Suatu
ketika saya terperangah pada sebuah puisi. Sakit. Demikian judul puisi itu. Karya
seorang pujangga muda yang masih berseragam abu-abu di SMA Negeri 1 Pinrang,
Sulawesi Selatan (no joking, he's still senior high). Seperti judul puisi itu, saat membaca satu kali —dari
beberapa kali pembacaan, saya sedang sakit. Mungkin karena bersehadapan, saya
terdiam lama di puisi itu, padahal sebelum-sebelumnya saya hanya merasa
biasa-biasa saja membacanya. Ya, keadaan memang kerap membuat kita terperosok jauh
ke dalam makna sesuatu hal dan membeku di sana.
Saya
bukan pembaca puisi yang baik —yeah, saya tahu itu— tapi saya suka melakukannya,
khususnya membaca untuk diri sendiri. Maka saya post-kan pembacaan puisi itu di
sini. Hope you enjoy, Guys. ^0^v
(Klik senyuman itu untuk menuju ke audio)
SAKIT
Saya
sakit dan mengucap alhamdulillah.
Sebab
tak mampu menaiki kolosium dan melihat
dua
ksatria saling beradu pedang yang mengkilat-kilat.
Saling
tebas hingga tembus arteri satu sama lain.
Lalu
setelahnya mereka tergeletak seperti mati.
Saya
sakit dan lebih taat beribadah.
Sebab
tak dapat kutekan tanah keperakan
yang
berkuasa menggerakkan jet putih di layar kaca.
Silam
waktu bila tertekan hingga bersenti-senti,
meluncurlah
geyser susu dari liang-liang sembunyi
pada
akhirnya.
Saya
sakit lalu menangkupkan padang di wajah.
Sebab
kurasakan jarak terpotong dengan Penjajahku:
Yang
Memperhambaku. Seperti bintang; tak kurasakan
hangatnya
tapi kulihat adanya.
Saat
di hadap kaki-Nya,
aku
tak berhak atas apapun.
Apapun.
*
—Muhammad
Dirgantara, 2012
NB:
Puisi ini termaktub dalam Buku Antologi Puisi Merentang Pelukan (Motion
Publishing-Kata Bergerak, 2012)
No comments:
Post a Comment