CERITA
PERJALANAN
-Bagian
1: Perjalanan Sendiri-
Kita tidak benar-benar sendiri
Ada yang selalu mengawasi
dan menjaga lewat manusia-manusiaNya
—tangan-tangan Allah yang bekerja*.
Jadi ceritanya begini. Saya, dari lahir hingga lulus SMA,
tidak pernah keluar dari Pulau Tidore (tidak pernah maksudnya tidak bermukim di
luar Tidore). Maka isi pikiran dan gambaran tentang hidup saat itu hanya
selebar Tidore dan sesempit layar televisi di ruang keluarga. Sampai suatu
ketika, di tahun 2007 silam, saya diharuskan melakukan perjalanan
Ternate-Makassar dengan kapal laut selama empat hari tiga malam, seorang diri.
Ya, tidak ada keluarga atau teman yang menemani. Demi mewujudkan cita-cita menuntut ilmu, saya memberanikan diri pergi sendiri. Saat itu harga tiket kapal cukup
menguras kantong, tiket pesawat apalagi.
Di Makassar akan ada kakak-kakak sepupu yang menjemput dan
‘mengurus’ saya, tapi empat hari tiga malam, saya mesti ‘mengurus’ diri sendiri.
Pertama kali keluar cangkang, saya harus berani. Saya sangat bersyukur pada
Allah, selama perjalanan waktu itu, saya dipertemukanNya dengan hamba-hambaNya
baik yang kemudian menjadi teman perjalanan. Berkat doa saya ditambah doa mama
dan papa di sujud-sujud mereka, saya tiba di Pelabuhan Soekarno-Hatta dengan
selamat. Akhirnya saya menginjakkan kaki ini di tanah Celebes.
Saya ingin ke Jawa. Itu yang ada dalam pikiran saya dari tahun
pertama hingga ke-tiga di Makassar. Sebenarnya sejak SMP hingga SMA, tujuan
lanjut studi yang sudah saya rancang adalah di Kota Malang. Ada UMM:
Universitas Muhammadiyah Malang, di sana. Namun rezeki saya ternyata berada di
Makassar (sampai sekarang saya masih bertanya-tanya, takdir apa yang
mengantarkan saya ke Makassar 0_0). Oleh karena keinginan berada di Malang itu
sudah lama ada di hati ini, maka dengan keberanian yang dipaksakan, saya
bersiap melakukan perjalanan lagi. Tujuan perjalanan adalah Malang, sepupu saya
kuliah di sana, ah... saya punya tempat menginap yang pasti dan aman. Maka
bersiaplah saya membeli tiket untuk sampai ke Surabaya dan lanjut ke Malang.
Ada dua pilihan berkendara saat itu: pesawat yang cepat tapi menguras kantong
atau kapal yang bisa dijangkau tapi memakan waktu 24 jam perjanan. Tabungan
untuk perjalanan saya saat itu sebenarnya cukup untuk membeli tiket pesawat,
tapi konsekuensinya: pergi bisa bernaung di samping sayap pesawat, tapi
pulangnya saya harus membuat sayap sendiri untuk terbang alias menjadi burung.
Wah! Itu tidak mungkin, kan? Maka dengan pasrah, saya membeli tiket kapal dan
berlayar menuju Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Sendiri lagi.
Akhirnya saya akan menginjakkan kaki di pulau Jawa, meski
baru di Surabaya. Selama 24 lebih berada di atas kapal antara Makassar dan
Surabaya, lagi-lagi saya mendapatkan pengamanan yang super. Dari siapa? Siapa
lagi kalau bukan Allah! Doa-doa yang kedua orangtua saya kirimkan tentu
didengar-Nya. Saya mendapat tempat yang baik dan sangat layak. Saya katakan
sangat layak sebab tiket saya yang bertuliskan economic class tapi saya dapat tempat di kelas wisata aka kelas III. Bukannya saya memanipulasi
tiket nih ya, tapi karena saat itu bukan musim liburan dan tiket pesawat sedang
murah-murahnya, maka penumpang kapal pun berkurang. Tempat di dek 5 milik Kelas
Wisata bisa dipergunakan penumpang kelas ekonomi sesuka-sukanya. Subhanallah...
Allah memang Maha Baik!
Oh belum selesai, ditambah lagi, pada waktu yang bersamaan,
di kapal itu ada satu kelompok seni asal Maluku Utara yang akan melakukan
perjalanan ke Bali sebab mereka akan pentas di sana. Maka saya yang awalnya
sendiri, akhirnya punya teman perjalanan. 24 jam lebih menjadi hidup. Tidak boring. Saya bisa berkeliling kapal,
naik turun dek satu sampai tujuh (ups! saya tidak jujur. saya belum pernah
sampai di dek satu dan dua, Teman, sebab penumpang dilarang masuk ke sana. Itu
area ABK. ^0^) tanpa khawatir barang saya akan kecurian karena ada yang
menjaga.
Tanjung Perak selalu ramai jika kapal sandar. Kurang lebih
pukul 11 pagi kapal yang saya tumpangi berlabuh di Surabaya. Saya tidak akan
seperjalanan lagi dengan teman-teman seni dari Ternate tadi. Mereka ke
Banyuwangi sementara Malang adalah tujuan saya. Turun dari kapal kami berpisah.
Saya lalu mencari agen travel yang akan membawa saya ke Malang. Saya tahu
prosedur mencari agen travel bakda turun dari kapal karena Imung CR7 (sepupu
saya di Malang) telah menjelaskan rute yang harus saya ambil untuk sampai di
Malang. Maka dengan memasang wajah sok tahu sok berani sok berpengalaman, saya
lalu berhasil mendapat mobil travel yang nyaman. Demikian memang ilmunya, jika
bolang seorang diri, jadilah orang yang sok tahu sok berani sok berpengalaman
supaya tidak nampak bodoh dan tidak nampak baru sehingga tidak kena tipu di
negeri orang! ;D
Saya tidak pernah bisa tidur jika berada di atas mobil
dalam sebuah perjalanan. Ada kerugian yang saya rasakan jika saya sampai
ketiduran. Saya akan kehilangan momen dan pemandangan yang pertama kali saya
lihat. Perjalanan Surabaya-Malang saya habiskan dengan ber-wah-wah-ria sambil
mengetik sms (mengabari keberadaan saya) ke tiga nomor wajib: Mama, Papa, dan
Max. Dengan mengabari keberadaan, saya merasa aman dan terjaga.
Saya suka pada perjalanan. Sangat! Perjalanan-perjalanan selalu
menghadirkan hikmah dan membuat saya takjub: betapa luas, betapa luarbiasa,
betapa keren bumi ini. Ketakjuban itu kemudian bermuara pada ketakjuban
tertinggi, betapa Maha Kuasa pencipta bumi ini: Allah SWT. Maka saya ingin
terus melakukan perjalanan, singgah di suatu tempat dan belajar di sana.
Keren
sekali ya hidup ini, Terimakasih Allah... :)
To be continued... (gak tahu kapan nulis lanjutnya. doain yooo...hihi)
*Digubah dari kata-kata Putu Wijaya di sebuah program TV di
TVRI bersama Slamet Raharjo (lupa nama program dan tanggalnya). “Manusia adalah tangan-tangan Tuhan yang
bekerja”.