UJIAN NASIONAL DAN PENENTUAN STANDARISASI KELULUSAN YANG TINGGI ; EVALUASI BELAJAR YANG KELIRU
Oleh : Ummu Syahidah A.R Badar*
Ujian Nasional (UN) 2009 untuk siswa Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Pertama digelar April ini. Pelaksanaan Ujian merupakan bentuk evaluasi untuk menyatakan lolos atau tidaknya anak didik menuju tingkatan pendidikan yang lebih tinggi.
Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) melalui Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) menentukan angka 5,50 sebagai Standar Kelulusan (SK) untuk mengevaluasi pantas tidaknya seorang anak didik menuju ke jenjang pendidikan selanjutnya.
Angka standar kelulusan tahun ini merupakan penambahan 0,25 dari strandar kelulusan 2008 lalu yaitu 5,25. Dan Pemerintah berencana akan menaikan strandar kelulusan ini setiap tahunnya. Kebijakan pemerintah itu menuai protes dari berbagai pihak. Ada yang pro dan kontra terhadapnya.
Tingginya SK membuat para anak didik yang menempuh Ujian dihinggapi rasa takut, tegang dan tentu saja protes menghadapinya. Takut dan tegang karena tidak yakin bisa mencapai SK. Protes karena Seakan-akan masa depan mereka ditentukan hanya dalam beberapa hari saja, sementara mereka telah menjalani proses belajar mengajar selama tiga tahun lamanya.
Evaluasi Belajar dan Mutu Pendidikan
Ujian Nasional adalah bentuk Evaluasi yang menilai aspek-aspek yang telah ditentukan dalam proses belajar. Karena merupakan suatu evaluasi berarti UN harus memperhatikan aspek-aspek sasaran apa saja yang dinilai dan siapa yang menilai. Aspek-aspek yang dijadikan penilaian adalah Afektif, kognitif dan psikomotorik. Dan tentu saja yang dinilai adalah anak didik, sedangkan yang menilai adalah guru sebagai pengajar bagi anak didik tersebut.
Seperti yang diungkapkan Davies (1986), ranah tujuan pendidikan berdasarkan hasil belajar siswa secara umum dapat diklasifikasikan menjadi, yakni : ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik.
Selain itu, Syaiful Bahri Djamarah dalam bukunya Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif (Rineka Cipta, 2005) mengemukakan “Evaluasi adalah suatu tindakan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang arif dan bijaksana untuk menentukan nilai sesuatu, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.”
Maka UN yang merupakan suatu proses evaluasi belajar anak didik selama tiga tahun dalam suatu institusi pendidikan, diharuskan memperhatikan kualitas dan kuantitas anak didiknya. Kualitas dan kuantitas yang dimaksud telah tertuang dalam ranah tujuan pendidikan yang diungkapkan Davies.
Namun Ujian Nasional yang dilaksanakan selama ini dinilai tidak menyentuh secara keseluruhan kualitas dan kuantitas anak didiknya. Mengapa? karena Ujian Nasional yang telah dilaksanakan selama ini hanya menilai kemampuan afektif anak didik, sementara kemampuan kognitif dan psikomotoriknya diabaikan.
Jadi Ujian Nasional yang hanya menilai salah satu aspek dari dua aspek lain dapat dikatakan tidak menilai kualitas dan kuantitas anak didik melainkan hanya menilai kebolehan anak didik memperoleh nilai sesuai dengan strandar yang ditentukan.
Selain itu, dalam Ujian Nasional, yang menilai keberhasilan anak didik dalam proses belajar mengajar bukanlah gurunya anak didik tersebut, melainkan oleh orang-orang yang berada di pusat. Padahal proses evaluasi seharusnya dilakukan oleh guru yang mengajari anak didiknya, karena guru tersebut lebih mengetahuai kualitas dan kuantitas anak didiknya selama mengajar dari kelas satu sampai kelas tiga daripada para penentu kelulusan yang berada di pusat sana.
Mereka, tim penilai ujian nasional yang berada di pusat sana, yang tidak pernah berinteraksi langsung dengan anak didik yang mengikuti ujian, malahan bertindak sebagai penentu nasib anak didik yang tidak pernah mereka ketahui kemampuannya. Mereka hanya menilai kemampuan anak didik dari selembar kertas Lembaran Kerja Komputer (LJK). Jadi bagaimana mereka dapat menilai pantas atau tidaknya anak didik lolos ke jenjang berikutnya?
Pertanyaan yang membutuhkan penjelasan kuat bahwasanya sistem UN seperti ini yang baik dan pantas terus dipakai dalam mengevaluasi anak didik.
Tapi, belum lagi mendapatkan penjelasan, pelaku pendidikan dibebani lagi dengan kenaikan standar kelulusan setiap tahunnya. Seperti yang telah diumukan oleh BSNP, tahun 2009 ini standar kelulusan minimum yang harus dicapai anak didik agar bisa lolos ujian adalah 5,50. Angka yang dirasa cukup tinggi bagi anak didik untuk dicapai.
Ditambah lagi, mata pelajaran yang diujikan tidak hanya tiga seperti sebelum-sebelumnya, melainkan enam mata pelajaran. Maka Bayangkanlah beban yang dipikul anak-anak peserta ujian tersebut.
Menurut Penulis standar kelulusan yang telah ditentukan tentu saja tidak sesuai dengan mutu dan kualitas pendidikan yang ada pada saat ini. Harus diakui bahwa kualitas pendidikan di Negara ini dan pada saat ini masih rendah dibandingkan Negara lain.
Education Development Index (EDI) atau Indeks Pembangunan Pendidikan pada November 2007, mengompilasi data pendidikan dari 129 negara di seluruh dunia. Indeks ini dibuat dengan membagi tiga kategori penilaian, yaitu nilai EDI tinggi, sedang, dan rendah. Indonesia termasuk yang berada pada posisi EDI rendah. (Kompas, 31/12/07)
Berdasarkan data UNESCO, Indonesia menempati peringkat 111 dalam kualitas pendidikan, atau satu peringkat lebih tinggi daripada Vietnam. Sementara itu, Malaysia berada pada peringkat 53.(Okezone.com, 11/03/08)
Dua data di atas membuktikan masih rendahnya mutu dan kualitas pendidikan Indonesia di mata dunia. Dibanding Malaysia yang dulunya berada jauh di bawah Indonesia, kita kini sangat tertinggal.
Kembali ke Sekolah dan Perbaikan Mutu
Ujian Nasional adalah bagian penting dalam proses pendidikan. Karena pentingnya Ujian Nasional, pemantapan pelaksanaannya sangat perlu untuk diperhatikan. Cara pelaksanaan Ujian Nasional yang dilakukan sebelu-sebelumnya, dinilai tidak efektif dalam menilai anak didik.
Untuk memperbaiki ke-tidakefektif-an Ujian Nasional pada saat ini, hal terbaik yang mestinya ditempuh Dinas Pendidikan Nasional adalah mengembalikan proses evaluasi ini pada sekolah. Biarkan sekolah yang menentukan anak didik mana yang bisa lolos ke jenjang selanjutnya dan yang tidak. Sebab pihak sekolah melalui guru lebih mengetahui kemampuan anak didiknya, baik secara kualitas maupun kuantitasnya daripada orang luar.
Anak didik dievaluasi oleh guru yang mendidiknya. Dan Dinas Pendidikan menjadi pengontrol bagi guru-guru yang mengevaluasi anak didiknya. Bentuk Ujian Nasional nantinya akan berjalan sistematis mulai dari anak didik ke guru, kemudian dari guru ke Dinas Pendidikan.
Sementara itu untuk standarisasi kelulusan, BSNP harus menentukannya dengan mempertimbangkan mutu dan kualitas pendidikan yang dicapai. BSNP jangan menentukan standar kelulusan yang tidak sesuai dengan mutu dan kualitas pendidikan yang ada, karena kejadian yang akan terjadi kemudian adalah pelanggaran-pelanggaran yang tidak diinginkan selama Ujian Nasional berlangsung.
Maka marilah sama-sama kita perbaiki dahulu mutu dan kualitas pendidikan di Negara ini, sebelum menentukan standar kelulusan yang tinggi dan menaikkannya setiap tahun.(***)
Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) melalui Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) menentukan angka 5,50 sebagai Standar Kelulusan (SK) untuk mengevaluasi pantas tidaknya seorang anak didik menuju ke jenjang pendidikan selanjutnya.
Angka standar kelulusan tahun ini merupakan penambahan 0,25 dari strandar kelulusan 2008 lalu yaitu 5,25. Dan Pemerintah berencana akan menaikan strandar kelulusan ini setiap tahunnya. Kebijakan pemerintah itu menuai protes dari berbagai pihak. Ada yang pro dan kontra terhadapnya.
Tingginya SK membuat para anak didik yang menempuh Ujian dihinggapi rasa takut, tegang dan tentu saja protes menghadapinya. Takut dan tegang karena tidak yakin bisa mencapai SK. Protes karena Seakan-akan masa depan mereka ditentukan hanya dalam beberapa hari saja, sementara mereka telah menjalani proses belajar mengajar selama tiga tahun lamanya.
Evaluasi Belajar dan Mutu Pendidikan
Ujian Nasional adalah bentuk Evaluasi yang menilai aspek-aspek yang telah ditentukan dalam proses belajar. Karena merupakan suatu evaluasi berarti UN harus memperhatikan aspek-aspek sasaran apa saja yang dinilai dan siapa yang menilai. Aspek-aspek yang dijadikan penilaian adalah Afektif, kognitif dan psikomotorik. Dan tentu saja yang dinilai adalah anak didik, sedangkan yang menilai adalah guru sebagai pengajar bagi anak didik tersebut.
Seperti yang diungkapkan Davies (1986), ranah tujuan pendidikan berdasarkan hasil belajar siswa secara umum dapat diklasifikasikan menjadi, yakni : ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik.
Selain itu, Syaiful Bahri Djamarah dalam bukunya Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif (Rineka Cipta, 2005) mengemukakan “Evaluasi adalah suatu tindakan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang arif dan bijaksana untuk menentukan nilai sesuatu, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.”
Maka UN yang merupakan suatu proses evaluasi belajar anak didik selama tiga tahun dalam suatu institusi pendidikan, diharuskan memperhatikan kualitas dan kuantitas anak didiknya. Kualitas dan kuantitas yang dimaksud telah tertuang dalam ranah tujuan pendidikan yang diungkapkan Davies.
Namun Ujian Nasional yang dilaksanakan selama ini dinilai tidak menyentuh secara keseluruhan kualitas dan kuantitas anak didiknya. Mengapa? karena Ujian Nasional yang telah dilaksanakan selama ini hanya menilai kemampuan afektif anak didik, sementara kemampuan kognitif dan psikomotoriknya diabaikan.
Jadi Ujian Nasional yang hanya menilai salah satu aspek dari dua aspek lain dapat dikatakan tidak menilai kualitas dan kuantitas anak didik melainkan hanya menilai kebolehan anak didik memperoleh nilai sesuai dengan strandar yang ditentukan.
Selain itu, dalam Ujian Nasional, yang menilai keberhasilan anak didik dalam proses belajar mengajar bukanlah gurunya anak didik tersebut, melainkan oleh orang-orang yang berada di pusat. Padahal proses evaluasi seharusnya dilakukan oleh guru yang mengajari anak didiknya, karena guru tersebut lebih mengetahuai kualitas dan kuantitas anak didiknya selama mengajar dari kelas satu sampai kelas tiga daripada para penentu kelulusan yang berada di pusat sana.
Mereka, tim penilai ujian nasional yang berada di pusat sana, yang tidak pernah berinteraksi langsung dengan anak didik yang mengikuti ujian, malahan bertindak sebagai penentu nasib anak didik yang tidak pernah mereka ketahui kemampuannya. Mereka hanya menilai kemampuan anak didik dari selembar kertas Lembaran Kerja Komputer (LJK). Jadi bagaimana mereka dapat menilai pantas atau tidaknya anak didik lolos ke jenjang berikutnya?
Pertanyaan yang membutuhkan penjelasan kuat bahwasanya sistem UN seperti ini yang baik dan pantas terus dipakai dalam mengevaluasi anak didik.
Tapi, belum lagi mendapatkan penjelasan, pelaku pendidikan dibebani lagi dengan kenaikan standar kelulusan setiap tahunnya. Seperti yang telah diumukan oleh BSNP, tahun 2009 ini standar kelulusan minimum yang harus dicapai anak didik agar bisa lolos ujian adalah 5,50. Angka yang dirasa cukup tinggi bagi anak didik untuk dicapai.
Ditambah lagi, mata pelajaran yang diujikan tidak hanya tiga seperti sebelum-sebelumnya, melainkan enam mata pelajaran. Maka Bayangkanlah beban yang dipikul anak-anak peserta ujian tersebut.
Menurut Penulis standar kelulusan yang telah ditentukan tentu saja tidak sesuai dengan mutu dan kualitas pendidikan yang ada pada saat ini. Harus diakui bahwa kualitas pendidikan di Negara ini dan pada saat ini masih rendah dibandingkan Negara lain.
Education Development Index (EDI) atau Indeks Pembangunan Pendidikan pada November 2007, mengompilasi data pendidikan dari 129 negara di seluruh dunia. Indeks ini dibuat dengan membagi tiga kategori penilaian, yaitu nilai EDI tinggi, sedang, dan rendah. Indonesia termasuk yang berada pada posisi EDI rendah. (Kompas, 31/12/07)
Berdasarkan data UNESCO, Indonesia menempati peringkat 111 dalam kualitas pendidikan, atau satu peringkat lebih tinggi daripada Vietnam. Sementara itu, Malaysia berada pada peringkat 53.(Okezone.com, 11/03/08)
Dua data di atas membuktikan masih rendahnya mutu dan kualitas pendidikan Indonesia di mata dunia. Dibanding Malaysia yang dulunya berada jauh di bawah Indonesia, kita kini sangat tertinggal.
Kembali ke Sekolah dan Perbaikan Mutu
Ujian Nasional adalah bagian penting dalam proses pendidikan. Karena pentingnya Ujian Nasional, pemantapan pelaksanaannya sangat perlu untuk diperhatikan. Cara pelaksanaan Ujian Nasional yang dilakukan sebelu-sebelumnya, dinilai tidak efektif dalam menilai anak didik.
Untuk memperbaiki ke-tidakefektif-an Ujian Nasional pada saat ini, hal terbaik yang mestinya ditempuh Dinas Pendidikan Nasional adalah mengembalikan proses evaluasi ini pada sekolah. Biarkan sekolah yang menentukan anak didik mana yang bisa lolos ke jenjang selanjutnya dan yang tidak. Sebab pihak sekolah melalui guru lebih mengetahui kemampuan anak didiknya, baik secara kualitas maupun kuantitasnya daripada orang luar.
Anak didik dievaluasi oleh guru yang mendidiknya. Dan Dinas Pendidikan menjadi pengontrol bagi guru-guru yang mengevaluasi anak didiknya. Bentuk Ujian Nasional nantinya akan berjalan sistematis mulai dari anak didik ke guru, kemudian dari guru ke Dinas Pendidikan.
Sementara itu untuk standarisasi kelulusan, BSNP harus menentukannya dengan mempertimbangkan mutu dan kualitas pendidikan yang dicapai. BSNP jangan menentukan standar kelulusan yang tidak sesuai dengan mutu dan kualitas pendidikan yang ada, karena kejadian yang akan terjadi kemudian adalah pelanggaran-pelanggaran yang tidak diinginkan selama Ujian Nasional berlangsung.
Maka marilah sama-sama kita perbaiki dahulu mutu dan kualitas pendidikan di Negara ini, sebelum menentukan standar kelulusan yang tinggi dan menaikkannya setiap tahun.(***)
* Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Makassar
No comments:
Post a Comment