Z panggil kamu siapa ya?
Z panggil Kk yaaa... J
Z panggil ......... yaaa... J
Kerap,
dalam pergaulan sehari-hari saya kesulitan memanggil atau menyapa seseorang
dengan sapaan panggilan yang tepat. Panggilan/sapaan yang tepat sangatlah
penting bagi saya. Sebab dengan mengetahui panggilan yang tepat dari lawan
bicara, saya akan mendapatkan kenyamanan berinteraksi dengannya. Tiga kalimat
bercetak miring di atas, sering saya gunakan ketika kali pertama berinteraksi
dengan seseorang, baik face to face,
telpon atau sms, memberi atau menjawab komentar di blog maupun via jejaring
sosial: facebook dan twitter.
Saya
menggunakan 3 kalimat itu, bukan tanpa alasan. Tak sekedar basa basi di awal
perkenalan, atau mencairkan suasana yang tadinya kaku karena baku. Mengenai
nama panggilan ini, saya teringat pada kebiasaan (atau budaya?) orang-orang di Negeri
Sakura (Efek terlalu sering membaca manga :D). Jika seseorang belum terlalu
akrab dengan seseorang lainnya, dia akan memanggil orang tersebut dengan nama
keluarga atau marganya. Namun apabila dua orang atau lebih telah lama bergaul
bersama (bisa dikatakan teman sejak kecil atau teman karib) mereka biasanya
telah saling menyapa dengan menggunakan nama kecil/nama kesayangan. (Eh,
ternyata bukan hanya di Nippon saja kebiasaan ini lho, seluruh dunia menggunakannya ternyata. Aiiihhh... Mari membuka
buku Geografi lagi. ;D)
Contohnya
seperti Koizumi Junichiro (bila sudah
masuk dunia internasional, nama keluarga/marga akan berada di belakang,
menjadi: Junichiro Koizumi). Sebut saja saya ini teman kecilnya Junichiro
Koizumi. Sejak dulu saya selalu memanggilnya Juni dan dia pun memanggil saya
dengan nama panggilan yang saya sukai. Maka suatu ketika, bila saya
memanggilnya dengan mana Koizumi-San,
dipastikan dia akan memelototi saya. Apakah
dia sedang marah padaku? Apakah aku telah melakukan kesalahan? Apakah aku telah
menyakitinya? Mengapa dia memanggilku begitu? Saya memastikan
pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menghiasi isi kepala Juni, sebab panggilan
nama keluarganya telah menandakan ada yang berbeda dari saya terhadapnya. Ada
jurang yang telah memisahkan saya dan Juni tersebab panggilan yang tidak biasa
itu. Tiba-tiba kami akan menjadi asing satu sama lain.
Begitu
pula ketika hari pertama masuk ke kampus sebagai murid baru, tiba-tiba saya
yang belum pernah dilihat sebelumnya langsung menyapa Junichiro Koizumi dengan nama kecil/nama rumah: Juni, bukan
nama keluarga: Koizumi, maka orang-orang di sekitar (terutama teman-temannya) akan kebingungan dan bertanya-tanya: Siapa dia? Kenapa dia memanggilmu Juni?
Memangnya kau mengenalnya? Kalau kejadian itu telah terjadi, mereka akan
sampai pada kesimpulan: Gadis itu pasti
tertarik padamu.Sepertinya dia sudah lama memerhatikanmu. Sepertinya dia ingin
menjadi temanmu, dan bla bla bla...
Oleh
karena itu, nama panggilan bagi saya tidak hanya sekedar nama. Lebih dari itu.
Nama panggilan menurut saya adalah sebuah penanda keakraban pergaulan saya
dengan seseorang. Selain itu, nama panggilan juga bisa menjadi jurang pemisah
—yang mempunyai jarak yang berbeda, antara saya dengan seseorang. Ketika saya memanggil
seseorang dengan nama lengkapnya, itu berarti saya mempunyai respect yang luar biasa besar padanya.
Seringkali momen demikian terjadi jika saya baru pertama kali bertemu. Saya
mempunyai sense of respect yang
tinggi, kan? *hueeekkk* :D
Selama
4 tahun lebih bermukim di Makassar, saya merasa lega dengan banyaknya kata
sapaan yang bisa dipakai untuk membagi-bagi kedudukan seseorang di mata saya
dalam pergaulan sehari-hari. Bila menyapa orang yang lebih tua atau seseorang
yang dihormati atau seseorang yang baru dikenal atau seseorang yang saya belum
terbiasa dengannya, saya bisa menggunakan “kita”. Penggunaan -‘ta dan -‘ki juga
sering saya gunakan pada teman yang sudah lama saya kenal, tetapi itu
mengindikasikan saya masih segan dan belum memahami karakter orang tersebut dan
saya tidak ingin membuatnya marah dengan sok kenal sok dekat sok akrab. Nah, untuk
mereka yang sudah akrab sekali, kebangetan
dekatnya, saya tidak segan-segan memanggil langsung nama kemudian
menggantinya dengan “kau”, “-‘ko”, “-mu”, dan nama-nama yang kami sepakati
bersama.
Nah,
karena kebiasaan yang sudah dibangun itu, saya akan memperoleh kesulitan baru
apabila berinteraksi dengan orang Non-Sulawesi Selatan atau mereka yang tidak
memahami dialek Sulsel. Kesulitan ini banyak terjadi di sms. Saat berada pada
kesulitan menentukan kata ganti nama panggilan itu saya biasanya mencari aman dengan menggantinya
dengan “dirimu”, “ngon (untuk orang Tidore)”, kamu. Saya menghindari
menggunakan “anda” untuk menyapa. Sebab memanggil seseorang dengan “anda”, sama
artinya saya telah membangun sebuah dinding pemisah yang sangat asing antara
saya dan orang itu. Dan saya tidak mau hal itu terjadi. Tapi saya tahu kadang
saya memilih menggunakannya jika orang yang saya ajak bicara membuat mood saya menjadi jelek atau saya memang
sudah tidak sreg pada orang itu
sebelum-sebelumnya.
Mengenai
nama-nama yang kami sepakati bersama itu, dalam keseharian saya kemudian mempunyai
sangat banyak nama panggilan. Setiap komunitas berbeda yang saya masuki, setiap
panggilan saya akan berbeda pula. Tak hanya nama dari akta kelahiran dan nama panggilan
orang-orang di rumah, saya senang karena tiba-tiba saya bisa menjadi:
· “Ocid”
(Kak Atun memanggil saya demikian. Saya pun memanggilnya Kak Delia dari Rosyid
dan Delia di film Tiga Hati Dua Dunia Satu Cinta),
· “Aide”
(Nendenk sering memakainya),
· “Kak
Ida” (Qia dan Asra),
· Kak
Aida (Para junior di FLP sering menggunakan ini),
· “Da”
(Kak Dyah dan Bang Benny. Meski kadang Bang Benny menggantinya dengan “Adikku”),
· “Say
dan Jeng” (ini milik Jeng Vhira), dan
· “Aida”
(ini panggilan umum. :D).
Di
Kelas M EDSA, LKIM-PENA dan IMM, saya hanya punya satu panggilan: Ummu, dan
para junior akan menambah embel-embel “Kak” di depan. Selain itu, saya juga
sering menjadi “Mbak”, ‘Neng Gelis”, “Uni”, dan sebagainya bila seseorang yang
asal daerahnya berbeda mencoba untuk mengakrabkan diri. Dengan teman-teman
cewek seangkatan di SMA, kami selalu saling menyapa dengan “Say”, “Sayang”, “Cinta”,
“Cin”, “Honey”, dan pokoknya yang beraroma bunga saking kelebihan akrab ikatan
emosional kami. (Qiqiqiqi... :D)
Seorang
sepupu saya sangat menyukai boyband asal
Korena Selatan, Big Bang. Dia mengagumi G-Dragon, sang leader. Maka ketika berinteraksi dengannnya saya suka memanggilnya
GD dan dia akan memanggil saya TOP/Tabii/SeungHyun, member Big Bang yang saya sukai. Max, demikian saya memanggil adik
saya. Memanggilnya demikian, menjadikan kami lebih dekat dari biasa. Tapi kalau
sedang marah, nama lengkap beserta marga akan keluar dari mulut saya untuknya!
(Hohooohohoo... :D)
Dari
semua pembahasan yang memusingkan di atas (maaf yaaa... :D), saya ingin mengutip
sebuah hadits dari Baginda Rasulullah SAW: “Tiga hal yang dapat memumikan kecintaan
sahabat kepadamu (yaitu) memberi salam apabila bertemu, melapangkan tempat
duduk untuknya di majlis dan memanggilnya dengan nama yang disukainya” (HR.
Bukhari). Kamu juga yaaa... :D
Ah,
tapi saya punya satu masalah baru yang sudah lama ada. Untuk seseorang yang
bermukim di hati dan pikiran ini, saya harus memanggilnya siapa, ya? :D
***
#Ilustrasi diambil dari: http://brigittahardi.com/2012/02/21/arti-nama/
2 comments:
wah banyak juga nickname-mu Da.. :D
jadi inget jaman SMA, juga nicknameku banyak.. ada yang panggil Dee, Resty, Tweety (krn saking sukanya tweety jaman SMP) :D
Hehe... Iya, Kak. Itu pun belum disebut semua. Klo dihitung dari zaman SD-SMP-SMA, bisa dapat jalur kereta api Makassar-Palopo tuh.
qiqiiqiqi :D
Post a Comment