Friday, May 29, 2009

ANAK-ANAK JALANGKOTE

BOCAH-BOCAH JALANGKOTE

Oleh : Aida Radar*


Makassar dipayungi mendung hari ini. Kedatangannya yang tak pada waktunya timbulkan tanya bagi segelintir orang. Tak terkecuali aku. Bukankah bulan ini yang seharusnya menemani masyarakat kota Daeng adalah sinar sang mentari? Bukankah awan hitam yang berarakan di atas sana telah berakhir bulan lalu? Tapi mengapa ia masih menampakkan dirinya hari ini? seolah tidak rela berikan kesempatan langit biru jalankan tugasnya.

Alam memang telah berubah sekarang. Sulit ditafsirkan kapan musim-musim akan berlangsung. Para petani saja yang dulunya pandai menghitung musim, kini angkat tangan dengan perubahan alam tersebut. Sepertinya kerusakan bumi sudah semakin parah saja.

Tapi untunglah mendung itu tidak mempengaruhiku. Justru sebaliknya. Suasana hatiku sangat dan sangat cerah. Secerah mentari yang bersinar indah kemarin. Kamu tahu kenapa? Yang jelasnya kamu tidak tahu. Karena aku belum pernah memberitahu siapapun tentang hal ini. jadi otomatis hanya aku saja yang tahu.

Aku baru saja menerima telepon dari redaktur kolom “Budaya” di Koran lokal di kota ini . Ia memintaku ke kantor redaksi untuk mengambil honor tulisanku yang nangkring di kolom kelolaannya seminggu lalu. Maka tak terbayanglah bahagia yang kurasa. Itu tulisan pertamaku yang dimuat di media. Dan aku akan menerima honor pertamaku setelah berulang-ulang kali mengalami penolakan. Bayang-bayang tiga judul buku yang kusimpan dalam folder “Wanted Books” di handphone-ku menari-nari minta segera dipindahkan dari rak toko buku ke lemari buku di kamarku.

***

Dalam perjalanan ke kampus, aku tak henti-hentinya menyungging senyum. Amplop putih di dalam tas yang kuterima tadi terus menjadi alasan mengapa mulut ini tak juga berhenti melengkung. Pulang dari kampus nanti, aku berencana menyambangi toko buku andalan. Aku akan membeli tiga buku yang kutargetkan itu.

Kuliahku dimulai jam empat. Jarum pendek di arlojiku menunjuk angka mendekati empat dan jarum panjangnya di angka sembilan. Lima belas menit lagi aku harus sudah berada di kelas. Sementara perutku sudah keroncongan minta diisi. Dari pagi memang belum ada makanan masuk dalam perutku saking bahagianya aku hari ini.

Karena belum ada sms dari temanku yang kuminta mengabari jika dosen sudah ada di kelas, aku lalu menuju kantin untuk menghilangkan keroncongan yang sedari tadi berbunyi. Tapi malang. Semua makanan yang dijual telah habis.

Dengan langkah sempoyongan, aku berjalan ke kelas. Tiba-tiba aku melihat dua penjual jalangkote.

“Ah… ini dia. Tak ada nasi, jalangkote pun berguna,” ujarku semangat. “Jalkot….! Jalkot…!” panggilku pada penjual jalangkot.

Dua penjual jalangkote yang kelihatan masih duduk di bangku eSDe yang berjalan berdekatan, sontak berbalik kearahku. Kemudian tanpa aba-aba, mereka berdua berlarian menuju padaku. Penjual yang satunya menenteng keranjang biru. Sementara yang satunya lagi membawa keranjang hijau. Keduanya juga membawa saus dalam botol bekas air mineral, khas jalangkote.

Kedua bocah itu berkejaran ke arahku sambil senggol menyenggol satu sama lain.. Satu meter dariku, anak yang membawa keranjang hijau jatuh. Anak yang membawa keranjang biru tidak mempedulikannya dan tetap berlari menuju padaku.

“Jalangkote kak,” kata bocah keranjang biru begitu berdiri di depanku.

Aku melihat isi keranjangnya. Masih lumayan banyak jalangkote di dalam. Aku hendak mengambil satu jalangkote ketika bocah keranjang hijau yang tadi jatuh berteriak.

“Woi! Kurang ajar kamu ya!. Kakak ini tadi memanggil saya bukan kamu. Kenapa kamu mengambil pelangganku.” Bocah keranjang hijau memprotes anak keranjang biru.

“Apa kamu bilang?!. Kakak ini tadi memanggil saya. Bukannya kamu yang hendak menyerobot pelanggan saya? Untung saya lebih cepat.”

“Jelas-jelas saya yang dipanggil tadi.”

“saya!”

“saya!”

“saya!”

“Stop!. Kalian apa-apaan sih! Jualan itu harus sportif dong. Eh… kalian malah berkelahi masalah pelanggan. Kalau rezeki juga tidak akan kemana. Bernafsu banget sih kalian.”

Aku mulai marah melihat tingkah kedua bocah penjual jangkote ini. aku bahkan kehilangan nafsu makan sekarang. Keduanya kaget mendengar bentakanku. Mereka lalu berhenti adu mulut. Keduanya tertunduk.

“Isi keranjang saya masih banyak. Dari tadi pagi belum banyak yang laku. Jika sampai malam tidak laku juga, saya tidak akan bisa membawa uang untuk ibu yang sakit-sakitan di rumah. Saya dan ibu hidup sendiri. Ayah sudah lama meninggal. Makanya saya berusaha agar jalangkote ini cepat habis. Bagaimanapun caranya. Kepulan asap di dapur besok tergantung pada usaha saya hari ini. Jadi kalau jalangkote ini tidak habis, entah apa yang akan saya dan ibu santap besok,” ujar anak keranjang hijau dengan mata berkaca.

“Kakak tidak pernah merasa seperti kami, makanya kakak bicara begitu. Tahukah kakak, kosongnya keranjang ini sangat berharga bagi kami,” lanjut anak keranjang biru seiya sekata dengan anak keranjang biru. Matanya juga berkaca.

Aku tercekat dengan penuturan mereka. Seketika amarahku reda. Berganti sendu yang hiasi wajah dan airmata yang siap tumpah. Aku merasa bersalah telah memarahi mereka. Aku tidak sadar bahwa dua bocah didepanku ini memikul tanggungjawab yang begitu besar. Aku tidak tahu bahwa tekanan ekonomilah yang membuat mereka seperti ini. aku menyesal sekali. Aku harus minta maaf.

“Maafkan kakak ya. Kakak tidak tahu jika kalian punya tanggung jawab yang sangat besar terhadap keluarga kalian.”

Keduanya menganggukkan kepala. Tiba-tiba aku punya ide.

“Ayo! Sini ikut kakak,” aku kemudian menarik tangan keduanya.

“Ke mana kak?”

“Iya ke mana? Kami harus jualan lagi.”

Aku tersenyum dengan kebingungan mereka. “Nanti kalian juga tahu.”

Aku masuk di dalam satu kelas yang banyak orangnya. Ini kelasku. Belum ada dosen disana. Kemudian aku berdiri di depan kelas dan mengetuk meja dengan keras. Dua anak penjual jalangkote berdiri di sampingku.

“Mohon perhatiannya teman-teman! Saya punya kabar gembira. Hari ini saya baru saja dapat banyak rezeki. Jadi saya traktir semuanya makan jalangkote di dua keranjang ini sampai habis.”

Tepukan riuh terdengar. setelah tepukan reda, semua teman-temanku yang kira-kira berjumlah empat puluh di kelas ini, berhamburan menuju ke kedua penjual jalangkote. Kedua bocah itu pun kelabakan menghadapi permintaan yang datang bertubi-tubi. Kelas terlihat layaknya pasar. Ribut dan ramai.

Sekonyong-konyong pintu kelas diketuk seseorang. Itu dosenku yang akan mengajar di kelas ini.

“Ada apa ini?! ini kelas atau pasar? Ribut sekali. Kenapa juga ada penjual jalangkote di dalam ruangan kuliah saya? Ada yang bisa jelaskan pada saya semua keributan ini?”

Teman-teman yang sibuk mengisi jalangkote, sejenak menghentikan kegiatannya dan dengan pelan menuju tempat duduk masing-masing.

Semua mata teman-teman memandang ke arahku. Tak terkecuali dua bocah penjual jalangkote. Mereka seakan-akan memintaku menjelaskan apa yang terjadi. Aku paham arti tatapan itu. Maka aku lalu mendekati dosenku.

“Bisa saya bicara sebentar pak. Saya yang akan menjelaskan semua ini.”

“Cepat jelaskan.”

Aku kemudian menceritakan semua yang terjadi. Mulai dari rasa laparku hingga pertengkaran kedua bocah penjual jalangkote. Juga tentang ideku yang mentraktir teman-teman agar dapat membantu menghabiskan jalangkote keduanya yang cukup banyak.

Dosenku mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti dan mengizinkanku melanjutkan acaraku mentraktir teman-teman sekelas. Ia pun meninggalkan kelas, tidak jadi mengajar dan akan masuk minggu depan.

Teman-teman bersorak gembira. Jalangkote yang sempat mereka simpan tadi, kini kembali masuk dalam mulut. Tidak sampai setengah jam, isi keranjang kedua bocah itu telah ludes. Kosong sama sekali.

Dua bocah itu memandangiku senang. Aku mendekati mereka dan memberi dua puluh lima ribu pada setiap bocah. Aku memberi uang lebih dari jumlah yang harus aku bayar. Seharusnya aku cukup membayar sepuluh ribu lebih per orang. Keduanya hendak memberikan kembaliannya. Tapi aku menolak.

“Itu hadiah untuk kalian. Hadiah bagi anak-anak rajin, pekerja keras, dan penuh tanggung jawab seperti kalian. Kalian layak mendapatkannya”

Mereka berdua tersenyum dan mengucapkan terima kasih berulang-ulang kali. Lalu, mereka pamit. Mereka keluar kelas bersama sambil berangkulan.

Air bening menggenangi wajahku ketika melihat mereka. Hari ini aku merasa sangat berbahagia. Melebihi rasa bahagia ketika menerima honor pagi tadi. Aku melihat isi dompet. Masih tersisa dua puluh lima ribu di dalam. Walau tidak berhasil membeli tiga buku yang telah kutargetkan, aku tidak kecewa. Justru Aku merasa sangat senang karena honor pertamaku yang berbuah senyumku hari ini juga dipanen dua bocah jalangkote itu.

***

Makassar, 25 Mei 2009

Pukul 19.21 WITA

Direvisi 26 Mei 2009

Pukul 13.00 WITA

*Anggota Forum Lingkar Pena (FLP) SulSel



No comments: