Kemarin, saya dipertemukan dengan sebuah
buku, buku puisi karya Husni Djamaluddin. Di antara memilih waktu untuk
mengerjakan tugas-tugas kuliah, saya ditarik untuk mempersilakan buku itu
bersentuhan dengan mata ini beberapa saat. Ya, beberapa saat saja. Saya punya
komitmen dengan tugas-tugas yang mesti saya tepati soalnya. Maka membacalah
saya.
Dan tak kuasa saya menahan tangis. Mewek lagi,
ketika tiba pada sebuah puisi. Saat-saat
Terakhir Muhammad Rasulullah, demikian judul puisinya. Airmata yang jatuh
itu kurang lebih sama seperti waktu membaca atau mendengar kembali cerita
ketika Sang Sahabat tersedu mendengar pidato terakhir perihal wahyu yang telah
sempurna, atau pada saat Seorang Lelaki Persia menangis dalam pelukannya
setelah melewati berbagai cobaan dalam perjalanan untuk menemukan Baginda.
Tangisan yang dilatarbelakangi rasa cinta yang dalam, InshaAllah.
Maka saya kutip puisi tersebut di sini. Supaya
kerinduan yang saya rasakan atau (mungkin) kamu pada Lelaki itu, tidak pergi ke
mana-mana.
*
Saat-saat Terakhir Muhammad
Rasulullah
demam itu demam yang pertama demam yang terakhir
bagi
Rasul terakhir
jam itu adalah jam-jam penghabisan
bagi Utusan
Penghabisan
dalam demam yang mencengkeram
betapa sabar kau terbaring di selembar tikar
dalam jam-jam yang mencekam
betapa dalam lautan pasrahmu
ada kulihat
matamu
berisyarat
adakah gerangan
yang
ingin kaupesankan
dalam
jam-jam penghabisan
wahai
Nabi Pilihan
maka kuhampirkan telingaku yang kanan
di mulutmu yang suci
maka kudengar ucapmu pelan:
di
bawah tikar
masih
tersisa sembilan dinar
tolong
sedekahkan
sesegera
mungkin
kepada
fakir miskin
mengapa yang sembilan dinar
mengapa itu benar
yang membuatmu gelisah
ya Rasulullah
sebab
ke mana nanti
kusembunyikan
wajahku
di
hadirat Ilahi
bila
aku menghadap dan Dia tahu
aku
meninggalkan bumi
dengan
memiliki
duit
biar
sedikit
biar
cuma
sembilan dinar
ke bumi aku diutus
memberikan arah ke jalan lurus
tugasku tak hanya menyampaikan pesan
tugasku adalah juga sebagai teladan
bagi segala orang yang mencintai Tuhan
lebih dari segala dinar
lebih dari segala yang lain
miskin aku datang
biarlah miskin aku pulang
bersih aku lahir
biarlah bersih hingga detik terakhir
sembilan dinar
pelan-pelan kuambil dari bawah tikar
bergegas aku keluar
dari kamarmu yang sempit
kamarmu
yang amat sederhana
bergegas aku melangkah ke lorong-lorong sempit
di
atas jalan-jalan pasir tanah Madinah
mensedekahkan
dinar
yang sembilan
kepada
orang-orang
yang
sangat kausayang
orang-orang
miskin seperti kau
orang-orang
yatim seperti kau
dan demam itu demam yang pertama demam yang terakhir
bagi
Rasul terakhir
dan jam itu adalah detik penghabisan
bagi
Utusan Penghabisan
Muhammad
kau tak di situ lagi di tubuh itu
tinggal senyum di bibirmu
tinggal teduh di wajahmu
Rasulullah
miskin kau datang miskin kau pulang
bersih kau lahir bersih hingga detik terakhir
*
Husni Djamaluddin
Makassar, 28 Oktober 1979
#Ilustrasi's taken here
No comments:
Post a Comment