Tuesday, November 06, 2018

CERPEN MALUT POST, 27 OKTOBER 2018


P E N C A R I A N

Aida Radar

Sumber Gambar: Valentino Luis

Anak Muda itu hilang. Kabar menyebar cepat di pulau ini hingga tiba padamu. Dari mulut ke mulut orang-orang di sekitar guest house tempat Anak Muda itu menginap sampai ke penjual sayur mayur di Pasar Goto. Kabar kemudian dibawa dalam bokor ibu-ibu di mobil penumpang yang pulang ke desa di lereng Kie Matubu setelah sehari penuh berjualan, dan sampai di telingamu.

Hari masih sangat muda bagi manusia yang kamu kenal untuk mulai mendaki Kie Matubu saat kamu melihat Anak Muda itu melintasi ladang tempatmu memacul tanah-tanah kering untuk ditanami biji-biji jagung manis. Matahari bahkan belum datang di ufuk timur.

“Jalan mana yang harus saya lalui untuk sampai ke puncak Kie Matubu?”

Anak Muda itu berbicara padamu setelah menyapa dan memperkenalkan diri dengan singkat. Saya dari Jakarta, katanya.

Kamu mengangkat telunjuk tangan kanannya. Mengarahkan mata Anak Muda itu pada sebuah jalan tanah di antara semak-semak di sisi kanan. Anak Muda itu mengangguk. Mengucap terimakasih padamu lalu bergegas menuju jalan tanah yang kamu tunjuk.

“Kenapa ke Kie Matubu?” Kamu bertanya cepat sebelum Anak Muda itu berjalan lebih jauh. Penasaran. Ada Anak Muda dari ibukota, kulitnya bersih dan terawat, rambut hitam disisir rapi, berkacamata, berjalan kaku di antara rimbunan semak, meskipun memakai setelan lengkap seorang pendaki, di matamu Anak Muda itu bukanlah seperti para pegiat gunung yang kamu ketahui betul, yang mendarah daging dalam dirimu.

“Saya pernah melihat Kie Matubu di Majalah National Geographic. Seseorang merentangkan tangannya seperti ini di puncak gunung.” Mengatakan ini, kamu melihat Anak Muda itu menengadahkan wajahnya ke langit dan menutup mata, merentangkan tangannya. Kamu melihat Anak Muda itu merasakan harapan akan kedamaian yang ditawarkan sebuah gambar di majalah para petualang.

Kamu tentu tahu gambar apa yang dimaksud Anak Muda itu. Saat gambar itu pertama kali dimuat di majalah berskala internasional itu, orang-orang di satu pulau ini begitu bergembira. Kegembiraan akan harapan tentang kejayaan masa lalu yang mungkin akan berulang, berubah menjadi masa depan. Harapan yang kamu sangsikan, namun jauh di lubuk hati juga kamu inginkan.

“Saya jalan ke atas, ya,” kata Anak Muda itu.

Kamu mengangguk. Mempersilakan Anak Muda itu beranjak dan kembali menekuri tanah kering untuk biji-biji jagungmu.

*

Kabar hilangnya Anak Muda yang tiba di telingamu hari itu mengganggumu. Telah tiga hari berlalu sejak kamu menunjukkan jalan ke Kie Matubu padanya. Hari itu semestinya kamu menghabiskan siang di ladang dengan tanah kering yang kini basah karena hujan yang mengguyur selama tiga hari. Tanah basah itu adalah harapan bagi kehidupan biji-biji jagungmu yang telah kamu semai.
Kamu benar-benar terganggu. Karenanya, kamu tidak mengindahkan tanah kering menjadi basah itu. Bakda subuh kamu justeru bersegera ke gudang dan mengambil sebuah tas hitam yang hampir berubah warna karena debu tebal yang menempel di hampir segala sisinya. Sembari menjinjing tas itu, kamu ke luar rumah dan berlari mengikuti jalan menuju puncak Kie Matubu.

*

Anak Muda itu siuman. Istrimu langsung berlari memanggilmu setelah mendengar suara lemah Anak Muda itu dari dalam kamar. Kamu masuk ke dalam kamar dan mendapati mata Anak Muda itu terbuka, dengan sorot yang lemah.

“Saya ada di mana?”

Kamu mendekati dipan tempat Anak Muda itu terbaring.

“Kamu ada di rumah saya.”

“Kenapa saya bisa ada di sini? Apa yang terjadi? Seingat saya, saya sedang mendaki menuju puncak Kie Matubu.”

Kamu menceritakan segala yang terjadi pada Anak Muda itu. Mulai dari kabar hilangnya hingga ditemukannya ia setelah tiga hari tidak diketahui keberadaannya. Kamu menemukannya pingsan di sebuah jurang jauh dari rute ke puncak Kie Matubu. Awalnya kamu mengira Anak Muda itu telah meninggal dunia. Namun detak jantung yang samar-samar kamu rasakan di dadanya membuatmu segera mengangkatnya di pundakmu dan berusaha sekuat tenaga menaiki jurang, menerjang semak belukar dan berlari kencang menuju rumah.
Badan Anak Muda itu bergetar mendengar ceritamu. Kamu menenangkannya.

“Demammu belum turun. Banyak luka di sekujur tubuhmu. Syukurlah kaki dan tanganmu tidak sampai patah, hanya terkilir. Kamu tidak boleh banyak bergerak dulu. Istirahatlah lagi. Saya akan menunggu di luar. Bila memerlukan sesuatu, jangan segan memanggil saya dan istri.”

Anak Muda itu mengangguk pelan. Ia kembali menutup matanya. Dari bibirnya, kamu mendengar ia mengucapkan terimakasih dengan nada suara yang lemah.

*

“Mengapa kamu memutuskan untuk mendaki gunung? Dari yang kulihat, kamu tidak pernah punya pengalaman mendaki gunung sebelumnya. Kamu bahkan hampir mati di atas sana.”

Telah sepekan Anak Muda itu kamu dan istri rawat di rumahmu. Hari ini ia sudah bisa makan dengan baik, bangun, dan berjalan ke luar rumah, walau hanya selesai di beranda. Ia duduk di pasangan kursi yang sedang kamu duduki di beranda.

“He-eh... kelihatan benar ya kalau saya belum pernah mendaki gunung?”

Kamu menaikkan kedua alis mata. “Bukan kelihatan lagi. Terang benderang malah.”

Anak Muda itu tersenyum bersama rasa sesal di wajah yang mengiyakan.

“Bulan lalu saya menonton sebuah film lama. Judulnya The Lunchbox, Bekal Makan Siang. Film India. Hehe... Aku menonton film India.”

Anak Muda itu terkekeh, seperti menahan malu. Mungkin menyangka kamu akan menertawakan seorang lelaki muda bercerita tentang menonton film India, bukannya film-film action Hollywood yang nampak lebih menunjukkan jati diri kelelakiannya.

Tetapi kamu diam. Mengingatkan dirimu yang muda tumbuh dewasa bersama film-film India yang diputar di sebuah channel televisi pendidikan yang kini telah berganti nama.

“Dalam salah satu scene-nya, eh... Bapak tahu scene?”

Kamu tertawa sejenak.

"Saya tahu. Lanjutkan.” Kamu membawa ingatanmu pada sebuah ruangan di kampus di mana kamu dan teman-temanmu duduk, menonton film dan membedahnya setiap sekali sebulan.

Mata Anak Muda itu menyiratkan ketakjuban. Mungkin tak menyangka seorang petani di sebuah pulau yang jauh dari Jakarta bisa mengetahui istilah semacam itu. Kembali ia melanjutkan ceritanya.

“Dalam salah satu scene-nya, pada suratnya untuk Tuan Fernandes, Ila, salah satu tokoh utama film ini, bercerita tentang kehidupan tetangganyateman bercerita dan teman masaknya bernama Bibi Deshpande. Bibi Deshpande mempunyai seorang suami yang pernah koma selama 15 tahun. Meskipun para dokter telah lepas tangan, suatu hari di rumahnya suami Bibi Deshpande terbangun dari komanya.”

“15 tahun koma bisa terbangun lagi?”

“Iya. Begitulah yang Ila ceritakan.”

“Iya... iya... lalu?”

“Sesaat setelah terbangun, hal pertama yang dilakukan suami Bibi Desphande adalah memperbaiki kipas angin tuanya yang belum rusak, lalu melihat baling-baling kipas itu berputar. Tanpa berkata apapun, suami Bibi Deshpande melakukan hal itu hingga merasa mengantuk dan beranjak tidur. Keesokan harinya, suami Bibi Deshpande bangun seperti biasa, seperti orang yang tak pernah koma, masih tanpa berkata apapun pada siapapun, dan mulai memperbaiki kipas angin tua yang tidak sedang rusak, lalu melihat baling-baling kipas itu berputar. Selama berhari-hari, tanpa berinteraksi dengan istrinya, suami Bibi Deshpande hidup seperti itu. Hingga suatu ketika, listrik padam. Karena suami Bibi Deshpande tak melihat baling-baling kipas angin yang diperbaikinya berputar seperti biasa, ia langsung terdiam. Seperti mati. Tak lama kemudian, listrik menyala, baling-baling kipas angin mulai berputar lagi. Mata suami Bibi Deshpande kembali memiliki nyawa, bergerak dan melihat kipas angin yang diperbaikinya berputar. Sejak saat itu, untuk membuat suaminya tetap hidup, walau tanpa berinteraksi dengan dirinya, Bibi Deshpande memutuskan untuk memasang genset di rumahnya.”

Anak Muda itu menatap matamu. Kamu melihat mata Anak Muda itu sejenak. Kamu mendapati ada ketakberdayaan di mata itu.

“Menutup suratnya pada Tuan Fernandes, Ila menulis, entah berkata pada dirinya sendiri atau benar-benar bertanya pada Tuan Fernandes ‘untuk apa kita hidup?’”

Anak Muda itu terdiam.

Kamu melihat wajahnya menatap sesuatu di kejauhan. Namun kamu yakin mata itu tidak sedang menatap apa-apa.

“Saya tidak tahu, tiba-tiba kata-kata penutup surat Ila itu menohok saya. Bertahun-tahun saya bekerja sebagai seorang white collar worker dan menikmati hasil kerja saya tanpa memikirkan apa yang ditanyakan Ila  itu. Lalu mendapati ‘untuk apa kita hidup?’, saya merasa seperti ditujukan pada saya. Menghujam! Saya seperti...Hufh...”

Anak Muda itu menarik dan membuang napasnya dengan susah payah. Kata-katanya terhenti. Kamu merasakan getaran dalam suara Anak Muda itu. Getaran yang kamu kenal. Getaran yang pernah kamu alami, dulu.

Istrimu datang ke beranda. Di tangannya ada nampan berisi dua mug kopi yang asapnya mengepul.

“Ini namanya Kopi Dabe. Dibuat dari campuran kopi dan rempah-rempah asli Tidore. Kamu bisa minum kopi, kan?”

“Tentu! Saya ini seorang pecinta dan peminum kopi.”

Sesudah menyeruput satu teguk Kopi Dabe, kamu berkata pada Anak Muda itu, “selama masih bernapas, kita masih akan terus bertanya-tanya, tentang alasan mengapa kita harus hidup.”

“Apakah sampai sekarang Bapak masih bertanya?”

Kamu memandang jauh ke depan. Mengangguk pelan.

“Masih. Masih… sampai saat ini.”

Anak Muda itu terdiam. Meresapi rasa dalam kata-kata yang kamu sampaikan. Sesaat kemudian Anak Muda itu tersenyum tipis. Ia memandangimu.

“Saya masih akan terus mencari, Pak. Dan juga, bertanya.” Anak Muda itu berkata dengan mantap. Binar di matanya menyala.

“Oh ya, ngomong-ngomong, Kopi Dabe ini enak..” Anak Muda itu mengangkat mug yang telah setengah diseruputnya.

“Tentu saja! Istri saya yang membuatnya!” Kamu menganggukkan kepala. Penuh kebanggaan dan rasa cinta.

“Hehe... Tentu saja...”

Mereka berdua lanjut menyeruput Kopi Dabe masing-masing dengan pelan, dengan penuh penghayatan, dengan pertanyaan-pertanyaan, tentang makna hidup yang masih akan terus membayang.

Di kejauhan, jauh dari desa di lereng Kie Matubu, di antara garis pantai yang memisahkan laut dan daratan Tidore, Ternate, dan Maitara, senja turun pelan-pelan.

*

Tidore, 25 Oktober 2018


No comments: