ROMAN
SEMESTA:
MENGUNGKAP
RASA DAN SEMESTA FITRAWAN UMAR
Judul Buku : Roman Semesta
Penulis : Fitrawan Umar
Penerbit : Motion Publishing
Cetakan : 1, April 2014
Tebal : viii + 86 halaman
ISBN : 978–602–70054–1–9
Membaca
puisi berarti membaca siapa yang menuliskannya, membaca penyairnya. Puisi,
sebagaimana jenis karya sastra lainnya berperan sebagai penyampai segala apa
yang dirasakan penulisnya yang hendak diberitahukan pada orang lain. Edgar
Allan Poe, seorang penyair yang dikenal sebagai figur Romantic Movement dalam kesusastraan Amerika mengatakan puisi
adalah penjelmaan dan citarasa penyairnya. Itulah mengapa saat membaca puisi,
kita seolah-olah merasa mengenal pengarangnya, merasakan apa yang dirasakannya,
dan menjadi bersimpati hingga empati padanya, atau malah ada yang menjadi
antipati terhadapnya.
Di
tengah hiruk pikuk perpolitikan Indonesia yang membuat hawa di berbagai penjuru
nusantara terasa panas saja, pembaca sastra di Indonesia disuguhi sebuah rasa
yang berbeda melalui Roman Semesta; buku kumpulan puisi yang ditulis oleh
penulis muda dari Sulawesi Selatan: Fitrawan Umar. Yang menarik dari penerbitan
kumpulan puisi ini adalah disertakannya CD minialbum musikalisasi beberapa
puisi di dalam Roman Semesta oleh kelompok musik bernama SeLsA. Jadi selain
membaca puisi, kita pun bisa menikmati puisi yang dibacakan dan juga puisi yang
dinyanyikan.
Sebagaimana
judulnya, puisi-puisi di Roman Semesta bercerita tentang segala dalam semesta
yang direkam dan dirasakan penulisnya. Puisi-puisi dalam buku ini dibagi
menjadi tiga bagian yang mewakili sub-tema yang tidak sama, meskipun benang
merahnya tetaplah Roman Semesta. Tiap bagian memuat puisi berjudul Roman
Semesta sebagai (semacam) puisi selamat datang, dari Roman Semesta, Roman Semesta
(2), dan Roman Semesta (3). Pada
bagian ini, saya bisa melihat ke-kreatif-an penulis (mungkin juga tim
penerbitan: editor dan layouter) dalam menempatposisikan puisi-puisi sesuai
dengan sub-tema yang mereka harapkan bisa ditangkap pembaca. Sebagai gambaran,
mari kita lihat penggalan Roman Semesta yang saya maksudkan:
ROMAN
SEMESTA
Sepasang pagi dan embun
hangatkan jiwa rimbun…
Daun-daun telah terjaga
matahari meraja…
Cita cinta kita akan nyata
dalam roman semesta
pada hidup yang rahasia
(hal. 3)
ROMAN
SEMESTA (2)
Pada hidup yang rahasia
sejarah tidak pernah patuh
pada silsilah…
Keadilan sebetulnya hanya serpihan
dari segala roman
berserak entah ke mana…
Kita menunggu,
suara-suara yang dibungkam
dalam semesta
akan
tersingkap dalam doa
(hal. 25)
ROMAN
SEMESTA (3)
Tersingkap dalam doa
aneka suara
dari pencinta
…
memang cinta tidak seberapa besar
dari masalah
tetapi masalah besar acapkali
bermula
dari cinta
(hal. 53-54)
Dari
tiga penggalan puisi Roman Semesta, Roman Semesta (2), Roman Semesta (3) di atas, dapat terlihat bahwa penulisan dan
penempatan puisi di dalam bagian-bagian tertentu di Roman Semesta bukanlah
tanpa tujuan. Setelah membaca berulangkali, dari depan hingga belakang, lalu
mengecek kecurigaan-kecurigaan saya terhadap tujuan penempatan puisi-puisi itu,
serta saling berhubungannya mereka satu sama lain, saya lalu tiba pada satu
kesimpulan: Roman Semesta adalah usaha penulisnya mengungkapkan aneka
perasaannya terhadap hidup dan semesta yang direkamnya sekaligus memberi
gambaran sudut pandang dalam memaknainya. Hal ini senada dengan apa yang
dikatakan M. Taslim Ali, penyair dan penerjemah Indonesia angkatan tahun 50-an,
bahwa puisi adalah gambaran getaran jiwa penyairnya yang disampaikan dengan
bahasa yang indah perihal apa yang dilihat, dialami dan dirasakannya.
Dengan
membaca seksama, Roman Semesta memberi semacam penegasan tentang posisi berdiri
penulisnya. Dari bagian pertama puisi Roman
Semesta, pembaca mungkin bisa membayangkan jika Fitrawan Umar adalah
seorang yang sering bersinggungan dengan usaha pelestarian lingkungan tanpa
melihat profil penulis yang menginformasikan ia adalah mahasiswa Ilmu
Lingkungan yang tentu saja berinteraksi dengan isu-isu lingkungan. Hal itu
terbaca dari puisi-puisi tentang lingkungan hidup dengan menggunakan simbol
flora dan fauna sebagai representatifnya, tentang semakin memburuknya
lingkungan yang kita tinggali saat ini sehingga untuk merasakan // Sepasang pagi dan embun/ hangatkan jiwa
rimbun/ yang dibekap sunyi// Daun-daun telah terjaga/ matahari meraja/
bunga-bunga rekah semanis senyuman.// mungkin hanya bisa didapatkan di
dalam imajinasi saja.
Puisi
Roman Semesta (2) punya cerita yang
berbeda, meskipun masih sambungan dari puisi pembuka di bagian pertama. Posisi
sebagai pengamat fenomena sosial budaya di dalam masyarakat dan kearifan lokal
khususnya Bugis-Makassar (tempat dimana penulis berasal) memperlihatkan semesta
lain yang dimiliki Fitrawan Umar. Puisi Langit
yang Tersenyum (hal. 39), Mappaendeng
(hal. 28), Orang-Orang Asing di Rumah
Kita (hal. 35) dan puisi-puisi lainnya jelas mengonfirmasi posisi berdiri
penulis dalam berpuisi yang sepertinya berpandangan bahwa // Pada hidup yang rahasia/ sejarah tidak pernah patuh/ pada silsilah/
kuasa dan dinar masih meraja// Keadilan sebetulnya hanya serpihan/ dari segala
roman/ berserak entah ke mana/ sebab yang nyata/ adalah juga yang semu/ tidak
lagi ada beda//. Mungkin saja Fitrawan Umar sepakat dengan Gie, bahwa
keadilan dan kebenaran cuma ada di langit?
Kisah
cinta sepertinya mewarnai Roman Semesta
(3). Pada bagian ini, puisi-puisi membincang cinta tak hanya perihal lelaki
dan perempuan, namun tentang cinta secara universal, seperti puisi Ibu (Tak Terbatas Waktu)—(hal. 80).
Meskipun demikian mayoritas puisi ternyata mengemukakan beragam rasa di dalam
kisah-kisah percintaan antara laki-laki dan perempuan yang kadang terasa manis,
asam, hambar, dan tentu saja, pahit! Rasa asam dan pahit dalam percintaan
mendominasi bagian terakhir buku puisi ini sebab terdeteksi adanya
keragu-raguan, ada sakit hati, ada penyesalan, dan ada kekecewaan yang coba
direkam (atau mungkin pula dirasakan langsung) oleh Fitrawan Umar. Sekadar
saran, puisi Kenangan pada Jendela
(hal. 72) dan Yang Tak Bisa Mencintaimu
Lagi (hal. 73) mungkin perlu dihindari bagi pembaca yang baru saja
merasakan pipi merona merah dan jantung berdegup kencang saat bertemu seseorang
yang lama disimpan di dalam hati.
Semula
saya menduga tiga bagian di Roman Semesta yang mewakili sub-tema masing-masing
juga akan saya dapatkan dalam isi CD minialbum SeLsA. Namun ternyata saya
salah. Hal ini cukup saya sayangkan karena tiga posisi berdiri penulis yang
ditemukan dalam buku tidak direpresentasikan oleh musikalisasinya padahal
mereka adalah sebuah kesatuan. Pada CD minialbum-nya, kebanyakan yang
dimusikalisasi adalah puisi-puisi di di bagian Roman Semesta (3). Hanya ada satu puisi dari bagian pertama dan
juga bagian kedua buku. Hal itu membuat saya kembali menduga-duga, mungkin saja
dari tiga posisi berdirinya dalam berpuisi, Fitrawan Umar lebih menempatkan
rasa dan semestanya pada // …./ aneka
suara/ dari pencinta.// Ya, mungkin saja.
***
Catatan:
Resensi
ini pernah dimuat di website Makassar
Nol Kilometer pada 3 Juni 2014 http://makassarnolkm.com/roman-semesta-mengungkap-syair-rasa-dan-semesta-fitrawan-umar/
Penulis
Roman Semesta
Fitrawan
Umar adalah anggota Forum Lingkar Pena Sulawesi Selatan sejak 2008 hingga
sekarang. Penulis kelahiran Pinrang, Sulawesi Selatan, 27 Desember 1989 ini
pernah menjabat sebagai Ketua FLP Ranting Universitas Hasanuddin Makassar
periode 2009-2010 dan berlanjut sebagai Ketua FLP Wilayah Sulawesi Selatan
periode 2010-2012.
Peresensi
Aida
Radar adalah nama pena dari Ummu Syahidah Abd.Rahman Badar. Lahir di Kota
Tidore Kepulauan, Propinsi Maluku Utara, pada 6 Juli 1989. Menamatkan S1 di Universitas
Muhammadiyah Makassar dan kini sedang menempuh studi Pendidikan Bahasa Inggris
di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Dari tahun
2008 hingga sekarang menjadi bagian dari Forum Lingkar Pena Sulawesi Selatan.
Facebook: Aida
Radar
Twitter:
@AidaRadar
Email:
ummusyahidah.arb@gmail.com
Blog:
aidarahmanbadar.blogspot.com
No comments:
Post a Comment