SEORANG KAKAK:
MALAIKAT DI SEKITAR
“di
antara garangnya padang pasir, Dia pasti menciptakan oase; sesuatu yang tak
bisa dengan mudah ditemui di sejuknya daerah-daerah tropis.
(Aida
Radar)”
Saya
mengenal seorang kakak. Awal saya berjumpa dengannya saat baru saja menjadi
mahasiswa baru di kampus biru jalan Sultan Alauddin, Makassar. Waktu itu kami,
saya dan teman-teman baru di kelas, sedang menunggu dosen yang —karena pekan
pertama kuliah— banyak yang belum memasuki kelas kami. Pada masa menunggu itu,
seorang lelaki yang memegang sebuah buku masuk dan berjalan menuju ke meja
dosen. Saya dan teman-teman berpandangan dengan isi kepala kurang lebih sama, ada’mi dosen; dosen bukan ya? masih muda’ki? Ah, mungkin asisten dosen. Kami semakin yakin dengan
ke-dosen-annya ketika disuruhnya kami satu per satu maju ke depan kelas dan
memperkenalkan diri sebagai ritual wajib di awal perkuliahan. Maka majulah kami
dari alphabet A sampai Z untuk memperkenalkan diri.
Setelah
semuanya mendapat jatah maju ke depan, kami lalu menunggu lelaki itu
memperkenalkan dirinya. Seperti paham keinginan kami, ia lalu mulai berbicara.”
“Sebenarnya
saya bukan dosen.”
Uwauuuwauuuwauuu...
Sekawanan lebah masuk di dalam kelas. Kami saling berpandangan dengan mulut dan
mata penuh tanda tanya dan mulai ribut. Beberapa teman nampak marah, merasa
dibohongi.
“Iya,
saya bukan dosen. Saya mahasiswa seperti kalian. Mahasiswa di kelas ini. Saya berinisiatif
untuk memulai perkenalan supaya kelas yang kosong ini bisa dimanfaatkan untuk
saling mengenal antara kita. Terimakasih sudah memperkenalkan diri. nama
saya...”
Ia
memperkenalkan dirinya. Beberapa teman masih nampak bete’. Saya merasa lucu dengan ke-bete’-an teman-teman itu, sebab sejak masuk tadi tidak pernah
lelaki itu mengatakan dirinya sebagai dosen. Sangkaan kami-lah yang membuatnya
menjadi dosen dan tentu saja ia tidak boleh disalahkan atau dianggap berbohong
dengan sangkaan sepihak itu, kan?
Dari
perkenalan yang tidak biasa itu, kami semua di dalam kelas lalu menjadi teman.
Tak terkecuali kakak itu. Ia adalah mahasiswa dengan penguasaan Grammar Bahasa Inggris yang sangat baik,
hal yang menjadi esensi penguasaan 4 skills
dalam Bahasa Inggris. Hal itu saya ketahui setelah sering berdiskusi dengannya.
Ternyata dengan kemampuan itu, ia pernah menjadi pengajar di salah satu lembaga
kursus Bahasa Inggris di Pare, Kediri, yang terkenal sebagai Kampung Inggris di
Indonesia. Maka ia kemudian kerap menjadi tempat bertanya kami sekelas. Ketenarannya
dalam Grammar tak hanya di dalam
kelas kami, bahkan telinga senior dan pengurus himpunan mahasiswa Bahasa
Inggris di kampus juga dimasuki informasi tersebut. Namun hal itu tak pernah
membuat kakak itu merasa lebih dari kami. Saya paham betul tentang itu sebab di
kelas, di depan dosen, sepanjang beberapa semester, tak penah terlihat ia
mencoba dengan sengaja menonjolkan diri atau dengan sengaja mencuri subyektifitas
dosen. Ah, saya banyak belajar dari kerendahan hati kakak itu.
Dalam
masa-masa kuliah tak jarang saya mendapat cerita perihal pencapaian kakak itu.
Di sebuah lembaga kursus ternama di Makassar, di antara peserta ujian TOEFL yang
diselenggarakan, kakak itu mendapatkan nilai tertinggi dari peserta yang
berasal dari kampus-kampus negeri dan swasta di dalam kota. Wah, kagum sekali
saya mendengar cerita itu. Saat saya sampaikan apresiasi untuk nilai tertinggi
itu, ia hanya tersenyum dan mengatakan itu bukanlah hal yang patut dikagumi. Saya
benar-benar tidak menemukan kesombongan sedikitpun dalam nada bicaranya. Ah,
saya semakin banyak belajar.
Hari
berganti. Kalender berbeda gambar masjid beberapa kali turun dari tembok
asrama. saya berangkat dan pulang kuliah dengan semangat yang kadang hendak mencapai
langit, juga semangat yang kadang terjerembab jauh ke dasar lautan. Di
akhir-akhir semester dan sedang menulis proposal skripsi, saya dan seorang
teman tertarik untuk mengikuti sebuah program kursus dua bulan belajar Bahasa
Inggris di kampus di Amerika. Program yang dicanangkan sebuah lembaga
pendidikan Amerika yang ada di Indonesia. Program yang sangat terkenal dan
menggiurkan. Yeaaah, sebagaimana kita
ketahui bersama, setiap mahasiswa Bahasa Inggris pasti menyimpan angan untuk
bisa menginjakkan kaki di antara tiga negara: Amerika, Inggris dan Australia (masuk
pula New Zealand di sini), di mana orang-orang yang bahasanya sedang kami
pelajari, bermukim.
Hanya
saja saya punya masalah. Saya belum pernah ikut ujian TOEFL sebelumnya. Padahal
salah satu syarat mengikuti seleksi program itu adalah kepemilikan sertifikat
TOEFL ITP dengan skor minimal 450. Saya kebingungan. Namun hal itu tak berlangsung
lama. Saya dan seorang teman itu menemukan ide yang kemungkinan bisa menyelesaikan
permasalahan kami: Kakak berkemampuan Grammar
yang baik dan pemeroleh skor tertinggi ujian TOEFL. Kami memintanya menjadi
guru, mengajarkan kami cara-cara menghadapi dan menjawab soal-soal TOEFL.
Dengan beberapa kali bujukan, kakak itu menerima permintaan kami dengan syarat serius belajar! Kami dengan semangat
mengiyakan. Jadwal ditentukan Rabu dan Sabtu pagi, tempat belajar di pelataran
kiri masjid kampus.
Satu
hari setelah deal program belajar
TOEFL itu, kakak itu memberi saya soal-soal structure
dan written sections setebal kertas A4 dalam satu rim. Saya kaget luar
biasa. Kakak itu tidak main-main memulai program belajar kami. Antusiasmenya
mengalahkan antusiasme saya dan teman. Kami semakin terlecut untuk belajar.
Program
belajar berjalan dengan lancar dalam beberapa kali pertemuan. Saya dan teman
mulai mendapatkan gambaran dan trik-trik ujian yang akan kami ikuti. Rabu dan
Sabtu pagi setia menemani kami di pelataran kiri masjid kampus. Sampai suatu
hari saya dan teman saling menyampaikan ketidakenakan kami tentang kakak itu.
Bagaimana tidak? Program belajar kami ini sudah gratis, diberi pula bahan dan
soal-soal latihan TOELF tanpa ada uang kami yang keluar. Tak hanya itu, kakak
yang akan ke kampus hanya untuk urusan proposal skripsi, harus menempuh jarak
tidak dekat (dari sekitaran kampus di Tamalanrea ke Alauddin) dua kali sepekan
untuk mengajar saya dan teman, tanpa pernah meminta ongkos pete-pete yang dua kali diganti. Bagaimana kami tidak enak hati? Maka
kami berniat, dengan patungan, membelikan kakak itu sebuah baju koko.
Sebab
saat itu bulan Ramadhan, saya dan teman menuju ke Masjid Al-Markaz yang
halamannya menjadi pasar musiman, untuk membeli baju koko untuk kakak itu.
Sebuah upaya kecil kami mengurangi ketakenakan hati.
Pertemuan
belajar selanjutnya, setelah selesai belajar, saya dan teman memberikan baju
koko yang kami beli secara patungan pada kakak itu. Lama dipandanginya
pemberian kami, setelah sebelumnya menolak menerima. Pemberian itu ia terima
karena kami “mengancam” tidak mau melanjutkan belajar jika tidak diterima dan
dengan sebuah syarat: itu pemberian pertama dan terakhir kami padanya.
“Kak,
kenapa’ki tidak mau menerima
pemberian-pemberian selanjutnya?” Entah saya atau teman bertanya.
Lalu
kata-kata yang dikeluarkan kakak itu sesudah lama memandangi pemberian kami
tidak pernah bisa saya lupakan, “saya takut tidak bisa lagi ikhlas mengajar
setelah menerima pemberian ini. Saya takut nantinya saya mengajar hanya untuk
mengharapkan diberi ini itu. Saya takut sekali.” Seketika itu, saya dan teman
seperti kaku. Kami saling memandangi dengan mulut yang menganga dan mata yang
menyiratkan ketakpercayaan (ketakjuban). Ah, kami semakin, semakin belajar
banyak.
*
Sebagaimana
yang saya tulis di atas, setiap mahasiswa Bahasa Inggris selalu punya keinginan
sampai di negara-negara Native English.
Tak terkecuali kakak itu. Maka pada sebuah pertemuan belajar, pada kakak itu saya
tanyakan mengenai keinginannya pergi ke luar negeri.
“Kak,
kenapa’ki mau ke luar negeri?
Amerika? Inggris? Australia?”
Tanpa
pemaksaan atau tanpa dibuat-buat untuk mendapatkan kesan baik, kakak itu dengan
tenang menjawab,
“Saya..
saya ingin berdakwah.”
Seketika
itu, ingin rasanya saya membenamkan diri di bagian terdalam bumi. Saya, teman dan
beberapa orang yang saya kenal, yang selalu menggebu-gebu ingin ke luar negeri mungkin
untuk sebuah pembuktian diri, atau mungkin juga mengejar prestige duniawi —menaikkan gengsi karena pernah menginjakkan kaki
di negara adikuasa; sungguh merasa malu yang tak terkira pada kakak itu. Saya
malu sekali! Sungguh!
Oh
Allah, Engkau memang selalu punya cara memberi pelajaran dan penyadaran pada hamba-hambaMu
ini. Allahuakbar!
*
Kakak
itu, dari ceritanya, jika tidak bisa ke luar negeri, berniat masuk ke Mahad
Al-Birr (sekolah Bahasa Arab dan Pendidikan dakwah Agama Islam di dalam kampus
kami) untuk memperdalam ilmu Islamnya agar bisa bisa dikirim untuk berdakwah di
seantero Nusantara. Subhanallah. Kakak
yang baik hati, kakak yang sungguh rendah hati.
Sudah hampir satu tahun ini saya belum berkomunikasi lagi dengan kakak itu pascawisuda. Pernah beberapa kali saya mencoba menelepon dan sms, namun tidak ada respon. Mungkin ia berada di sebuah tempat yang tidak bisa dijangkau signal telepon genggam. Saya berharap dan berdoa pada Allah, di manapun kakak itu berada, ia senantiasa berada dalam lindungan dan Rahmah Allah. Juga suatu hari, terkabul keinginannya pergi ke luar negeri untuk BERDAKWAH. Amiiinnn...
3 comments:
Saya pernah dngar cerita ini lngsung dr teteh,,percaya atw tdak sosok kakak & ceritany slalu mnghiasi ruang pikiran sy ktika akan mlakukan sesuatu yg mnyangkut pendidikan. Bahkan prnah cari info dr seorang kakak yg katany kenal baik dng beliau tp tdak mnjawab rasa penasaran sy.
Iya, Ade. Kakak yang baik. Semoga bisa'q semua belajar dari karakter baiknya. Sama'q berdoa, semoga bisa'q Kakak itu ke luar negeri untuk tujuan DAKWAH yang diniatkannya. Amiiinnn...
I think I know him...
Hal yang membuat kita sadar bahwa ilmu itu tidak mengenal kata "sombong" dan semacamnya, karena memang kita tidal punya hak untuk itu.
Post a Comment