SASTRA DAN IMAJI ; MERUBAH APA?
Oleh : Aida Radar*
Tanya itu sebenarnya telah mendera saya beberapa hari belakangan. Entah mengapa saya merasa dunia kecil yang baru serius saya geluti ini tak memberi sumbangsih dalam kehidupan di masyarakat. Bukan tanpa alasan rasa itu menyerang. Selama kurang lebih setahun lebih tergabung dalam sebuah komunitas tulis menulis, saya merasa tidak atau belum merubah apapun di sekitar saya. Dalam bentuk apa pun. Sementara kawan-kawan di sana telah banyak yang jadi ikon perubahan.
Hanya sekedar barisan-barisan kata saya yang setia mendiami sebuah blog pribadi. Itu pun tidak rutin di-up date. Sebuah blog yang hanya berisi ungkapan-ungkapan pengalaman biasa-biasa saja dari orang yang juga biasa-biasa saja. Maka bertanyalah benak ini, apa yang telah saya ubah?
Hingga dalam sebuah dudu bacarita dengan beberapa kawan, satu sindiran menohok saya. “Sekarang bukan lagi saatnya duduk dan merangkai kata-kata indah. Sekarang bukan lagi waktunya berkhayal-khayal. Tapi sekarang adalah waktu kita bergerak, melakukan perubahan dan berikan bukti nyatanya”. Sebagai orang yang mencintai dunia imaji tentu saya merasa tersindir. Saya tidak terima apa yang saya geluti dikatai seperti itu. Meski tak bisa saya pungkiri bahwa hal itu pula yang sementara membimbangi saya. Maka kembali tanya itu membayang. Tepatkah jalan yang saya pilih?
Walau perang pendapat menyesaki pikiran, saya coba membela diri. “Kata siapa sastra dan imaji tidak melakukan perubahan? Banyak kok bukti nyata perubahan itu.” Maka tak terelaklah saling beri argumen tuk perkuat sisi pemikiran masing-masing. Sempat pula seseorang dari mereka menyebut nama seorang pekerja dunia literer yang katanya sampai akhir hayatnya belum juga memberi bukti perubahan yang ia lakukan dengan kata-kata indah dan perenungan mendalamnya.
Masih tak terima idola saya disebut begitu, saya pun tetap bersikukuh dengan apa yang saya lakukan. Saya coba menjelaskan betapa penting dan perlunya sastra dalam segala aspek kehidupan. Walau saya sementara ragu dengan itu. Dan karena keragu-raguan itu, ditambah minimnya pengetahuan dan terbatasnya kemampuan otak, saya akhirnya kalah. Terkucilkan dari hipotesa-hipotesa mereka yang memang punya kemampuan otak advance. Meski sempat menukil perkataan Khalifah Umar Bin Khattab r.a ., “ajarkan anakmu sastra agar mereka menjadi bijak”, namun karena kemiskinan ilmu yang saya miliki, tersingkirlah saya dalam adu pendapat itu.
Pulang ke rumah, saya masih terus berusaha menemukan jawaban pertanyaan yang saya telah buat sendiri itu. Walau ada sedikit keraguan, tapi keyakinan masih mendominasi. Pikir saya pasti ada jawaban dari tanya itu. Karena jika tidak bagaimana mungkin orang-orang sastra dan imaji yang saya kagumi karyanya masih tetap bertahan dan setia dengan apa yang mereka kerjakan? Saya yakin ada alasan logis yang bisa menjelaskannya.
Malam telah lewati tengahnya. Namun mata saya belum mau juga mengatup. Masih menerawangi langit-langit kamar. Mencari-cari siapa tahu di antara plafon-plafon persegi panjang putih itu ada jawaban yang bersembunyi. Tapi lagi-lagi buntu. Tak ada clue untuk itu. Putus asa? Jangan ditanya. Malah saya hampir menyerah dan siap menerima pendapat kawan di dudu bacarita tadi.
Ketika hampir sampai di garis angkat tangan, saya terhenti. Berpikir sekali lagi dengan apa yang hendak saya lakukan. Menyerah??? Saya belum menemukan diri saya dalam kata itu. Sudah jauh saya melangkah dalam memilih dunia imajinasi sebagai bagian hidup, masa hanya karena belum temukan jawabannya saya langsung berhenti? Tidaaaaaaaaakkk....! saya tak boleh menyerah. Pasti saya dapatkan jawaban itu.
Maka saya kembali memutar otak. Menyusuri lembar-lembar aksara yang telah saya santap selama ini. Menyelami manuskrip-manuskip yang membawa saya memilih sastra dan imajinasi sebagai salah satu bagian hidup. Menyusun memori ilmu yang saya dapatkan dari diskusi-diskusi dan sekolah menulis di Forum Lingkar Pena Wilayah Sulawesi Selatan. Menukil berbagai teori-teori sastrawan dan pakar yang mumpuni. Dan akhirnya benang-benang kusut itu satu persatu mulai terurai. Pelan tapi pasti benang itu terlepas dari belenggunya. Membentuk helaian lurus dan rapi. Aha...! saya temukan jawaban tanya itu!
Senang. Bahagia. Lega. Longgar. Beban seberat seribu ton menggelinding. Terlalu jauh rupanya saya mencari jawaban itu. Melang-lang buanakan imajinasi sampai ke belahan bumi lain. Dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu sisi pemikiran ke sisi pemikiran lain. Namun ternyata semuanya memutar balik pada pengalaman sendiri.
Sastra dan imaji ; merubah apa? Jika ditinjau dari strukturnya, tak ada yang salah dengan pertanyaan itu. Hanya saja jika dilihat dari perspektif subyek yang ditanyakan, ada yang kurang di dalamnya. Jika yang ingin diketahui adalah fungsi dan tujuan sastra dan imaji, maka harus ada pertanyaan awal, “Sastra dan Imaji ; Merubah siapa?” barulah “Sastra dan imaji ; merubah apa?” karena karya sastra dan imajinasi adalah benda. Puisi, cerita pendek dan novel merupakan bagian dari karya sastra dan imajinasi yang tergolong dalam kata benda berwujud (concreate noun). Dan benda tidak bisa melakukan sesuatu kalau tidak ada yang menggerakkannya. Maka diperlukan subyek hidup untuk menuju ke “Sastra dan imaji ; merubah apa?”.
Sastra dan imaji ; merubah siapa? Manusia. Perubahan apa itu? Nilai, sikap, perilaku, karakter, cara pandang, cara berpikir, dan lainnya yang terdeteksi. Para sastrawan dan imajiner secara kasat mata memang tidak memberi bukti wujud atas perubahan yang mereka lakukan. Mereka hanya sekedar membuat karya. Perubahan itu akan mendapati sendiri orang-orang yang akan diubahnya.
Dari sekian ribu bahkan juta pembaca karya mereka, tak semua atau malah tak ada yang mengatakan “Saya mengalami banyak perubahan dalam hidup setelah membaca karya si Anu”, jika tidak ada yang bertanya karya sastra apa yang mendorong anda berbuat seperti ini dan seperti itu. Terlalu banyak dan memakan waktu yang tidak sedikit jika kita hendak menyisir siapa-siapa manusia yang merasa berubah nilai, sikap, perilaku, karakter, cara pandang, dan cara berpikir-nya karena sebuah karya sastra. Semua dikembalikan pada individu masing-masing. Apakah karya sastra merubahnya atau tidak? Itu saja. Sekhayal-khayalnya suatu karya, pasti ada nilai positif yang disisipkan pengarang di dalamnya. Itulah mengapa ia dikatakan karya sastra.
Para sastrawan dan imajiner memberi perubahan dalam bentuk fisik. Caranya? Mereka merubah manusia yang nantinya akan membuat perubahan dalam berbagai wujud. Mereka melakukan perubahan secara langsung pada pembacanya tapi tidak secara langsung pada bentuk fisiknya. Pembaca yang mengalami perubahan itulah yang nantinya memberi bukti wujud sesuai kualifikasinya.
Banyak tokoh-tokoh revolusioner Indonesia bahkan dunia yang mendapat faedah karya sastra dan imajinasi hingga mempengaruhi langkahnya. Ingin sebenarnya saya paparkan di sini. Namun karena keterbatasan wawasan tentang itu, saya hanya akan coba ceritakan tentang satu dari mereka yang pernah mata saya bersentuhan dengan kisahnya.
Andi Mapetahang Fatwa atau lebih dikenal A.M Fatwa, adalah seorang anak bangsa yang bangkit menentang pernguasa represif orde baru dan orde lama, yang kemudian dijebloskan ke penjara karena aksi itu. Tokoh yang mendapat penghargaan Pejuang Anti Kedzaliman melalui Kongres Internasional peringatan 30 tahun Revolusi Islam Iran yang kini menjabat wakil ketua MPR RI ini sangat menyukai buku. “Saya suka buku Tasawuf modernnya Hamka (akronim dari Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah), karena bukunya berupaya melakukan pembaharuan agama sesuai dengan perkembangan zaman. Tentunya dengan tetap berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunah.” Selain tasawuf modern, beliau juga memberi apresiasi pada novel fenomenal Hamka, Tenggelamnya kapal Van Der Wijck. Percintaan imajiner antara Zainuddin dan Hayati yang jadi fokus utama Tenggelamnya kapal van der wijck. Hamka menguraikan bagaimana mengelola perasaan, keteguhan dan prinsip yang seharusnya dipegang. “Itu penting untuk menjalin hubungan asmara secara terhormat. Tentu tidak boleh seperti fenomena sekarang. Pokoknya memberikan semangat. Dan itu yang mendorong saya untuk meninggalkan kampung halaman,” tutur tokoh asal Bone, Sulawesi Selatan ini. (Majalah Annida edisi Mei 2009).
Maka lihatlah bukti nyata perubahan cara berpikir dari mereka yang begitu menyukai sastra dan karya imajinasi. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah hasil perkawinan imajinasi dan nilai yang dikukuhkan sebagai karya sastra. Yang tetap menjadi rujukan bacaan mahasiswa di Perguruan Tinggi, khususnya di fakultas sastra, walau pengarangnya telah pergi menghadap Ilahi. Sebuah novel yang mendorong seorang A.M Fatwa meninggalkan kampung halaman dan mengejar cita-cita di tanah rantau karena semangat yang diberikan Hamka dalam karyanya. Jadi, masih ragukah saya pada sastra dan imaji? Dengan tegas saya ucapkan : TIDAK!
Benang merah (bukan benang merah yang sering diucap Ki Dalang Parto dalam Opera Van Java) Sastra dan Imaji ; merubah apa? ditemukan sudah. Kini kembali pada diri masing-masing, adakah perubahan positif yang didapat darinya? Jika ada maka lanjutlah menekuninya. Namun jika tidak, jangan ditinggalkan. Cobalah memahami. Suatu saat nanti kalian akan menemukan keindahan yang tersembunyi dalam dunia itu. Sementara bagi saya sendiri, syukur terpatri untuk mereka yang telah memperkenalkanku pada bidang ini. Meneguhkan saya untuk berkarya walau kecil bentuknya dan dalam berbagai keadaan. Hingga tanya yang muncul kemudian adalah “Aktivitas Kita; Merubah apa?” Wallahu’alam.***
2 comments:
aih panjang... tapi tulisan yang bagus, jawaban yang bagus untuk dunia penulisan yang kita cintai ini ukhty...
Salam ukhuwah
Tini
Iya, memang panjang ukh... ^_^
Tapi itulah isi hati z yang ingin z keluarkan biar lapang... ^_^
Yuph! Love Sastra so much...
Salam ukhuwah juga... :D
Post a Comment