Thursday, May 05, 2016

Menuntaskan Bacaaan, Menggelindingkan Beban


Ilustrasi oleh Kim Si Hoon
Saya pertama kali membaca cerpen ini saat juga pertama kali mengunjungi perpustakaan pusat ITB hampir dua tahun silam. Sebagaimana kebiasaan kali pertama mengunjungi sebuah perpustakaan, saya belum langsung membaca paten. Saya berwisata lebih dulu. Berjalan dari tiap-tiap rak buku. Bila tertarik pada judul atau kaver buku di rak-rak tersebut, saya langsung meraihnya dan membaca sekilas untuk jadi buku rekomendasi bacaan selanjutnya. Selama wisata perpustakaan itu, saya menemukan Koreana di ruang majalah lantai tiga perpustakaan. Awalnya saya hanya sekadar melihat-lihat gambar-gambar di majalah itu sembari berdiri, namun begitu tiba di beberapa halaman terakhir majalah, saya mendapati sebuah cerpen yang halaman sebelumnya berisi tulisan kritik bagi cerpen itu.

Koreana Volume 4 Nomor 2
Saya jadi menunda wisata ke lantai empat perpustakaan. Mencari kursi lalu mulai membaca cerpen Musim Dingin di Luar Jendela karya Choi Eun Mi ini. Baru membaca tiga paragraf awal, saya tersadarkan dan terdesak oleh jadwal kuliah siang yang akan berlangsung dalam 30 menit. Akhirnya dengan ketakrelaan belum menuntaskan isi cerpen, pembacaan saya terpaksa dihentikan. Sembari kembali ke kampus, saya berjanji pada diri sendiri untuk balik lagi dan membaca sampai kelar cerpen ini.

Hari-hari berlalu, saya disibukkan dengan tugas-tugas kampus dan beberapa aktivitas yang membuat saya belum mengunjungi lantai tiga perpustakaan ITB lagi. Meskipun begitu, mungkin karena telah berjanji, saya merasa memikul sebuah beban berat selama belum membaca cerpen itu sampai selesai. Demi menggelindingkan beban itu, Jum’at pekan kemarin sampailah saya lagi ke lantai tiga perpustakaan lalu mencari Koreana yang pernah saya baca itu dan membaca kembali cerpen yang sama, mulai dari awal.

Konten Koreana berbahasa Indonesia, jadi cerpen ini pun berbahasa Indonesia, yang diterjemahkan langsung dari Bahasa Korea oleh Koh Young Hun. Mungkin sebab terjemahan itulah (saya belum familiar dengan tulisan panjang terjemahan langsung dari Bahasa Korea ke Bahasa Indonesia), saya perlu waktu membaca lebih panjang dari biasanya untuk membaca sebuah cerpen.  Atau mungkin juga karena cerpennya cukup panjang (cerpen yang panjang), kira-kira tiga kali lipat ukuran cerpen koran Indonesia. Atau kemungkinan lain, seperti penghayatan yang dalam yang dicurahkan pengarangnya pada cerpen ini sehingga untuk sampai pada pembaca, saya pun harus membacanya dengan kadar penghayatan yang sama. Apalah itu. Yang penting saya akhirnya tuntas membaca cerpen ini (Yeayyy). Di jendela kaca di samping saya, langit yang tadinya jingga, telah berubah hitam dengan taburan cahaya bintang-bintang.

Yang saya tahu sesaat setelah kelar membaca cerpen ini adalah saya terombang-ambing. Apa yang sebenarnya cerpen ini bicarakan? Saya kesulitan memahami maksud pengarang. Saya menduga karena belum terlalu terbiasa membaca terjemahan langsung tulisan berbahasa Korea ke Bahasa Indonesia. Atau mungkin juga karena ada lompatan-lompatan fragmen yang cukup sering, dari fokus satu ke fokus yang lain? Entahlah. Namun, saya jadi tidak tenang. Penasaran sekali menggali makna di baliknya.

Maka menujulah saya di pembahasan mengenai cerpen ini yang ditulis oleh Chang Du Young, seorang kritikus sastra di Korea Selatan. Selain karena “cerpen”-nya, saya senang mendapati tulisan yang mengorek makna cerpen dihadirkan bersama dalam sebuah edisi majalah. Saya bisa belajar memahami makna-makna lain dari kacamata yang berbeda, sehingga dapat memperkaya pemahaman saya akan cerpen tersebut.

Reviu Musim Dingin di Luar Jendela oleh Chang Du Young

 Benar saja. Dari penjabaran inilah, keadaan terombang-ambing saya sedikit mereda. Saya kemudian jadi tahu apa yang sebenarnya diceritakan Choi Eun Mi dan ditangkap oleh Chang Du Young. Setelah membaca reviu ini, saya kembali ke cerpennya dan membaca sekali lagi. Mencoba menemukan apa yang ditarfsirkan Chang Du Young atas cerita Choi Eun Mi.

Saya tak akan menceritakan detail isi cerpen ini di sini. Hanya bahwa Choi Eun Mi menulis tentang tokoh laki-lakinya yang mengidap sebuah penyakit, dan tersebab penyakitnya, laki-laki itu selalu merasa tidak bisa memiliki banyak hal yang dia inginkan dalam hidupnya. Hal-hal yang dengan mudah dirasakan dan dimiliki orang lain tak bisa dirasakan dan dimilikinya. Termasuk di dalamnya bermain-main dengan keponakan perempuannya dan memiliki keluarga bersama seorang wanita teman satu kantor yang potret wajahnya sedang memandang ke luar dari kaca jendela bis, bercahaya tertimpa cahaya matahari di musim dingin. Laki-laki itu berada dalam kesedihan dan rasa putus asa yang dalam.

Sedikit memahami isi cerpen ini, saya menjadi sedih. Seperti ikut merasakan kesedihan dan rasa putus asa laki-laki itu. Apa yang akan kau lakukan jika sesuatu yang kau miliki telah menghalangimu dari mewujudkan harapan-harapan dan mencapai kebahagian-kebahagiaan? Demikian mungkin pertanyaan yang sering muncul di benak laki-laki itu. Saya menjadi semakin sedih.

Membaca cerpen ini mengingatkan saya pada cerpen The Year of Spaghetti karya Haruki Murakami, yang sangat saya sukai. Cara Choi Eun Mi menceritakan “kesedihan” di cerpen ini hampir sama dengan cara Murakami menceritakan “kesepian” dalam cerpennya. Mereka menceritakan segala kejadian dan aktivitas dunianya lewat observasi perasaan dan pikiran tokohnya. Mereka juga sama-sama menutup cerpen masing-masing dengan kejutan yang menjelaskan mengapa  segala kejadian dan aktivitas dunia lewat observasi perasaan dan pikiran tokohnya perlu diceritakan sebelumnya. Lompatan-lompatan kejadian dalam cerpen Musim Dingin di Luar Jendela yang tadinya mengganggu saya, ternyata menyimpan maksud itu.

Musim Dingin di Luar Jendela mengandung kesedihan. Seperti juga tafsiran Chang Du Young atas cerpen-cerpen Choi Eun Mi lainnya yang terangkum dalam antologi berjudul “Mimpi yang Terlalu Indah” (saya ingin bacaaa!). Menurut Chang Du Young, cerpen-cerpen Choi Eun Mi dipenuhi kesedihan. Ya, Musim Dingin di Luar Jendela membuktikan itu. Karena terlalu sering bercerita tentang kesedihan, sampai-sampai Chang Du Young menyebut Choi Eun Mi menggambarkan “hidup adalah seperangkat tragedi yang menyakitkan dan kehidupan sehari-hari digambarkan sebagai proses mencoba bertahan dari kesedihan.”

Ah, demikianlah!

Semula saya mengira jadwal tutup perpustakaan di jam delapan malam akan mengangkat sepenuhnya beban saya karena telah membaca cerpen ini hingga selesai. Namun saat itu juga saya teringat dua “bacaan setengah jalan” di dua perpustakaan lain. Satu cerpen berjudul “Di dalam Mangkuk” karya Kim Sum di majalah yang sama dengan edisi berbeda. Adanya di perpustakaan Museum Konferensi Asia Afrika. Dan satu novel Tolstoy “Rumah Tangga yang Bahagia” di sebuah perpustakaan dekat kampus Universitas Muhammadiyah Maluku Utara di Ternate.

Aih, beban saya ternyata belum menggelinding sempurna. Masih tertahan di sebuah batu di antara reruntuhan. Saya perlu mengenyahkan batu itu. InshaAllah ^^


Friday, April 22, 2016

Opini MALUT POST 31 Maret 2016





GURU PENELITI, STANDAR PROFESI GURU
DAN PENELITIAN KOLABORATIF

Ummu Syahidah
(Mahasiswi Program Magister Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
ummusyahidah.arb@gmail.com)

Menjadi guru berarti menjadi bagian dari usaha meningkatkan kualitas pendidikan yang dapat dilakukan secara formal maupun non-formal. Tulisan ini berfokus pada usaha formal berupa penguasaan kompetensi inti guru yang berhubungan dengan jenjang jabatan fungsional profesinya. Dalam uraian Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 pada poin ke-10 Kompetensi Pedagogik disebutkan bahwa kompetensi inti yang harus dimiliki guru di semua jenjang pendidikan mulai dari PAUD hingga SMA adalah melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran. Realisasi poin ini selanjutnya dideskripsikan dalam tiga sub-poin. Dari tiga sub-poin tersebut, sub-poin terakhir tentang melakukan penelitian tindakan kelas untuk meningkatkan kualitas pembelajaran berhubungan erat dengan berubah tidaknya jabatan fungsional seseorang yang berprofesi sebagai guru.

Sebagai sebuah profesi, guru dituntut untuk bekerja secara profesional. Keprofesionalan formal seorang guru dinilai dari kemampuan kerjanya yang mencapai standar profesi yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui PermenPAN-RB Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Dalam uraian standar profesi tersebut, setiap guru yang dikatakan professional apabila memiliki angka kredit tertentu dari aktivitas publikasi ilmiah atau menciptakan karya inovatif, mulai dari guru, jabatan Guru Pertama hingga Guru Madya (lihat Pasal 17). Tuntutan pemerintah akan standar profesi pada guru tentunya telah dipertimbangkan korelasinya dengan peningkatan kualitas pembelajaran yang dilakukan oleh guru tersebut. Satu korelasi yang mungkin adalah keinginan agar pangkat yang beranjak naik beriringan juga dengan kualitas guru dan pembelajarannya. Oleh karena itu, melakukan penelitian tindakan kelas sebagaimana diamanahkan pada sub-poin 3 sebagai usaha memiliki Kompetensi Pedagogik diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran yang dilakukan guru dengan bonus mengantarkan guru tersebut pada peningkatan jabatan fungsionalnya.

Namun, demi memenuhi tuntutan standar profesi dan kualitas pembelajaran lewat pelaksanaan penelitian tindakan kelas. guru ternyata berhadapan dengan berbagai macam kendala. Dr. Raqib Chowdhury dari Fakultas Pendidikan Monash University dalam presentasinya di Konferensi Internasional Bahasa Inggris di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, pada 25 September 2015 menyebutkan setidaknya ada 17 kendala yang sering dihadapi guru saat melakukan penelitian. Dari 17 kendala tersebut ada 6 tipe kendala yang dalam simpulan penulis memenuhi konteks guru Indonesia, yaitu (1) beban waktu dalam aktivitas mengajar (heavy workload), (2) kurangnya inisiatif (lack of autonomy), (3) kurang berpengalaman dalam meneliti khususnya dalam penelitian tindakan kelas (inexperience), (4) berorientasi pada mengajar untuk ujian (exam-oriented teaching), (5) kesulitan dalam mendapatkan referensi dan materi penelitian berupa jurnal dan tulisan-tulisan hasil penelitian lainnya (difficulties in getting educational research reading materials), dan (6) kolega yang tidak kooperatif (uncooperative colleagues). Kendala-kendala ini membuat para guru akhirnya stagnan dengan usaha peningkatan kualitas pendidikan melalui kegiatan penelitian dan penulisan karya tulis ilmiah.

Padahal pada dasarnya guru adalah peneliti. Aktifitas mengajar dan mendidik yang dilakukan guru di sekolah seperti mendesain RPP, mengimplementasikan RPP, mengobservasi pembelajaran, menganalisis hasil pembelajaran, dan mengevaluasi pembelajaran, menurut Dr. Raqib adalah juga aktivitas yang dilakukan saat melaksanakan penelitian tindakan kelas. Akan tetapi karena kendala-kendala yang dihadapi, seperti yang telah disebutkan di atas, para guru sepertinya mengalami kesulitan melaksanakan perannya. Hal ini akan mengganggu langkah profesi para guru dan keprofesionalannya yang tentu saja akan berdampak pada molornya usaha peningkatan kualitas pendidikan Indonesia. Oleh sebab itu, perlu ada upaya dari segala penjuru untuk mengatasi, atau setidaknya meminimalisir kendala-kendala yang dihadapi para guru tersebut.

Sebagai bagian dari upaya itu, sebuah studi yang dilakukan oleh Asep Supriatna dari Universitas Pendidikan Indonesia di Sumedang, Jawa Barat, mengaplikasikan konsep penelitian kolaboratif. Dalam konsep penelitian kolaboratif ini, guru dan dosen berkolaborasi dan bekerjasama melakukan penelitian. Hasil studi ini mengungkapkan bahwa konsep penelitian kolaboratif ternyata terbukti efektif dan efisien dalam membantu meningkatkan performa guru sebagai peneliti. Konsep penelitian kolaboratif ini juga diimplementasikan oleh guru SDN Percobaan 2 Malang dan dosen Universitas Negeri Malang yang mengungkapkan bahwa penelitian kolaboratif yang mereka terapkan memberikan dampak positif pada pemahaman siswa membaca teks matematika melalui metode Read, Think, and Take a Note (baca Kerja Sama Indonesia-Amerika Serikat lewat Program USAID Prioritas di CNN Indonesia online 4 Februari 2015). 

Merujuk ke hasil dua studi itu, konsep penelitian kolaboratif guru dan dosen akan meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah, baik dari peningkatan pemahaman siswa dalam pembelajaran maupun guru dalam membantu menyelesaikan kendala-kendala saat melakukan penelitian, khususnya penelitian tindakan kelas yang menjadi tuntutan standar profesi guru. Melalui konsep penelitian kolaboratif, guru dan dosen akan saling membantu dalam menjalankan perannya. Guru membantu dosen mengaplikasikan praktek-praktek pembelajaran, sementara dosen membantu dan memperkuat guru dalam mengimplementasikan teori-teori pembelajaran yang relevan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi guru, seperti enam kendala yang telah disebutkan sebelumnya. 


Kolaborasi guru dan dosen dalam melakukan penelitian tindakan kelas perlu mendapatkan perhatian, khususnya pemerintah daerah. Sebaiknya ada upaya sistematis yang dikelola pemerintah melalui dinas pendidikan daerah untuk merealisasikan konsep penelitian kolaboratif guru dan dosen ini dalam sebuah program yang tetap dan berkelanjutan. Sebab konsep penelitian kolaboratif guru dan dosen, demi menjadi bagian dari usaha memenuhi standard profesi guru untuk meningkatkan kualitas pendidikan, akan dapat dijalankan secara maksimal dengan campur tangan pemerintah lewat dinas pendidikan daerahWallahualam.*


—Tulisan ini dimuat di Malut Post, 31 Maret 2016

 

Thursday, February 04, 2016

MONOLOG INGGIT

























Monolog Inggit

Duhai Kusno, kekasihku…
Seumpama kau adalah ombak,
aku tak akan memilih menjadi batu karang
yang akan memecahkanmu sebelum kau sampai di tepian.
Aku akan memilih menjadi butiran pasir di tepi pantai
yang menunggumu untuk datang
Saat kau lelah, saat kau gelisah,
menepilah ombakmu. Menepilah ke pasir butiranku.
Aku tahu kau adalah ombak.
 Dan aku senantiasa sementara untukmu.

Duhai Kusno, kekasihku…
Sejak kutandatangani takdir mendampingi hidupmu,
aku tahu tak akan mudah menjadi diriku.
Bagaimana pun cara Tuhan mempertemukan kita,
bagaimana pun cara Tuhan kemudian memisahkan kita,
itulah takdir yang sudah kusepakati dengan semesta.
Jeruji-jeruji yang menghalangi langkahmu,
tanah-tanah pengasingan yang menjauhkanmu,
tidak pernah menjadi masalah untukku dan tidak menjadi alasanku
meninggalkanmu.
Kau tahu Kusno, aku siap menerjang badai
denganmu.

Kusno… Kusno… kekasihku…
Cintaku padamu bukan cinta birahi!
Cintaku padamu adalah atas nama rakyat yang didatangkan oleh semesta.
Kubaluri tubuhmu dengan doa-doaku,
dalam tafakur malamku kusebut kau dan rakyatmu.

Kusno, aku memilih meninggalkanmu, bukan meninggalkan cintaku.
Kupilih meninggalkan nuraniku atas nama manusia dan napsuku
agar aku bisa menjaga kemurnian cintaku padamu.
Jikalau kau ombak, akulah tepianmu.
Selesai kau rehat di pasirku,
maka ikhlas kulepas kau ke tengah lautan kembali.
Iya, aku tak memilih menjadi batu karang untukmu.
Aku memilih menjadi pasir di tepianmu.
*

~ Monolog ini dicatat dari rekaman pembacaan @LelyMei di bedah buku “Kuantar ke Gerbang” di Pesta Buku Bandung, 30 Januari 2016. 
~ Ilustrasi dari sini 
~ Rekaman pembacaan oleh Lely Mei dengan iringan petikan gitar dan suara merdu Kang Aden bisa didengar di sini