Sunday, March 29, 2015

BATU AKIK DAN MOMEN MENEMUKAN CINTA






Membaca apdetan di fanpage Pak Walikota Bandung kemarin tentang Festival Batu Akik di lapangan Tegalega, Bandung, mengingatkan saya pada pengalaman bersinggungan dengan “heboh” batu akik. Begini ceritanya:

Saat libur semester satu tahun lalu, saya mudik ke Tidore selama dua pekan. Salah satu agenda mudik adalah membeli cincin besi putih pesanan seorang sohib, yang meskipun berada nun jauh di Kalimantan dekat perbatasan Indonesia-Malaysia sana, namun tak pernah lupa bahwa Ternate adalah surga besi putih. Maka sehari sebelum kembali ke Bandung, saya menapaki kawasan penjualan besi putih di area Pasar Gamalama, Ternate. Sembari memilih cincin pesanan sohib itu, mata saya bersihadap dengan sebuah cincin besi putih bermata hijau. Hanya ada satu. Padahal biasanya ada banyak desain dan warna cincin yang sama. Namun cincin bermata hijau itu hanya ada satu.

Semula saya putuskan membeli cincin bermata hijau itu demi memenuhi pesanan sohib tadi. Namun saat mencoba memakaikannya di jari manis tangan saya, ukurannya pas. Karena ukurannya pas, saya yakin cincinnya tak akan muat dipakaikan di jari tangan sohib itu. Alasannya: tak lain, tak bukan, ukuran jari tangannya yang lebih kecil. Hipotesis saya berangkat dari analisis kenyataan yang jika kamu mengenal sohib saya itu, kamu akan mendukung penuh hipotesis saya. Dan benar saja! 11 bulan setelahnya, dugaan saya perihal ukuran jari tangan yang lebih kecil itu terbukti saat kami bertemu di Bogor. Hoho…

Kembali ke kawasan penjualan besi putih di Pasar Gamalama. Cincin besi putih bermata hijau itu akhirnya saya beli. Meskipun awalnya tak berniat membeli cincin untuk diri sendiri, tapi sebab berwarna hijau itulah, cincinnya saya beli juga dan langsung menyematkan di jari manis tangan kanan. Pas! Sesudah itu, saya berhasil menemukan cincin pesanan si sohib yang saya kira akan cocok di jari tangannya. Syukurlah, perkiraan ukurannya tidak meleset. Dari Pasar Gamalama, naik oto menuju Pelabuhan Bastiong. Berlanjut naik speedboat pulang ke Tidore. Keesokan harinya saya kembali ke Bandung, memulai semester dua di Kampus Bumi Siliwangi.

Sepanjang semester dua hingga semester tiga berakhir, cincin bermata hijau itu setia terpasang di jari tangan saya. Seingat saya, selama saat-saat itu, tak ada perhatian lebih yang orang-orang beri ketika melihat cincin itu melingkar di jari tangan saya. Mereka hanya melihat sekilas pabila tangan saya terangkat atau tanpa sengaja mata mereka bersitatap dengannya. Tak ada komentar lebih, tak ada pujian. Cincin bermata hijau itu tak bermakna apa-apa bagi orang-orang yang pernah melihatnya.

Hingga di akhir tahun 2014 sampai memasuki awal tahun 2015, batu-batu akik tiba-tiba mempunyai nilai berharga di mata masyarakat Indonesia. Mungkin saja sudah jauh-jauh hari batu-batu akik menyinarkan pesonanya, namun baru terasa oleh saya berita perihal menuju puncaknya (emang AFI? Hihi) akhir-akhir kemarin. Di tengah maraknya perbincangan mengenai batu akik dan jenis-jenisnya, cincin bermata hijau di jari tangan saya juga mendadak naik daun di mata orang-orang yang pernah berinteraksi dengan saya.

Semasa berjaya itulah, beberapa kali dalam seminggu, saya pasti akan mendengar pujian untuk cincin di jari tangan saya.

“Aiii… cincinnya cantik bangeeet! Beli di mana? Mau dooonggg?” kata seorang teman yang padahal sebelumnya (mungkin) sudah sering melihatnya, karena saya dan dia berada di kelas yang sama selama semester 2 dan 3.

“Wow! Batu apa itu di cincinnya? Hijaunya bagus sekali? Batu Bacan kah? Sukaaa…”

“Di cincinnya itu Batu Bacan? Cantiknyaa.”

Serta pertanyaan-pertanyaan dan komentar-komentar memuji lainnya.

Saya hanya mengangkat bahu menjawab pertanyaan ini. Saya sungguh tak tahu menahu jenis batu apa di hijau mata cincin saya itu. Lagipula, saya tak punya sedikitpun ketertarikan pada batu-batu semacam itu. Saya tidak ambil peduli dengan jenis batu akik apa yang melingkari jari tangan saya. Entah batu bacan, batu giok, dan batu-batu lainnya. Saya membeli cincin bermata hijau yang terlihat seperti jenis batu-batu ternama itu jauuuh sebelum batu-batu akik menempati hati beberapa kelompok masyarakat. Oleh karenanya, saya hanya menganggapnya cincin biasa saja.

Meskipun begitu, binar di mata Mamang Penjual Bubur Ayam waktu melihat cincin bermata hijau itu menyadarkan saya perihal betapa berharganya nilainya saat ini.

“Ini teh batu apa, Neng? Bagus euy!” Tanya Mamang Bubur Ayam sembari menunjuk cincin di jari tangan saya.

“Nggak tahu, Mang. Saya nggak ngerti dengan batu-batuan kayak gitu.”

Mamang Bubur itu lalu menunjukkan batu-batu koleksinya di tiga cincin yang melingkar di jari-jari tangannya.

“Ini mah batu-batu yang dikasih teman saya. Bagus. Tapi punya Neng lebih bagus euy!” Mamang Bubur heboh sekali.

Saya hanya senyam-senyum. Tidak mengerti dengan nilai batu-batuan semacam itu. Mamang Bubur Ayam itu bahkan meminta saya melepas cincin di jari saya asal sebentar. Dia mau mencoba memakainya. Saya sanggupi. Cincin itu berpindah ke jari kelingkingnya (muatnya hanya di jari kelingking). Setelah dipakai, diangkatlah tangannya dan dipandangi dengan senyum yang mengembang. Beberapa saat kemudian cincinnya dia lepaskan dan dikembalikan pada saya sambil berkata,

“Neng, saya doakan kuliahnya cepat lulus ya…”

“Amiin ya Rabb…”

Mengingat tentang progres tesis yang sedang ditulis, saya mengaminkan doa Mamang Bubur dengan penuh semangat.

“Terimakasih doanya, Mang.”

“Saya doakan semoga cepat wisuda. Cepat balik ke kampung halamannya.”

“Aamiin…” Aamiin saya semakin kencang.

“Saya doakan cepat selesai. Tapi sebelum pulang kampung, cincin bagusnya ini kasih ke saya yaaa… Hehehe…”

“Eh…” Saya hanya melongo.

“Iya, habisnya batu di cincinnya bagus sekali!”

“Heh…” Saya masih melongo. Kemudian mengangguk-angguk sekenanya.

“Hatur nuhun, Mang.”

“Mangga, Neng. Jangan lupa cincin batunya yaaa…”

“He-eh…” Saya masih mengangguk sekenanya.

Mamang Bubur Ayam me boke lagi! (ungkapan keheranan/keterkejutan/ketidakpercayaan yang tenar di Maluku Utara)

Saya bayar bubur ayam yang sebelumnya saya makan, lalu berjalan pulang ke rumah. Sepanjang jalan saya pandangi cincin bermata hijau itu yang entah batu berjenis apa. Saya masih terheran-heran dengan ekspresi Mamang Bubur Ayam yang heboh tadi. Saya makan bubur ayam di kedainya bukan satu kali sebulan. Saya sangat sering makan di kedainya. Langganan malah. Selama periode makan bubur ayam yang sering itupun saya sudah memakai cincin bermata hijau itu di jari tangan. Selalu saya pakai cincin itu dan yakin pernah dilihat Mamang Bubur sebelum-sebelumnya. Tapi mengapa pujian bahwa cincinnya bagus baru Mamang Bubur itu ekspresikan barusan?

Saya kemudian mengingat kejadian yang sama pada orang-orang yang berinteraksi dengan saya selama ini, sesudah saya memakai cincin bermata hijau itu di jari tangan. Sebelum pamor batu akik meningkat tajam, cincin saya ini tak dilirik penuh arti. Setelah momen batu akik bersinar, cincin bermata hijau saya juga ikut-ikutan kecipratan sinar ketenaran batu akik. Dipuja-puja. Diperhatikan penuh makna. Dijatuhcintai.

Dari untaian pengalaman itu, yang sungguh masih mengherankan, saya lalu menarik kesimpulan begini: Aaah, rasa suka ternyata perihal momen saja. Cincin bermata hijau yang dipandangi orang-orang tak berarti apa-apa sebelumnya, rupanya langsung membuat mereka jatuh cinta ketika momen “demam batu akik” menjadikannya sangat berharga. Aaah, ternyata memang benar. Cinta itu hanya tentang momen saja. Sesuatu dicintai dan belum dicintai rupanya tergantung pada momen saja. Aaah, ternyata begitu, ya…?

Kesimpulan tentang momen ini membawa saya pada cerita Yoon Yoon Jae yang telah lama bersahabat dengan Sung Shi Won, saling mengenal sejak masih kanak-kanak, namun baru jatuh cinta bertahun-tahun kemudian setelah melihat Sung Shi Won pertama kali tak memakai kacamata. Yoon Jae mengatakan pada momen melihat Shi Won pertama kali tak lagi memakai kacamata itulah dia merasa jantungnya berdegup kencang sekali dan di matanya Shi Won terlihat begitu cantik (Reply 1997). Atau cerita Sung Na Jeong yang jatuh cinta pada Oppa’yaa untuk pertama kalinya ketika terbaring sakit di rumah sakit, padahal selama bertahun-tahun mereka hidup satu rumah, sudah seperti adik-kakak. Hubungan seperti adik-kakak mereka pun juga selalu dipenuhi pertengkaran. Tapi mengapa cerita Na Jeong dan Oppa’yaa berakhir dengan saling mencintai? (Reply 1994)

MOMEN!

Demikian kesimpulan kuat saya. Ditambah lagi apabila mengingat cerita seorang Abang yang juga bersinggungan dengan MOMEN sebelum akhirnya menemukan belahan jiwanya ada pada teman yang telah ia kenal sejak bertahun-tahun silam (cerita lengkapnya nanti bisa dibaca di buku terbaru Abang ini yang inshaAllah terbit bulan depan berjudul Cinta Paling Setia. [promo.com] ^_^ hihi), saya semakin yakin dengan kesimpulan itu: Aaah… cinta memang ternyata perihal momen saja..

Suit… Suit… Hihi…

Ah, cukup sekian dulu uraian hipotesis-pembahasan-kesimpulan dari cincin bermata hijau, batu akik, dan momen menemukan cinta ini. Apalagi pascahujan sore tadi, udara Bandung terasa bertambah dingin menggigit kulit. Membuat cahaya mata begitu cepatnya menurun pada kisaran 2 watt saja. Selamat tidur… :D


Wednesday, March 25, 2015

Tidak Apa-apa



Suatu hari saat sedang berjalan, Alice mendapati jalan yang bercabang. Ia lalu bertanya pada seekor kucing Cheshire yang dilihatnya berada di atas pohon di dekatnya.

"Aku harus lewat jalan mana?"

"Kamu mau ke mana? Kamu mau lewat mana?" jawab si kucing yang malah balik bertanya.

"Aku tak tahu," jawab Alice.


"Tidak apa-apa," kata si kucing.

*

Membaca gambar dan tulisan di sampingnya di atas, kadangkala membuat saya sedikit lega menjadi manusia, ketika merasa gagal menjadi pribadi yang seharusnya menjalani kehidupan dengan seharusnya.

Tidak apa-apa.

Asal jangan kehilangan Dia saja. :)

Atau bagaimana? ^^

*

NB: saya belum tahu apa padanan yang cocok untuk menerjemahkan jenis kucing Cheshire dalam Bahasa Indonesia. Jadi ditulis saja apa adanya. ^_^

Membacakan Puisi Dewi Mudijiwa (lagi)


https://soundcloud.com/aida-radar/puisi-aidaradar-februari-dan-onomatope-melankolia-dewi-mudijiwa


Semestinya saya tidak menggunakan waktu untuk mengurusi hal selain yang berhubungan dengan revisian dan jadwal-jadwal bimbingan calon tesis (gaya! hihi), seperti mengapdet blog ini. Namun karena saya sedang agak blank dan semangat memperhatikan rumah satu ini sedang tinggi-tingginya, jadi saya memutuskan "meminggirkan" sementara beberapa judul jurnal demi mengisi penghuni baru di rumah ini.

Sudah dari dua hari lalu saya memosting pembacaan puisi ini di Soundcloud, tapi baru berniat membaginya di sini. Siapa tahu ada yang berminat mendengar suara "keren tiada tara di sana". hohoho :D

Silakan, bagi yang mau mendengar, klik saja gambar di atas. Kamu akan langsung terhubung dengan pembacaan puisinya. Ah, kamu punya kunci untuk masuk ke Soundcloud, kan? ^^


Sunday, March 22, 2015

Pak Habibie dan Ibu Ainun




Sebuah peristiwa yang berlangsung hari ini di sebuah pulau di Timur Indonesia, mengingatkan saya pada sepasang kekasih yang penuh cinta ini. Tahun 2011 silam, saat membaca buku Habibie dan Ainun, saya merasakan betapa langkanya cinta dan kasih sayang yang dimiliki keduanya jika membandingkan dengan begitu banyaknya kisah "tak bersetia" berseliweran di sana sini, yang membuat saya meringis muak, bersedih, hingga menangis ketika melihat, mendengar atau membacanya.

Satu hal yang paling membekas di ingatan saya dari kisah cinta Pak Habibie dan Ibu Ainun adalah penyadaran dan penghargaan Pak Habibie yang tinggi akan kehadiran Ibu Ainun di sisinya. Ibu Ainun bukan hanya seorang teman hidup bagi Pak Habibie. Ibu Ainun adalah sepenggal jiwa Pak Habibie.

Pak Habibie, apabila hendak memutuskan suatu perkara, baik urusan pribadi maupun pekerjaan, selalu melibatkan Ibu Ainun di dalamnya. Selalu..

"...tunggu sebentar, ya. Saya tanya Ainun dulu.."

Demikian lelaki setia itu selalu berkata. Sederhana saja. Namun mengandung makna yang dahsyat bagi kelangsungan kehidupan pernikahan keduanya.

Ah... Betapa tulusnya. Betapa murninya.


Sementara mengenai cinta dan pengabdian Ibu Ainun sebagai seorang istri pada Pak Habibie, kita tentu telah banyak tahu perihal itu, kan? :)

Semoga saja kita yang masih hijau ini, bisa belajar banyak dan mencontohi bagaimana Pak Habibie dan Ibu Ainun saling membagi perasaan dalam genggaman tangan yang senantiasa beriringan. Aamiin...

***
Catatan sederhana ini  saya persembahkan untuk Kakak Nona yang hari ini (22 Maret 2014) resmi mengenapkan separuh Dien-nya di Ternate. Semoga berkah Allah SWT selalu tercurah pada kehidupan pernikahan Kakak Nona dan Suami. Barakallahu laka wa baraka 'alaika wa jama'a bainakuma fii khair. Aamiin... :)

Sunday, March 15, 2015

Selamat Milad, Max


Z - Ade Illa - Max





















SATU DARAH

Pada perasaan-perasaan
yang sering tak menemukan jalan pulang,
darah yang mengalir dalam nadi kita,
yakinku tak akan pernah menyimpan khianat.
Dilelehkan.
Terluka.
Menjadi tanda yang membekas
di kulit ari. Selamanya.
Semoga.

Sebagaimana matahari yang bersetia pada bumi
Mari kita selalu saling menyalingi.
*
—AR,Bdg,15.3.2015;9:50pm
*
Selamat milad, Max.
Perempuan 16 Maret. 
Semoga selalu berada di jalan Sang Nabi SAW menuju-Nya.
Aamiin…
Semoga menjadi perawat yang merawat dengan hati.
Aamiin…
Semoga segala doa-doa terbaik tercurah padamu
Dari gumpalan awan putih di langit biru cerah.
Aamiin…

Thursday, March 12, 2015

SEKADAR BERCERITA



TIDAK KE MANA-MANA




30 Oktober 2014, di sebuah perhelatan sastra yang diselenggarakan di fakultas di mana saya belajar, saya membeli sebuah buku kumpulan cerita pendek dan fiksimini. Saya sudah lama ingin membeli buku itu, tapi baru bisa memilikinya di hari kedua di ujung bulan sepuluh. Sembari menunggu kuliah bakda Dzuhur, saya membaca sebuah cerpen di buku itu. Tuntas membacanya, dosen saya muncul. Buku itu saya tutup. Kuliah saya dimulai.

Tidak ada lagi yang menarik untuk diceritakan setelahnya di hari itu. Hingga..

Hari pertama di bulan November 2014, saya menyadari telah kehilangan sesuatu. Buku kumpulan cerpen dan fiksimini yang baru saya beli dua hari sebelumnya tak ada di tas, tumpukan buku, atau di rak saya biasa menyimpan buku-buku. Saya panik mencari diiringi merutuki penyakit pelupa yang saya idap. Di mana saya meletakkan buku itu? Di mana, ya? Di mana? Saya memutar memori, kembali ke 30 Oktober. Setelah kuliah saya makan di foodcourt di Gerlong. Kemudian saya ke mana lagi? Memori saya tergores di situ. Blank!

Berbekal ingatan yang hanya sepenggal, saya berlari dari rumah menuju foodcourt dengan harapan buku kumpulan cerpen dan fiksimini itu tertinggal di sana, lalu diselamatkan dan disimpan Aa’ penjual yang sempat melihatnya. Sayangnya harapan saya memang hanyalah menjadi harapan. Buku kumpulan cerpen dan fiksimini itu tak berada di sana. Hingga tiga hari berturut-turut kemudian, foodcourt yang saya sambangi tak memekarkan senyum di wajah saya biar barang sedikit.

Meskipun sedih dan kecewa, saya mencoba untuk berdamai saja dengan kenyataan bahwa buku saya telah hilang. Saya ingat kata-kata Aa’ Gym yang sering didengar, “ngapain stress dengan apa yang sudah hilang? Stress juga nggak bakalan ngembaliin yang sudah hilang itu kok.” Maka saya berusaha berpikir rasional. Sebagai bentuk upaya saya merelakan buku kumpulan cerpen dan fiksimini yang baru dibeli dan baru satu cerpen yang dibaca, malamnya saya berkicau beberapa kali di lini masa. Melepaskan segala gundah kehilangan sebuah buku baru. Sesudah itu saya tidur dengan perasaan yang selapang gurun-gurun di Benua Hitam. Saya berhasil mendamaikan diri.

Pagi tiba. Saya memulai hari dengan melupakan kehilangan buku tiga hari kemarin dan kesedihan plus kekecewaan di dua hari sesudahnya. Bila dipikir-pikir, momok pelupa saya ternyata berguna juga. Saat angka-angka di kalender hilang dan berganti, saya telah benar-benar melupakan buku kumpulan cerpen dan fiksimini yang baru dibeli dan baru satu cerpen yang dibaca itu.

Sampai suatu ketika..

10 Maret 2015, sebuah akun atas nama sebuah perpustakaan masjid kampus di mana saya sering membaca dan meminjam buku-buku, mengirimi saya sebuah pesan di facebook:
assalamualaikum, kami dari perpustakaan salman ITB menemukan buku bacaan atas nama Aida Radar di perpus. Jika merasa kehilangan bisa cek ke perpus salman, teh :)

Agak sedikit kaget dan bingung, saya jawab pesan itu:
Waalaikumsalam,
Oh begitu ya…
Astaga, Z bahkan lupa buku apa. :D
Maaf, boleh tanya judul bukunya?

Sesaat setelah menerima pesan itu, saya benar-benar lupa buku bacaan yang ada nama saya di dalamnya dan tertinggal di perpustakaan itu. Sepanjang hari saya menunggu balasan pesan namun tidak kunjung ada. Mungkin Aa’ atau Teteh­-nya lagi sibuk.

Didorong rasa penasaran, pagi menjelang siang kemarin atau sehari sesudah menerima pesan itu, saya telah berada di ruang perpustakaan Salman ITB.

“Aa’ punten, kemarin saya dapat pesan di Facebook katanya ada buku saya yang ketinggalan di sini.”

“Oh lewat Facebook, ya?”

“Iya.”

“Sebentar, ya..”

Pustakawan itu mencari sesuatu di rak buku, namun malah mengeluarkan sebuah buku dengan gambar kepala dan mata manusia di kavernya, dari laci meja di depan saya. Mata saya membola melihat buku itu. Antara shock dan gembira saya ambil buku yang diulurkan Aa’ Pustakawan.

“Astaga! Saya kira buku ini sudah hilang, A’. Ternyata ketinggalan di sini toh.” Mata saya berbinar-binar.

Aa’ Pustakawan tersenyum. 

“Buku ini baru saya beli, baru satu cerpen yang saya baca, dan hari itu juga saya kira hilang.” Saya berbicara dengan penuh semangat. Gembira sekali. ^0^

Aa’ Pustakawan tersenyum lagi. Mungkin juga merasa aneh melihat saya begitu ‘lebay bin heboh’. Hihi

Beberapa menit kemudian saya meninggalkan perpustakaan setelah sebelumnya mengucapkan berulangkali terimakasih pada Aa’ Pustakawan yang menemukan dan mengamankan buku saya.

Kamu tentu sudah tahu buku apa, kan?

Ya, itulah buku kumpulan cerpen dan fiksimini yang saya beli dan hilang di 30 Oktober 2014. :)

Di angkutan kota yang mengantar saya pulang ke Gerlong, sekumpulan kata ini terus mengiangi dan saya tak punya alasan lagi untuk tidak mempercayainya:
Sesuatu yang telah ditakdirkan membersamaimu,
Tak akan ke mana-mana.
Jika pun mesti pergi ke mana-mana,
Dia akan selalu menemukan jalan pulang,
Kembali padamu.

Buku kumpulan cerpen dan fiksi mini yang baru kembali setelah lama pergi saya genggam erat-erat. Senyum saya lalu menyimpul. Walaupun saat itu angkutan kota terjebak macet di jalan Siliwangi, senyum saya malah semakin merekah. :)

*

Picture: A scene in Daisy, KMovie.


Wednesday, March 04, 2015

Tulisan untuk Lomba Resensi Buku FLP dalam Rangka Milad FLP ke-18



ROMAN SEMESTA: 
MENGUNGKAP RASA DAN SEMESTA FITRAWAN UMAR
 


Judul Buku : Roman Semesta
Penulis : Fitrawan Umar
Penerbit : Motion Publishing
Cetakan : 1, April 2014
Tebal : viii + 86 halaman
ISBN : 978–602700541–9

Membaca puisi berarti membaca siapa yang menuliskannya, membaca penyairnya. Puisi, sebagaimana jenis karya sastra lainnya berperan sebagai penyampai segala apa yang dirasakan penulisnya yang hendak diberitahukan pada orang lain. Edgar Allan Poe, seorang penyair yang dikenal sebagai figur Romantic Movement dalam kesusastraan Amerika mengatakan puisi adalah penjelmaan dan citarasa penyairnya. Itulah mengapa saat membaca puisi, kita seolah-olah merasa mengenal pengarangnya, merasakan apa yang dirasakannya, dan menjadi bersimpati hingga empati padanya, atau malah ada yang menjadi antipati terhadapnya.

Di tengah hiruk pikuk perpolitikan Indonesia yang membuat hawa di berbagai penjuru nusantara terasa panas saja, pembaca sastra di Indonesia disuguhi sebuah rasa yang berbeda melalui Roman Semesta; buku kumpulan puisi yang ditulis oleh penulis muda dari Sulawesi Selatan: Fitrawan Umar. Yang menarik dari penerbitan kumpulan puisi ini adalah disertakannya CD minialbum musikalisasi beberapa puisi di dalam Roman Semesta oleh kelompok musik bernama SeLsA. Jadi selain membaca puisi, kita pun bisa menikmati puisi yang dibacakan dan juga puisi yang dinyanyikan.

Sebagaimana judulnya, puisi-puisi di Roman Semesta bercerita tentang segala dalam semesta yang direkam dan dirasakan penulisnya. Puisi-puisi dalam buku ini dibagi menjadi tiga bagian yang mewakili sub-tema yang tidak sama, meskipun benang merahnya tetaplah Roman Semesta. Tiap bagian memuat puisi berjudul Roman Semesta sebagai (semacam) puisi selamat datang, dari Roman Semesta, Roman Semesta (2), dan Roman Semesta (3). Pada bagian ini, saya bisa melihat ke-kreatif-an penulis (mungkin juga tim penerbitan: editor dan layouter) dalam menempatposisikan puisi-puisi sesuai dengan sub-tema yang mereka harapkan bisa ditangkap pembaca. Sebagai gambaran, mari kita lihat penggalan Roman Semesta yang saya maksudkan:

ROMAN SEMESTA
Sepasang pagi dan embun
hangatkan jiwa rimbun…

Daun-daun telah terjaga
matahari meraja…

Cita cinta kita akan nyata
dalam roman semesta
pada hidup yang rahasia
(hal. 3)

ROMAN SEMESTA (2)
Pada hidup yang rahasia
sejarah tidak pernah patuh
pada silsilah…

Keadilan sebetulnya hanya serpihan
dari segala roman
berserak entah ke mana…

Kita menunggu,
suara-suara yang dibungkam
dalam semesta
akan
tersingkap dalam doa
(hal. 25)

ROMAN SEMESTA (3)
Tersingkap dalam doa
aneka suara
dari pencinta


memang cinta tidak seberapa besar
dari masalah

tetapi masalah besar acapkali
bermula
dari cinta
(hal. 53-54)

Dari tiga penggalan puisi Roman Semesta, Roman Semesta (2), Roman Semesta (3) di atas, dapat terlihat bahwa penulisan dan penempatan puisi di dalam bagian-bagian tertentu di Roman Semesta bukanlah tanpa tujuan. Setelah membaca berulangkali, dari depan hingga belakang, lalu mengecek kecurigaan-kecurigaan saya terhadap tujuan penempatan puisi-puisi itu, serta saling berhubungannya mereka satu sama lain, saya lalu tiba pada satu kesimpulan: Roman Semesta adalah usaha penulisnya mengungkapkan aneka perasaannya terhadap hidup dan semesta yang direkamnya sekaligus memberi gambaran sudut pandang dalam memaknainya. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan M. Taslim Ali, penyair dan penerjemah Indonesia angkatan tahun 50-an, bahwa puisi adalah gambaran getaran jiwa penyairnya yang disampaikan dengan bahasa yang indah perihal apa yang dilihat, dialami dan dirasakannya.

Dengan membaca seksama, Roman Semesta memberi semacam penegasan tentang posisi berdiri penulisnya. Dari bagian pertama puisi Roman Semesta, pembaca mungkin bisa membayangkan jika Fitrawan Umar adalah seorang yang sering bersinggungan dengan usaha pelestarian lingkungan tanpa melihat profil penulis yang menginformasikan ia adalah mahasiswa Ilmu Lingkungan yang tentu saja berinteraksi dengan isu-isu lingkungan. Hal itu terbaca dari puisi-puisi tentang lingkungan hidup dengan menggunakan simbol flora dan fauna sebagai representatifnya, tentang semakin memburuknya lingkungan yang kita tinggali saat ini sehingga untuk merasakan // Sepasang pagi dan embun/ hangatkan jiwa rimbun/ yang dibekap sunyi// Daun-daun telah terjaga/ matahari meraja/ bunga-bunga rekah semanis senyuman.// mungkin hanya bisa didapatkan di dalam imajinasi saja.

Puisi Roman Semesta (2) punya cerita yang berbeda, meskipun masih sambungan dari puisi pembuka di bagian pertama. Posisi sebagai pengamat fenomena sosial budaya di dalam masyarakat dan kearifan lokal khususnya Bugis-Makassar (tempat dimana penulis berasal) memperlihatkan semesta lain yang dimiliki Fitrawan Umar. Puisi Langit yang Tersenyum (hal. 39), Mappaendeng (hal. 28), Orang-Orang Asing di Rumah Kita (hal. 35) dan puisi-puisi lainnya jelas mengonfirmasi posisi berdiri penulis dalam berpuisi yang sepertinya berpandangan bahwa // Pada hidup yang rahasia/ sejarah tidak pernah patuh/ pada silsilah/ kuasa dan dinar masih meraja// Keadilan sebetulnya hanya serpihan/ dari segala roman/ berserak entah ke mana/ sebab yang nyata/ adalah juga yang semu/ tidak lagi ada beda//. Mungkin saja Fitrawan Umar sepakat dengan Gie, bahwa keadilan dan kebenaran cuma ada di langit?

Kisah cinta sepertinya mewarnai Roman Semesta (3). Pada bagian ini, puisi-puisi membincang cinta tak hanya perihal lelaki dan perempuan, namun tentang cinta secara universal, seperti puisi Ibu (Tak Terbatas Waktu)—(hal. 80). Meskipun demikian mayoritas puisi ternyata mengemukakan beragam rasa di dalam kisah-kisah percintaan antara laki-laki dan perempuan yang kadang terasa manis, asam, hambar, dan tentu saja, pahit! Rasa asam dan pahit dalam percintaan mendominasi bagian terakhir buku puisi ini sebab terdeteksi adanya keragu-raguan, ada sakit hati, ada penyesalan, dan ada kekecewaan yang coba direkam (atau mungkin pula dirasakan langsung) oleh Fitrawan Umar. Sekadar saran, puisi Kenangan pada Jendela (hal. 72) dan Yang Tak Bisa Mencintaimu Lagi (hal. 73) mungkin perlu dihindari bagi pembaca yang baru saja merasakan pipi merona merah dan jantung berdegup kencang saat bertemu seseorang yang lama disimpan di dalam hati.

Semula saya menduga tiga bagian di Roman Semesta yang mewakili sub-tema masing-masing juga akan saya dapatkan dalam isi CD minialbum SeLsA. Namun ternyata saya salah. Hal ini cukup saya sayangkan karena tiga posisi berdiri penulis yang ditemukan dalam buku tidak direpresentasikan oleh musikalisasinya padahal mereka adalah sebuah kesatuan. Pada CD minialbum-nya, kebanyakan yang dimusikalisasi adalah puisi-puisi di di bagian Roman Semesta (3). Hanya ada satu puisi dari bagian pertama dan juga bagian kedua buku. Hal itu membuat saya kembali menduga-duga, mungkin saja dari tiga posisi berdirinya dalam berpuisi, Fitrawan Umar lebih menempatkan rasa dan semestanya pada // …./ aneka suara/ dari pencinta.// Ya, mungkin saja.

*** 

Catatan:
Resensi ini pernah dimuat di website Makassar Nol Kilometer pada 3 Juni 2014 http://makassarnolkm.com/roman-semesta-mengungkap-syair-rasa-dan-semesta-fitrawan-umar/

Penulis Roman Semesta
Fitrawan Umar adalah anggota Forum Lingkar Pena Sulawesi Selatan sejak 2008 hingga sekarang. Penulis kelahiran Pinrang, Sulawesi Selatan, 27 Desember 1989 ini pernah menjabat sebagai Ketua FLP Ranting Universitas Hasanuddin Makassar periode 2009-2010 dan berlanjut sebagai Ketua FLP Wilayah Sulawesi Selatan periode 2010-2012. 

Peresensi
Aida Radar adalah nama pena dari Ummu Syahidah Abd.Rahman Badar. Lahir di Kota Tidore Kepulauan, Propinsi Maluku Utara, pada 6 Juli 1989. Menamatkan S1 di Universitas Muhammadiyah Makassar dan kini sedang menempuh studi Pendidikan Bahasa Inggris di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Dari tahun 2008 hingga sekarang menjadi bagian dari Forum Lingkar Pena Sulawesi Selatan.
Facebook: Aida Radar
Twitter: @AidaRadar
Email: ummusyahidah.arb@gmail.com
Blog: aidarahmanbadar.blogspot.com