SEBENTUK UNGKAPAN CINTA UNTUK DUA ORANG YANG SANGAT KUCINTAI DI NEGERI REMPAH-REMPAH, TIDORE.
Oleh : Aida_Radar
Ibu,
Entah dengan bahasa apa lagi aku mendeskripsikanmu. Entah dengan rangkaian kata bagaimana lagi aku menggambarkanmu. Entah dengan susunan huruf apa lagi aku menjelaskan tentangmu. Entah berapa kali aku menggunakan kata awalan ini untuk menunjukkan kekagumanku akan engkau.
Ibu,
Malam itu tiba-tiba mataku digenangi kaca-kaca bening. Bukan hanya menggenangi malah, tapi telah tumpah. Entah sudah berapa liter air itu mengalir deras di wajahku. Engkau mau tahu mengapa ibu?
Bagaimana aku tidak berlinang airmata jika aku merasakan betapa besar cintamu pada buah hatimu ini. Lihatlah ibu, aku sedang menyantap roti isi kenari dan kue apang dengan lahapnya. Pandangilah ibu, aku sementara menikmati ikan golode dan nyao magi dengan nikmatnya. Tataplah ibu, aku sekarang makan nasi dengan dabu-dabu manta yang cabe dan jeruknyanya engkau petik dari kebun kecil di belakang rumah, dengan sedapnya. Mari perhatikan aku memasukkan dalam mulut, kiriman makanan yang engkau masak tadi malam, yang kemudian pagi harinya engkau membawa kardus kiriman itu ke rumah kenalanmu yang akan menerbangkan masakan buatanmu padaku di negeri rantau. Kiriman yang datang hari ini sesungguhnya hanyalah satu dari puluhan kiriman yang engkau kirimkan padaku selama dua tahun aku hidup di rantauan. Sungguh aku tidak tahu bagaimana membalas kebaikanmu ibu. Hanya Allah SWT lah yang dapat membalas keikhlasanmu berbakti pada keluarga. Amin.
Ah… ibu. Tahukah engkau bahwa hal yang ingin aku lakukan sekarang ialah membenamkan kepalaku di pangkuanmu dan merasakan tangan hangatmu mengelus-elus kepalaku penuh sayang. Hal yang paling aku rindukan ketika menemanimu membuat pesanan kue hingga larut malam. Dan kita berbicang-bincang sampai aku ketiduran di meja makan . Hal yang paling aku ingat ketika engkau memarahiku karena aku mencuci baju dengan cara menginjak-injaknya dengan kakiku sampai baskom hampir pecah. Hal yang paling aku ingin ulangi ialah mendengar kritikanmu atas masakan pertamaku yang hancur rasanya. He…he…6x.
Aku ingin memelukmu ibu. Ingin sekali. Maka untuk mewujudkan keinganku itu, aku harus bersabar. Iya… bersabar. Semoga di bulan suci Ramadhan nanti aku bisa merangkulmu. Dan aku, engkau, ayah, dan adik bisa duduk bersama di meja makan menikmati masakanmu yang engkau buat untuk menu sahur kami dalam menjalankan ibadah puasa. Amin. Insya Allah.
Ayah,
Entah dengan bahasa apa lagi aku mendeskripsikanmu. Entah dengan rangkaian kata bagaimana lagi aku menggambarkanmu. Entah dengan susunan huruf apa lagi aku menjelaskan tentangmu. Entah berapa kali aku menggunakan kata awalan ini untuk menunjukkan kekagumanku akan engkau.
Ayah,
Hari itu tiba-tiba mataku digenangi kaca-kaca bening. Bukan hanya menggenangi malah, tapi telah tumpah. Entah sudah berapa liter air itu mengalir deras di wajahku. Engkau mau tahu mengapa yah?
Bagaimana aku tidak berlinang airmata jika aku merasakan betapa besar cintamu pada buah hatimu ini. Lihatlah ayah, aku sedang membeli buku yang sudah lama aku inginkan dengan senangnya. Pandangilah ayah, aku sementara membayar biaya kuliahku untuk memperlancar cita-citaku. Tataplah ayah, aku sekarang sedang membawa belanjaan kebutuhanku selama sebulan dengan beratnya. Mari perhatikan aku mengambil rupiah-rupiah yang engkau kirimkan pagi tadi, yang engkau kirimkan padaku setelah semalam aku memberi tahu biaya hidupku yang hampir habis.
Keesokan paginya, sebelum menjalankan tugasmu di sekolah, engkau mampir sebentar di sebuah tempat bernama bank dan menitipkan beberapa lembar kertas biru yang ada gambar pahlawannya, agar mereka mentransfer ke rekeningku yang kini berada di negeri rantau. Lalu engkau akan menelponku dan menyuruhku mengecek isi rekeningku. Oh… Ayah, Kiriman yang datang hari ini sesungguhnya hanyalah satu dari beberapa kali kiriman yang engkau kirimkan padaku selama dua tahun aku hidup di rantauan. Sungguh aku tidak tahu bagaimana membalas kebaikanmu ibu. Hanya Allah SWT lah yang dapat membalas keikhlasanmu berbakti pada keluarga. Amin.
Ah… Ayah. Tahukah engkau bahwa hal yang ingin aku lakukan sekarang ialah duduk bersama denganmu di depan rumah dan mendengar nasehat-nasehatmu tentang kehidupan islami. Hal yang paling aku rindukan ketika menemanimu mengetik tugas kampus untuk merampungkan kuliah pasca sarjanamu hingga larut malam. Dan kita berbicang-bincang sampai aku ketiduran di meja kerjamu . Hal yang paling aku ingat ialah ketika aku masih duduk di bangku eSDe, engkau berdiri di tepi pantai dan mengancung-ancungkan sebuah rotan padaku dan adik yang mandi di air laut sampai maghrib tiba. Hal yang paling aku ingin ulangi ialah mendengar engkau memperbaiki bacaan Al-Qur’an-ku ketika aku salah melafadzkannya.
Aku ingin mencium punggung tanganmu sehabis shalat, seperti ketika aku masih tinggal di rumah dua tahun lalu. Ingin sekali Yah! Maka untuk mewujudkan keinganku itu, aku harus bersabar. Iya… bersabar. Semoga di bulan suci Ramadhan nanti aku bisa mencium punggung tanganmu dengan takzim dan penuh hormat. Dan aku, engkau, ibu, dan adik shalat berjamaah bersama di ruang shalat yang ada di rumah dan kita berdoa bersama agar puasa kita sekeluarga diridhai oleh Nya. Amin. Insya Allah.
***
Pukul 14.36 WITA
Di siang mendung yang menggerimiskan hati
karena mengingat mereka, Pa’ dan Mamaku tercinta.