Membaca apdetan di fanpage Pak Walikota Bandung kemarin
tentang Festival Batu Akik di lapangan Tegalega, Bandung, mengingatkan saya
pada pengalaman bersinggungan dengan “heboh” batu akik. Begini ceritanya:
Saat libur semester satu tahun
lalu, saya mudik ke Tidore selama dua pekan. Salah satu agenda mudik adalah
membeli cincin besi putih pesanan seorang sohib, yang meskipun berada nun jauh di
Kalimantan dekat perbatasan Indonesia-Malaysia sana, namun tak pernah lupa
bahwa Ternate adalah surga besi putih. Maka sehari sebelum kembali ke Bandung,
saya menapaki kawasan penjualan besi putih di area Pasar Gamalama, Ternate.
Sembari memilih cincin pesanan sohib itu, mata saya bersihadap dengan sebuah cincin
besi putih bermata hijau. Hanya ada satu. Padahal biasanya ada banyak desain
dan warna cincin yang sama. Namun cincin bermata hijau itu hanya ada satu.
Semula saya putuskan membeli
cincin bermata hijau itu demi memenuhi pesanan sohib tadi. Namun saat mencoba
memakaikannya di jari manis tangan saya, ukurannya pas. Karena ukurannya pas,
saya yakin cincinnya tak akan muat dipakaikan di jari tangan sohib itu. Alasannya:
tak lain, tak bukan, ukuran jari tangannya yang lebih kecil. Hipotesis saya berangkat
dari analisis kenyataan yang jika kamu mengenal sohib saya itu, kamu akan
mendukung penuh hipotesis saya. Dan benar saja! 11 bulan setelahnya, dugaan
saya perihal ukuran jari tangan yang lebih kecil itu terbukti saat kami bertemu
di Bogor. Hoho…
Kembali ke kawasan penjualan besi
putih di Pasar Gamalama. Cincin besi putih bermata hijau itu akhirnya saya beli.
Meskipun awalnya tak berniat membeli cincin untuk diri sendiri, tapi sebab berwarna
hijau itulah, cincinnya saya beli juga dan langsung menyematkan di jari manis tangan
kanan. Pas! Sesudah itu, saya berhasil menemukan cincin pesanan si sohib yang
saya kira akan cocok di jari tangannya. Syukurlah, perkiraan ukurannya tidak
meleset. Dari Pasar Gamalama, naik oto
menuju Pelabuhan Bastiong. Berlanjut naik speedboat
pulang ke Tidore. Keesokan harinya saya kembali ke Bandung, memulai semester
dua di Kampus Bumi Siliwangi.
Sepanjang semester dua hingga
semester tiga berakhir, cincin bermata hijau itu setia terpasang di jari tangan
saya. Seingat saya, selama saat-saat itu, tak ada perhatian lebih yang
orang-orang beri ketika melihat cincin itu melingkar di jari tangan saya.
Mereka hanya melihat sekilas pabila tangan saya terangkat atau tanpa sengaja
mata mereka bersitatap dengannya. Tak ada komentar lebih, tak ada pujian. Cincin
bermata hijau itu tak bermakna apa-apa bagi orang-orang yang pernah melihatnya.
Hingga di akhir tahun 2014 sampai
memasuki awal tahun 2015, batu-batu akik tiba-tiba mempunyai nilai berharga di
mata masyarakat Indonesia. Mungkin saja sudah jauh-jauh hari batu-batu akik menyinarkan
pesonanya, namun baru terasa oleh saya berita perihal menuju puncaknya (emang
AFI? Hihi) akhir-akhir kemarin. Di tengah maraknya perbincangan mengenai batu
akik dan jenis-jenisnya, cincin bermata hijau di jari tangan saya juga mendadak
naik daun di mata orang-orang yang pernah berinteraksi dengan saya.
Semasa berjaya itulah, beberapa
kali dalam seminggu, saya pasti akan mendengar pujian untuk cincin di jari
tangan saya.
“Aiii… cincinnya cantik bangeeet!
Beli di mana? Mau dooonggg?” kata seorang teman yang padahal sebelumnya (mungkin)
sudah sering melihatnya, karena saya dan dia berada di kelas yang sama selama
semester 2 dan 3.
“Wow! Batu apa itu di cincinnya?
Hijaunya bagus sekali? Batu Bacan kah? Sukaaa…”
“Di cincinnya itu Batu Bacan?
Cantiknyaa.”
Serta pertanyaan-pertanyaan dan komentar-komentar
memuji lainnya.
Saya hanya mengangkat bahu
menjawab pertanyaan ini. Saya sungguh tak tahu menahu jenis batu apa di hijau mata
cincin saya itu. Lagipula, saya tak punya sedikitpun ketertarikan pada
batu-batu semacam itu. Saya tidak ambil peduli dengan jenis batu akik apa yang
melingkari jari tangan saya. Entah batu bacan, batu giok, dan batu-batu
lainnya. Saya membeli cincin bermata hijau yang terlihat seperti jenis batu-batu
ternama itu jauuuh sebelum batu-batu akik menempati hati beberapa kelompok
masyarakat. Oleh karenanya, saya hanya menganggapnya cincin biasa saja.
Meskipun begitu, binar di mata
Mamang Penjual Bubur Ayam waktu melihat cincin bermata hijau itu menyadarkan
saya perihal betapa berharganya nilainya saat ini.
“Ini teh batu apa, Neng? Bagus euy!”
Tanya Mamang Bubur Ayam sembari menunjuk cincin di jari tangan saya.
“Nggak tahu, Mang. Saya nggak
ngerti dengan batu-batuan kayak gitu.”
Mamang Bubur itu lalu menunjukkan
batu-batu koleksinya di tiga cincin yang melingkar di jari-jari tangannya.
“Ini mah batu-batu yang dikasih teman saya. Bagus. Tapi punya Neng lebih
bagus euy!” Mamang Bubur heboh
sekali.
Saya hanya senyam-senyum. Tidak
mengerti dengan nilai batu-batuan semacam itu. Mamang Bubur Ayam itu bahkan
meminta saya melepas cincin di jari saya asal sebentar. Dia mau mencoba
memakainya. Saya sanggupi. Cincin itu berpindah ke jari kelingkingnya (muatnya
hanya di jari kelingking). Setelah dipakai, diangkatlah tangannya dan
dipandangi dengan senyum yang mengembang. Beberapa saat kemudian cincinnya dia
lepaskan dan dikembalikan pada saya sambil berkata,
“Neng, saya doakan kuliahnya
cepat lulus ya…”
“Amiin ya Rabb…”
Mengingat tentang progres tesis
yang sedang ditulis, saya mengaminkan doa Mamang Bubur dengan penuh semangat.
“Terimakasih doanya, Mang.”
“Saya doakan semoga cepat wisuda.
Cepat balik ke kampung halamannya.”
“Aamiin…” Aamiin saya semakin
kencang.
“Saya doakan cepat selesai. Tapi
sebelum pulang kampung, cincin bagusnya ini kasih ke saya yaaa… Hehehe…”
“Eh…” Saya hanya melongo.
“Iya, habisnya batu di cincinnya
bagus sekali!”
“Heh…” Saya masih melongo.
Kemudian mengangguk-angguk sekenanya.
“Hatur nuhun, Mang.”
“Mangga, Neng. Jangan lupa cincin
batunya yaaa…”
“He-eh…” Saya masih mengangguk
sekenanya.
Mamang Bubur Ayam me boke lagi! (ungkapan
keheranan/keterkejutan/ketidakpercayaan yang tenar di Maluku Utara)
Saya bayar bubur ayam yang sebelumnya
saya makan, lalu berjalan pulang ke rumah. Sepanjang jalan saya pandangi cincin
bermata hijau itu yang entah batu berjenis apa. Saya masih terheran-heran
dengan ekspresi Mamang Bubur Ayam yang heboh tadi. Saya makan bubur ayam di
kedainya bukan satu kali sebulan. Saya sangat sering makan di kedainya. Langganan
malah. Selama periode makan bubur ayam yang sering itupun saya sudah memakai
cincin bermata hijau itu di jari tangan. Selalu saya pakai cincin itu dan yakin
pernah dilihat Mamang Bubur sebelum-sebelumnya. Tapi mengapa pujian bahwa
cincinnya bagus baru Mamang Bubur itu ekspresikan barusan?
Saya kemudian mengingat kejadian
yang sama pada orang-orang yang berinteraksi dengan saya selama ini, sesudah
saya memakai cincin bermata hijau itu di jari tangan. Sebelum pamor batu akik
meningkat tajam, cincin saya ini tak dilirik penuh arti. Setelah momen batu
akik bersinar, cincin bermata hijau saya juga ikut-ikutan kecipratan sinar
ketenaran batu akik. Dipuja-puja. Diperhatikan penuh makna. Dijatuhcintai.
Dari untaian pengalaman itu, yang
sungguh masih mengherankan, saya lalu menarik kesimpulan begini: Aaah, rasa
suka ternyata perihal momen saja. Cincin bermata hijau yang dipandangi
orang-orang tak berarti apa-apa sebelumnya, rupanya langsung membuat mereka
jatuh cinta ketika momen “demam batu akik” menjadikannya sangat berharga. Aaah,
ternyata memang benar. Cinta itu hanya tentang momen saja. Sesuatu dicintai dan
belum dicintai rupanya tergantung pada momen saja. Aaah, ternyata begitu, ya…?
Kesimpulan tentang momen ini
membawa saya pada cerita Yoon Yoon Jae yang telah lama bersahabat dengan Sung
Shi Won, saling mengenal sejak masih kanak-kanak, namun baru jatuh cinta bertahun-tahun
kemudian setelah melihat Sung Shi Won pertama kali tak memakai kacamata. Yoon Jae
mengatakan pada momen melihat Shi Won pertama kali tak lagi memakai kacamata
itulah dia merasa jantungnya berdegup kencang sekali dan di matanya Shi Won
terlihat begitu cantik (Reply 1997). Atau cerita Sung Na Jeong yang jatuh cinta
pada Oppa’yaa untuk pertama kalinya ketika terbaring sakit di rumah sakit,
padahal selama bertahun-tahun mereka hidup satu rumah, sudah seperti adik-kakak.
Hubungan seperti adik-kakak mereka pun juga selalu dipenuhi pertengkaran. Tapi
mengapa cerita Na Jeong dan Oppa’yaa berakhir dengan saling mencintai? (Reply 1994)
MOMEN!
Demikian kesimpulan kuat saya. Ditambah
lagi apabila mengingat cerita seorang Abang yang juga bersinggungan dengan MOMEN
sebelum akhirnya menemukan belahan jiwanya ada pada teman yang telah ia kenal sejak
bertahun-tahun silam (cerita lengkapnya nanti bisa dibaca di buku terbaru Abang
ini yang inshaAllah terbit bulan depan berjudul Cinta Paling Setia. [promo.com]
^_^ hihi), saya semakin yakin dengan kesimpulan itu: Aaah… cinta memang ternyata
perihal momen saja..
Suit… Suit… Hihi…
Ah, cukup sekian dulu uraian hipotesis-pembahasan-kesimpulan
dari cincin bermata hijau, batu akik, dan momen menemukan cinta ini. Apalagi pascahujan
sore tadi, udara Bandung terasa bertambah dingin menggigit kulit. Membuat cahaya
mata begitu cepatnya menurun pada kisaran 2 watt
saja. Selamat tidur… :D