The Classic |
EMPAT SORE
Oleh Alek
Subairi
:Choirul Wadud, Timur Budi Radja,
Mahendra, and seorang yang tak
dikenal
1
Seseorang
berangkat mincing pada empat sore
dengan kail
nomor 9, and sekantung
cacing bakau
yang sehat.
Ada bayang-bayang
mujaer, gabus, udang galah
yang senang
menerima umpan rendah hati.
Ia mengerti
di mana memilih tempat duduk,
mencium
udara yang mengirim aroma bunga bangkai,
limbah plastik,
dan hewan melata.
Sabarlah sungainya,
tenanglah pandangannya
sepilah
bahasanya.
Sebab bila
air keruh datang, ia
seseorang
yang tak berniat melaporkan
pabrik-pabrik
bocor, penambang pasir,
bangkai
ikan, dan suara-suara terjepit
di palung
yang murung.
Sebab ia
tahu, berita koran dan televisi
membirukan
yang hitam, menghitamkan yang
merah,
memutihkan yang
kelam dalam
sekali pandang.
2
Seseorang
yang lain menemui Asarnya
di depan
rumah tanpa bilang-bilang.
Tak mengapa
kalau ada yang menerka yang tidak-tidak,
sebab dengan
demikian kebajikan tetap di peluknya,
ketika yang
lain-lain mabuk dalam prasangka.
Kalau ia
sampai di tikungan, dan sore yang segar
mengatakan,
berjalanlah lurus dalam niat yang
mengasuh tabahmu.
Lalu ia jadi yang ingin
menerima
kabar dari yang tersembunyi.
3
Seseorang
yang lain lagi, terjebak macet
di jalan A
Yani yang terkenal. Ia berdoa kecil-kecil,
semoga makan
malam yang ia rencanakan
berjalan
sungguh-sungguh.
Jangan ada polisi
yang menghalangi jalannya
jangan ada
belokan tajam, sehingga ia tak
terseret
mampir di warung lain yang
tak mencatat
namanya, lalu malamnya jadi
dusta yang
menghambat rejeki dan imannya.
Sungguh jangan.
Bukankah
Tuhan tak bersama orang yang terburu-buru?
4
Tapi ada
yang mengalir ke arah lain,
seperti kaum
yang menjalankan ibadah
dengan
sembunyi-sembunyi. Biarkan.
Jangan dihalang-halang.
Jangan pula diolok-olok.
Sebab kita
tak tahu di lubang mana
sunyi
mengalir.
2012.
Versi Bahasa Inggris puisi ini dapat dibaca di sini
Juga suara saya membacakan versi Bahasa Inggris-nya dapat didengar di sini. ^^