Wednesday, July 17, 2013

RECORDING A POEM





Suatu ketika saya terperangah pada sebuah puisi. Sakit. Demikian judul puisi itu. Karya seorang pujangga muda yang masih berseragam abu-abu di SMA Negeri 1 Pinrang, Sulawesi Selatan (no joking, he's still senior high). Seperti judul puisi itu, saat membaca satu kali —dari beberapa kali pembacaan, saya sedang sakit. Mungkin karena bersehadapan, saya terdiam lama di puisi itu, padahal sebelum-sebelumnya saya hanya merasa biasa-biasa saja membacanya. Ya, keadaan memang kerap membuat kita terperosok jauh ke dalam makna sesuatu hal dan membeku di sana.

Saya bukan pembaca puisi yang baik —yeah, saya tahu itu— tapi saya suka melakukannya, khususnya membaca untuk diri sendiri. Maka saya post-kan pembacaan puisi itu di sini. Hope you enjoy, Guys. ^0^v
(Klik senyuman itu untuk menuju ke audio)

SAKIT

Saya sakit dan mengucap alhamdulillah.
Sebab tak mampu menaiki kolosium dan melihat
dua ksatria saling beradu pedang yang mengkilat-kilat.
Saling tebas hingga tembus arteri satu sama lain.
Lalu setelahnya mereka tergeletak seperti mati.

Saya sakit dan lebih taat beribadah.
Sebab tak dapat kutekan tanah keperakan
yang berkuasa menggerakkan jet putih di layar kaca.
Silam waktu bila tertekan hingga bersenti-senti,
meluncurlah geyser susu dari liang-liang sembunyi
pada akhirnya.

Saya sakit lalu menangkupkan padang di wajah.
Sebab kurasakan jarak terpotong dengan Penjajahku:
Yang Memperhambaku. Seperti bintang; tak kurasakan
hangatnya tapi kulihat adanya.
Saat di hadap kaki-Nya,
aku tak berhak atas apapun.

Apapun.
*
—Muhammad Dirgantara, 2012

NB: Puisi ini termaktub dalam Buku Antologi Puisi Merentang Pelukan (Motion Publishing-Kata Bergerak, 2012)

 

No comments: