalimat itu, bukan tanpa alasan. Tak sekedar basa basi di awal perkenalan, atau mencairkan suasana yang tadinya kaku karena baku. Mengenai nama panggilan ini, saya teringat pada kebiasaan (atau budaya?) orang-orang di Negeri Sakura (Efek terlalu sering membaca manga :D). Jika seseorang belum terlalu akrab dengan seseorang lainnya, dia akan memanggil orang tersebut dengan nama keluarga atau marganya. Namun apabila dua orang atau lebih telah lama bergaul bersama (bisa dikatakan teman sejak kecil atau teman karib) mereka biasanya telah saling menyapa dengan menggunakan nama kecil/nama kesayangan. (Eh, ternyata bukan hanya di Nippon saja kebiasaan ini lho, seluruh dunia menggunakannya ternyata. Aiiihhh... Mari membuka buku Geografi lagi. ;D)

Contohnya seperti  Koizumi Junichiro (bila sudah masuk dunia internasional, nama keluarga/marga akan berada di belakang, menjadi: Junichiro Koizumi). Sebut saja saya ini teman kecilnya Junichiro Koizumi. Sejak dulu saya selalu memanggilnya Juni dan dia pun memanggil saya dengan nama panggilan yang saya sukai. Maka suatu ketika, bila saya memanggilnya dengan mana Koizumi­-San, dipastikan dia akan memelototi saya. Apakah dia sedang marah padaku? Apakah aku telah melakukan kesalahan? Apakah aku telah menyakitinya? Mengapa dia memanggilku begitu? Saya memastikan pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menghiasi isi kepala Juni, sebab panggilan nama keluarganya telah menandakan ada yang berbeda dari saya terhadapnya. Ada jurang yang telah memisahkan saya dan Juni tersebab panggilan yang tidak biasa itu. Tiba-tiba kami akan menjadi asing satu sama lain. 

Begitu pula ketika hari pertama masuk ke kampus sebagai murid baru, tiba-tiba saya yang belum pernah dilihat sebelumnya langsung menyapa Junichiro Koizumi  dengan nama kecil/nama rumah: Juni, bukan nama keluarga: Koizumi, maka orang-orang di sekitar (terutama teman-temannya) akan kebingungan dan bertanya-tanya: Siapa dia? Kenapa dia memanggilmu Juni? Memangnya kau mengenalnya? Kalau kejadian itu telah terjadi, mereka akan sampai pada kesimpulan: Gadis itu pasti tertarik padamu.Sepertinya dia sudah lama memerhatikanmu. Sepertinya dia ingin menjadi temanmu, dan bla bla bla...

Oleh karena itu, nama panggilan bagi saya tidak hanya sekedar nama. Lebih dari itu. Nama panggilan menurut saya adalah sebuah penanda keakraban pergaulan saya dengan seseorang. Selain itu, nama panggilan juga bisa menjadi jurang pemisah —yang mempunyai jarak yang berbeda, antara saya dengan seseorang. Ketika saya memanggil seseorang dengan nama lengkapnya, itu berarti saya mempunyai respect yang luar biasa besar padanya. Seringkali momen demikian terjadi jika saya baru pertama kali bertemu. Saya mempunyai sense of respect yang tinggi, kan? *hueeekkk* :D

Selama 4 tahun lebih bermukim di Makassar, saya merasa lega dengan banyaknya kata sapaan yang bisa dipakai untuk membagi-bagi kedudukan seseorang di mata saya dalam pergaulan sehari-hari. Bila menyapa orang yang lebih tua atau seseorang yang dihormati atau seseorang yang baru dikenal atau seseorang yang saya belum terbiasa dengannya, saya bisa menggunakan “kita”. Penggunaan -‘ta dan -‘ki juga sering saya gunakan pada teman yang sudah lama saya kenal, tetapi itu mengindikasikan saya masih segan dan belum memahami karakter orang tersebut dan saya tidak ingin membuatnya marah dengan sok kenal sok dekat sok akrab. Nah, untuk mereka yang sudah akrab sekali, kebangetan dekatnya, saya tidak segan-segan memanggil langsung nama kemudian menggantinya dengan “kau”, “-‘ko”, “-mu”, dan nama-nama yang kami sepakati bersama.

Nah, karena kebiasaan yang sudah dibangun itu, saya akan memperoleh kesulitan baru apabila berinteraksi dengan orang Non-Sulawesi Selatan atau mereka yang tidak memahami dialek Sulsel. Kesulitan ini banyak terjadi di sms. Saat berada pada kesulitan menentukan kata ganti nama panggilan itu saya biasanya mencari aman dengan menggantinya dengan “dirimu”, “ngon (untuk orang Tidore)”, kamu. Saya menghindari menggunakan “anda” untuk menyapa. Sebab memanggil seseorang dengan “anda”, sama artinya saya telah membangun sebuah dinding pemisah yang sangat asing antara saya dan orang itu. Dan saya tidak mau hal itu terjadi. Tapi saya tahu kadang saya memilih menggunakannya jika orang yang saya ajak bicara membuat mood saya menjadi jelek atau saya memang sudah tidak sreg pada orang itu sebelum-sebelumnya.

Mengenai nama-nama yang kami sepakati bersama itu, dalam keseharian saya kemudian mempunyai sangat banyak nama panggilan. Setiap komunitas berbeda yang saya masuki, setiap panggilan saya akan berbeda pula. Tak hanya nama dari akta kelahiran dan nama panggilan orang-orang di rumah, saya senang karena tiba-tiba saya bisa menjadi:
·      “Ocid” (Kak Atun memanggil saya demikian. Saya pun memanggilnya Kak Delia dari Rosyid dan Delia di film Tiga Hati Dua Dunia Satu Cinta),
·      “Aide” (Nendenk sering memakainya),
·      “Kak Ida” (Qia dan Asra),
·      Kak Aida (Para junior di FLP sering menggunakan ini),
·      “Da” (Kak Dyah dan Bang Benny. Meski kadang Bang Benny menggantinya dengan “Adikku”),
·      “Say dan Jeng” (ini milik Jeng Vhira), dan
·      “Aida” (ini panggilan umum. :D).

Di Kelas M EDSA, LKIM-PENA dan IMM, saya hanya punya satu panggilan: Ummu, dan para junior akan menambah embel-embel “Kak” di depan. Selain itu, saya juga sering menjadi “Mbak”, ‘Neng Gelis”, “Uni”, dan sebagainya bila seseorang yang asal daerahnya berbeda mencoba untuk mengakrabkan diri. Dengan teman-teman cewek seangkatan di SMA, kami selalu saling menyapa dengan “Say”, “Sayang”, “Cinta”, “Cin”, “Honey”, dan pokoknya yang beraroma bunga saking kelebihan akrab ikatan emosional kami. (Qiqiqiqi... :D)

Seorang sepupu saya sangat menyukai boyband asal Korena Selatan, Big Bang. Dia mengagumi G-Dragon, sang leader. Maka ketika berinteraksi dengannnya saya suka memanggilnya GD dan dia akan memanggil saya TOP/Tabii/SeungHyun, member Big Bang yang saya sukai. Max, demikian saya memanggil adik saya. Memanggilnya demikian, menjadikan kami lebih dekat dari biasa. Tapi kalau sedang marah, nama lengkap beserta marga akan keluar dari mulut saya untuknya! (Hohooohohoo... :D)

Dari semua pembahasan yang memusingkan di atas (maaf yaaa... :D), saya ingin mengutip sebuah hadits dari Baginda Rasulullah SAW: “Tiga hal yang dapat memumikan kecintaan sahabat kepadamu (yaitu) memberi salam apabila bertemu, melapangkan tempat duduk untuknya di majlis dan memanggilnya dengan nama yang disukainya” (HR. Bukhari). Kamu juga yaaa... :D

Ah, tapi saya punya satu masalah baru yang sudah lama ada. Untuk seseorang yang bermukim di hati dan pikiran ini, saya harus memanggilnya siapa, ya? :D
***