Sunday, March 16, 2014

16 Maret






















3 pelukan

kapan terakhir kita berpelukan?
tiba-tiba saja aku mempertanyakan itu.
seberapa sering? entahlah.
mungkin karena tak terhitung, aku tak bisa mengingat jumlahnya.
mungkin karena hanya seberapa, aku lupa pada angka berapa ia membatas.
namun ada dua pelukan yang paling aku ingat.

pelukan pertama:
waktu itu suara mengaji dari masjid sudah diputar lama
kita masih berada di pantai. bayangan papa yang segera tiba membayang. kita akan kena dera dengan kayu bakar sebab pulang menjelang azan dan batobo.
kau dan aku basah kuyup di dekat jembatan kayu kecil yang dibuat pak nelayan untuk anak-anak nakal seperti kita dan teman lainnya yang selalu bersalto atau lompat ke dalam air laut dari atas perahu ikannya.
berpelukan dan berjanji untuk saling menyayangi, setelah sepanjang tahun kita habiskan banyak dengan menjadi tom dan jerry.

pelukan kedua:
kamar semacam kapal pecah. kamu memakai kaos hitam himpin. aku? daster pink putih selutut. aku masih ingat itu.
di satu sudut, aku memelukmu erat. tersenyum dan menghibur dengan rasa bersalah.
airmatamu berjejak di lantai, yang beberapa menit sebelumnya kita jadikan sebagai ring bagi para petinju profesional.
tidak ada janji saling menyayangi yang terucap. hanya bahwa pelukan itu terpahat kuat di dada ini.

akan ada satu pelukan lagi yang aku ingat.
saat menulis ini, kedua tanganku sedang memanjang dari bandung dan tiba di pangkep.
melewati lautan antara jawa dan sulawesi.
melewati apapun yang selalu sulit mulut sampaikan.
untuk memelukmu.
*

selamat milad, max. selamat menjalani angka 23. ^_^

diriku sengaja memosting ini jam 23.59 waktu makassar. 1 menit sebelum tanggal di kalender bulan maret berpindah dari 16 ke 17. :p

—AR,Bdg.16.3.14;9.03pm

Saturday, March 01, 2014

Ceritanya Cerita..





Suatu siang di Surabaya, di jalan dekat stasiun Pasar Turi, seorang lelaki mendekati tukang becak yang lagi tidur di dudukan becaknya. Lelaki itu membangunkan Mamas Becak.

Lelaki              : Mas, ke stasiun Turi ya...

Mamas Becak : Oh nggeh. Monggo, Mas. (Turun dari becaknya)

Sebab pernah mendapat wejangan dari seorang kenalannya perihal tukang becak yang curang dan suka menaikkan harga jika tidak ditanyai lebih dulu, lelaki itu bertanya harga menuju ke stasiun Pasar Turi.
Karena telah menjadi profesi selama bertahun-tahun, Mamas becak itu langsung tahu bahwa lelaki itu pastilah orang baru di Surabaya.

Mamas Becak: 20 rebu, Mas.

Lelaki           : (Hmmm... seperti yang saya kira. Untung saya patuhi wejangan teman itu. *kata hatinya*) Waaahhh... Mahal banget, Mas! Biasanya juga nggak sampai segitu.

Mamas Becak   : Nggak sampai segitu gimana, Mas? Lha wong tarifnya emang segitu.

Lelaki              : Wah... Kemahalan, Mas. Kan jalurnya dekat aja nih. Tuh, saya bahkan bisa ngelihat stasiun Turi dari sini. (menunjuk stasiun)

Sang Mamas Becak mendengus. Matahari sedang panas-panasnya. Lalu pelan-pelan didekatinya lelaki itu dan berhenti di depan telinganya. (Untuk efek dramatisasi. qeqeqe) Mamas Becak itu kemudian berbisik:

"Mas, entar kalau malam, bulan juga dekat." (menunjuk langit)

Lelaki itu menganga melihat Mamas Becak.

-selesai-

*


Hohohoho... :D
Saya sampai memegang perut saat seorang dosen menceritakan ini di pertemuan pertama sebuah mata kuliah. Lucu sekali. hihihi...

Redaksi Pak Dosen yang bercerita tentu saja tidak seperti apa yang saya tulis di atas. Stasiun pun karena saya lupa apa namanya yang diceritakan Pak Dosen, saya memilih salah satu stasiun saja di Surabaya. Tapi secara maksud, begitulah kira-kira. Dalam pikiran saya setelah "Lelaki itu menganga melihat Mamas Becak": Lelaki itu menganga mungkin karena kaget, ada filsuf menyamar jadi tukang becak kali ya?" (Abaikan isi pikiran saya ini. Hehe...)

Jadi kesimpulannya adalah... (mana yang benar?) ^_^ >> intermezzo<<
a. Yang dekat belum tentu dekat
b. Yang jauh belum tentu dekat
c. Yang dekat belum tentu jauh
d. Yang jauh belum tentu jauh.

#Ilustrasi dari sini