TIDAK KE MANA-MANA
30 Oktober 2014, di sebuah
perhelatan sastra yang diselenggarakan di fakultas di mana saya belajar, saya
membeli sebuah buku kumpulan cerita pendek dan fiksimini. Saya sudah lama ingin
membeli buku itu, tapi baru bisa memilikinya di hari kedua di ujung bulan
sepuluh. Sembari menunggu kuliah bakda Dzuhur, saya membaca sebuah cerpen di
buku itu. Tuntas membacanya, dosen saya muncul. Buku itu saya tutup. Kuliah
saya dimulai.
Tidak ada lagi yang menarik untuk diceritakan setelahnya di hari
itu. Hingga..
Hari pertama di bulan November
2014, saya menyadari telah kehilangan sesuatu. Buku kumpulan cerpen dan
fiksimini yang baru saya beli dua hari sebelumnya tak ada di tas, tumpukan
buku, atau di rak saya biasa menyimpan buku-buku. Saya panik mencari diiringi
merutuki penyakit pelupa yang saya idap. Di
mana saya meletakkan buku itu? Di mana, ya? Di mana? Saya memutar memori,
kembali ke 30 Oktober. Setelah kuliah
saya makan di foodcourt di Gerlong.
Kemudian saya ke mana lagi? Memori saya tergores di situ. Blank!
Berbekal ingatan yang hanya
sepenggal, saya berlari dari rumah menuju foodcourt
dengan harapan buku kumpulan cerpen dan fiksimini itu tertinggal di sana, lalu
diselamatkan dan disimpan Aa’ penjual yang sempat melihatnya. Sayangnya harapan
saya memang hanyalah menjadi harapan. Buku kumpulan cerpen dan fiksimini itu
tak berada di sana. Hingga tiga hari berturut-turut kemudian, foodcourt yang saya sambangi tak
memekarkan senyum di wajah saya biar barang sedikit.
Meskipun sedih dan kecewa, saya
mencoba untuk berdamai saja dengan kenyataan bahwa buku saya telah hilang. Saya
ingat kata-kata Aa’ Gym yang sering didengar, “ngapain stress dengan apa yang sudah
hilang? Stress juga nggak bakalan ngembaliin yang sudah hilang itu kok.” Maka
saya berusaha berpikir rasional. Sebagai bentuk upaya saya merelakan buku
kumpulan cerpen dan fiksimini yang baru dibeli dan baru satu cerpen yang
dibaca, malamnya saya berkicau beberapa kali di lini masa. Melepaskan segala
gundah kehilangan sebuah buku baru. Sesudah itu saya tidur dengan perasaan yang
selapang gurun-gurun di Benua Hitam. Saya berhasil mendamaikan diri.
Pagi tiba. Saya memulai hari
dengan melupakan kehilangan buku tiga hari kemarin dan kesedihan plus kekecewaan di dua hari sesudahnya.
Bila dipikir-pikir, momok pelupa saya ternyata berguna juga. Saat angka-angka
di kalender hilang dan berganti, saya telah benar-benar melupakan buku kumpulan
cerpen dan fiksimini yang baru dibeli dan baru satu cerpen yang dibaca itu.
Sampai suatu ketika..
10 Maret 2015, sebuah akun atas
nama sebuah perpustakaan masjid kampus di mana saya sering membaca dan meminjam
buku-buku, mengirimi saya sebuah pesan di facebook:
assalamualaikum, kami dari perpustakaan salman ITB menemukan buku
bacaan atas nama Aida Radar di perpus. Jika merasa kehilangan bisa cek ke
perpus salman, teh :)
Agak sedikit kaget dan bingung, saya
jawab pesan itu:
Waalaikumsalam,
Oh begitu ya…
Astaga, Z bahkan lupa buku apa.
:D
Maaf, boleh tanya judul bukunya?
Sesaat setelah menerima pesan
itu, saya benar-benar lupa buku bacaan yang ada nama saya di dalamnya dan
tertinggal di perpustakaan itu. Sepanjang hari saya menunggu balasan pesan
namun tidak kunjung ada. Mungkin Aa’ atau
Teteh-nya lagi sibuk.
Didorong rasa penasaran, pagi
menjelang siang kemarin atau sehari sesudah menerima pesan itu, saya telah
berada di ruang perpustakaan Salman ITB.
“Aa’ punten, kemarin saya dapat
pesan di Facebook katanya ada buku saya yang ketinggalan di sini.”
“Oh lewat Facebook, ya?”
“Iya.”
“Sebentar, ya..”
Pustakawan itu mencari sesuatu di
rak buku, namun malah mengeluarkan sebuah buku dengan gambar kepala dan mata
manusia di kavernya, dari laci meja di depan saya. Mata saya membola melihat
buku itu. Antara shock dan gembira
saya ambil buku yang diulurkan Aa’ Pustakawan.
“Astaga! Saya kira buku ini sudah
hilang, A’. Ternyata ketinggalan di sini toh.” Mata saya berbinar-binar.
Aa’ Pustakawan tersenyum.
“Buku ini baru saya beli, baru
satu cerpen yang saya baca, dan hari itu juga saya kira hilang.” Saya berbicara
dengan penuh semangat. Gembira sekali. ^0^
Aa’ Pustakawan tersenyum lagi.
Mungkin juga merasa aneh melihat saya begitu ‘lebay bin heboh’. Hihi
Beberapa menit kemudian saya meninggalkan
perpustakaan setelah sebelumnya mengucapkan berulangkali terimakasih pada Aa’
Pustakawan yang menemukan dan mengamankan buku saya.
Kamu tentu sudah tahu buku apa,
kan?
Ya, itulah buku kumpulan cerpen
dan fiksimini yang saya beli dan hilang di 30 Oktober 2014. :)
Di angkutan kota yang mengantar
saya pulang ke Gerlong, sekumpulan kata ini terus mengiangi dan saya tak punya
alasan lagi untuk tidak mempercayainya:
Sesuatu yang telah ditakdirkan
membersamaimu,
Tak akan ke mana-mana.
Jika pun mesti pergi ke
mana-mana,
Dia akan selalu menemukan jalan
pulang,
Kembali padamu.
Buku kumpulan cerpen dan fiksi
mini yang baru kembali setelah lama pergi saya genggam erat-erat. Senyum saya
lalu menyimpul. Walaupun saat itu angkutan kota terjebak macet di jalan
Siliwangi, senyum saya malah semakin merekah. :)
*
Picture: A scene in Daisy, KMovie.
No comments:
Post a Comment