Thursday, March 12, 2015

SEKADAR BERCERITA



TIDAK KE MANA-MANA




30 Oktober 2014, di sebuah perhelatan sastra yang diselenggarakan di fakultas di mana saya belajar, saya membeli sebuah buku kumpulan cerita pendek dan fiksimini. Saya sudah lama ingin membeli buku itu, tapi baru bisa memilikinya di hari kedua di ujung bulan sepuluh. Sembari menunggu kuliah bakda Dzuhur, saya membaca sebuah cerpen di buku itu. Tuntas membacanya, dosen saya muncul. Buku itu saya tutup. Kuliah saya dimulai.

Tidak ada lagi yang menarik untuk diceritakan setelahnya di hari itu. Hingga..

Hari pertama di bulan November 2014, saya menyadari telah kehilangan sesuatu. Buku kumpulan cerpen dan fiksimini yang baru saya beli dua hari sebelumnya tak ada di tas, tumpukan buku, atau di rak saya biasa menyimpan buku-buku. Saya panik mencari diiringi merutuki penyakit pelupa yang saya idap. Di mana saya meletakkan buku itu? Di mana, ya? Di mana? Saya memutar memori, kembali ke 30 Oktober. Setelah kuliah saya makan di foodcourt di Gerlong. Kemudian saya ke mana lagi? Memori saya tergores di situ. Blank!

Berbekal ingatan yang hanya sepenggal, saya berlari dari rumah menuju foodcourt dengan harapan buku kumpulan cerpen dan fiksimini itu tertinggal di sana, lalu diselamatkan dan disimpan Aa’ penjual yang sempat melihatnya. Sayangnya harapan saya memang hanyalah menjadi harapan. Buku kumpulan cerpen dan fiksimini itu tak berada di sana. Hingga tiga hari berturut-turut kemudian, foodcourt yang saya sambangi tak memekarkan senyum di wajah saya biar barang sedikit.

Meskipun sedih dan kecewa, saya mencoba untuk berdamai saja dengan kenyataan bahwa buku saya telah hilang. Saya ingat kata-kata Aa’ Gym yang sering didengar, “ngapain stress dengan apa yang sudah hilang? Stress juga nggak bakalan ngembaliin yang sudah hilang itu kok.” Maka saya berusaha berpikir rasional. Sebagai bentuk upaya saya merelakan buku kumpulan cerpen dan fiksimini yang baru dibeli dan baru satu cerpen yang dibaca, malamnya saya berkicau beberapa kali di lini masa. Melepaskan segala gundah kehilangan sebuah buku baru. Sesudah itu saya tidur dengan perasaan yang selapang gurun-gurun di Benua Hitam. Saya berhasil mendamaikan diri.

Pagi tiba. Saya memulai hari dengan melupakan kehilangan buku tiga hari kemarin dan kesedihan plus kekecewaan di dua hari sesudahnya. Bila dipikir-pikir, momok pelupa saya ternyata berguna juga. Saat angka-angka di kalender hilang dan berganti, saya telah benar-benar melupakan buku kumpulan cerpen dan fiksimini yang baru dibeli dan baru satu cerpen yang dibaca itu.

Sampai suatu ketika..

10 Maret 2015, sebuah akun atas nama sebuah perpustakaan masjid kampus di mana saya sering membaca dan meminjam buku-buku, mengirimi saya sebuah pesan di facebook:
assalamualaikum, kami dari perpustakaan salman ITB menemukan buku bacaan atas nama Aida Radar di perpus. Jika merasa kehilangan bisa cek ke perpus salman, teh :)

Agak sedikit kaget dan bingung, saya jawab pesan itu:
Waalaikumsalam,
Oh begitu ya…
Astaga, Z bahkan lupa buku apa. :D
Maaf, boleh tanya judul bukunya?

Sesaat setelah menerima pesan itu, saya benar-benar lupa buku bacaan yang ada nama saya di dalamnya dan tertinggal di perpustakaan itu. Sepanjang hari saya menunggu balasan pesan namun tidak kunjung ada. Mungkin Aa’ atau Teteh­-nya lagi sibuk.

Didorong rasa penasaran, pagi menjelang siang kemarin atau sehari sesudah menerima pesan itu, saya telah berada di ruang perpustakaan Salman ITB.

“Aa’ punten, kemarin saya dapat pesan di Facebook katanya ada buku saya yang ketinggalan di sini.”

“Oh lewat Facebook, ya?”

“Iya.”

“Sebentar, ya..”

Pustakawan itu mencari sesuatu di rak buku, namun malah mengeluarkan sebuah buku dengan gambar kepala dan mata manusia di kavernya, dari laci meja di depan saya. Mata saya membola melihat buku itu. Antara shock dan gembira saya ambil buku yang diulurkan Aa’ Pustakawan.

“Astaga! Saya kira buku ini sudah hilang, A’. Ternyata ketinggalan di sini toh.” Mata saya berbinar-binar.

Aa’ Pustakawan tersenyum. 

“Buku ini baru saya beli, baru satu cerpen yang saya baca, dan hari itu juga saya kira hilang.” Saya berbicara dengan penuh semangat. Gembira sekali. ^0^

Aa’ Pustakawan tersenyum lagi. Mungkin juga merasa aneh melihat saya begitu ‘lebay bin heboh’. Hihi

Beberapa menit kemudian saya meninggalkan perpustakaan setelah sebelumnya mengucapkan berulangkali terimakasih pada Aa’ Pustakawan yang menemukan dan mengamankan buku saya.

Kamu tentu sudah tahu buku apa, kan?

Ya, itulah buku kumpulan cerpen dan fiksimini yang saya beli dan hilang di 30 Oktober 2014. :)

Di angkutan kota yang mengantar saya pulang ke Gerlong, sekumpulan kata ini terus mengiangi dan saya tak punya alasan lagi untuk tidak mempercayainya:
Sesuatu yang telah ditakdirkan membersamaimu,
Tak akan ke mana-mana.
Jika pun mesti pergi ke mana-mana,
Dia akan selalu menemukan jalan pulang,
Kembali padamu.

Buku kumpulan cerpen dan fiksi mini yang baru kembali setelah lama pergi saya genggam erat-erat. Senyum saya lalu menyimpul. Walaupun saat itu angkutan kota terjebak macet di jalan Siliwangi, senyum saya malah semakin merekah. :)

*

Picture: A scene in Daisy, KMovie.


No comments: