Tentang Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta karya Gus Muh
Oleh : Ummu Syahidah A.R Badar*
Aku beruntung dipertemukan dengannya. Di perpustakaan wilayah Sulawesi Selatan kebersamaan kami dimulai. Aku menemukannya tergeletak tak berdaya di antara tumpukan buku Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas. Tampangnya sangat kusut. Beberapa bagian tubuhnya bahkan berhamburan. Iba aku melihat ketaksanggupannya menyelamatkan diri. Kudekati dan kudekap dia. Beberapa tanda tanya besar tiba-tiba berkelebat dalam benakku. Mengapa aku bisa menemukannya disini? Mungkinkah aku ditakdirkan bertemu dengannya di tempat ini? Aku tak tahu bagaimana mengubah tanda itu. Namun yang terjadi setelahnya adalah aku dapat memberi tanya itu jawabannya.
Seperti kukatakan diatas. Aku menemukannya dalam keadaan memprihatinkan. Ia nampak sangat tidak menarik. Dari segi penampilan, ia lumayan memberikan sumbangsih. Tapi karena terjebak dalam ke-kumal-an, ia terlihat cukup mengerikan. Meski begitu, aku menggamitnya. Dalam dekapanku dapat kurasakan ia tersenyum. Dan senyuman itu menyihirku. Aku langsung jatuh dalam keindahannya. Kedengaran hiperbola memang. Namun seperti itu adanya yang kurasakan.
SCRIPTA MANENT VERBA VOLANT
yang tertulis akan tetap mengabdi, yang terucap akan berlalu bersama angin
Kumpulan kata ini yang mengambil perhatianku. Kata-kata ini menempel di belakang wajahnya. Bukan tanpa alasan aku berkata demikian. Keadaanku waktu itu juga merupakan salah satu faktor penting aku menyukainya. Aku masih berada dalam kondisi pencarian dimanakah posisiku dalam kehidupan ini. Dan dunia penulisan baru saja kusadari sebagai bagian penting hidupku. Jadinya ia dan segala yang tercetak dalam bingkai putih, orange, dan merah itu resmi aku kukuhkan sebagai sahabatku.
Setiap ada waktu luang, aku menyambanginya. Bertemu dengannya dan larut dalam kekaguman tak berbatas. Ia memberiku begitu banyak inspirasi. Aku benar-benar betah berada didekatnya. Aku bersyukur tempatku menimba ilmu duduk tepat di depan bangunan ia bernaung. Sehingga aku tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk menemuinya ketika aku harus menunggu kelas dosenku.
***
Aku tak dapat menemukannya. Ia menghilang. Ia tak berada di tempatnya ketika kudatangi. Aku kecewa sekali. Padahal aku sangat ingin menghabiskan cerita-ceritanya yang tinggal beberapa bagian. Tapi ia tak terdeteksi. Kucoba bertanya pada penjaganya, namun kata sang penjaga ia tidak tahu-menahu perihal si putih, orange, dan merah itu. Aku sempat pitam waktu itu. Bagaimana si penjaga itu bisa tidak tahu? Setiap hari kan ia berinteraksi dengan sahabatku dan teman-temannya. Jadi bagaimana bisa ia dengan enteng mengatakan ia tidak tahu lalu menyuruhku mencarinya sendiri. Apakah ia tidak salah bicara? Menyuruhku mencari diantara beribu-ribu tumpukan itu. Yang benar saja. Aku tak akan mampu. Jika saja aku lupa menggunakan nalar tersehatku, mungkin aku akan menjadi selebriti dadakan dalam ruangan itu. Ditatapi puluhan mata dengan sorot heran.
Putus asa dan penasaran menggerogotiku. Berulang kali aku berusaha menemukannya. Tapi lagi-lagi seperti kejadian sebelumya. Nihil. Ia bak ditelan bumi. Kosong dan menghilang tanpa jejak. Dan aku akhirnya kehilangan selera pergi ke bangunan di depan kampusku itu.
***
Aku mendapat kabar baik. Teman-teman senasib seperjuanganku di Kota yang dulunya bernama Ujung Pandang sedang berada di kota yang pernah menjadi ibukota Negara Indonesia pada zaman perang melawan penjajah, Yogyakarta. Satu ide terbesit dalam isi kepala. Kuraih handphone andalan yang mulai hitam layarnya.
Dengan tergesa-gesa aku menelepon seorang sahabat yang menuntut ilmu di Kota pendidikan itu. Aman Burcino Vasso namanya. Orang Italia kah dia? Namanya menjurus ke Negara itu. Bukan, dia bukan Italia. Ia asli Indonesia, Tidore tepatnya. kurang familiar memang namanya di telinga Indonesia. Karena nama itu hanyalah nama yang dipakainya sebagai sebutan keren ketika ia berstatus siswa eSeMPe. Bukan nama sebenarnya.
Sahabatku itu, si Aman Burcino Vasso itu bersedia membantuku. Aku senang sekali. Untungnya aku dapat mengungkapkannya dengan kata-kata rasa senang itu. Kujelaskan padanya apa yang kucari dan dimana tempat ia bisa menemukannya. Shoping Center menjadi target. Karena lewat sahabatku yang hilang itu, aku tahu ada tempat penjualan kumpulan aksara di Yogyakarta yang bernama Shoping Center. Dan sahabat Yogya-ku memang menemukannya disana.
Namun aku masih menunda waktu pembeliannya. Maklumlah, bulan dua di awal tahun ada keperluan mendesak. Sehingga bulan tiga kurencanakan mengirim alat pembayaran sah agar sahabatku bisa mencarinya. Beberapa hari kemudian aku mendapatkan kejutan. Yang kucari telah ditemukan. Sahabatku telah menemukannya dan mengambilnya atas inisiatif sendiri. Ah,,, aku merasa tidak enak hati. Aku belum mengirimkan rupiah untuk itu. Sahabatku itu telah menggunakan rupiahnya untuk mendapatkan apa kucari. Aku benar-benar tidak enak hati. Tapi kemudian ia meyakinkanku. “anggaplah itu sebagai hadiah sesama teman” katanya. Ia ikhlas memberikannya padaku baik sekali sahabatku itu. Yah… aku tahu itu. Ia memang selalu baik sejak pertama kali aku mengenalnya. Aku tak dapat berkata banyak untuk kebaikannya, selain SYUKRAN KAFIRAN, JAZAKALLAH KHAIRAN AKHI… Thank you very much for your kind, friend!!! This book is very valuable for me.
***
Berita yang kutunggu akhirnya datang juga. Semangatlah aku hari itu. 16 Maret 2009. Lima belas menit setelah azan maghrib berkumandang aku meluncur ke rumah si pemberi berita. Tentunya setelah melaksanakan kewajibanku sebagai hamba pada Allah SWT sebelumnya. Walau sempat tersesat sebentar, aku pun mendapatkannya. Ia, sahabatku yang hilang itu kini dalam dekapanku. Dengan dibalut rapi kertas Koran Yogyakarta, aku menerimanya. Wah… semakin bersemangat aku dibuatnya. Besar sekali magnet sahabat yang baru ditemukan itu.
Aku tidak membuang waktu lagi. Dalam perjalanan pulang di atas pete-pete (baca;angkot), aku langsung membuka si kulit luar. Sedikit demi sedikit si putih, orange dan merah terlihat. Ia tersenyum padaku. Aku tahu ia rindu padaku. Ia pastinya ingin menceritakan kisahnya yang terputus hingga akhir padaku. Kini kesampaian sudah keinginannya. Karena sebelum sampai di pintu rumah, aku telah melahap habis sisa-sisa kisahnya.
Jika Andrea Hirata begitu terobsesi dengan sebuah tempat bernama Edensor dalam buku yang diberikan A ling padanya, hingga dipakai sebagai salah satu judul Tetralogi Laskar Pelangi-nya, Maka “Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta” adalah sebuah buku yang membuatku benar-benar terpana.***
*Aktivis Forum Lingkar Pena (FLP) Sulsel & HIPMIN Makassar
No comments:
Post a Comment