KAPAN TERAKHIR SAYA MENULIS PUISI?
Bila menarik garis dari Pulau Weh sampai Rote, tidak ada
yang akan kamu dapati selain langit abu-abu yang menggantung di plafon kamar.
Seperti wajah bocah yang permennnya jatuh di sungai lalu disambar deras arus
dari hilir ke hulu.
”Jika ingin menggambarkan perasaan seperti itu, tulislah puisi.”
Puisi katamu adalah jantung yang berdetak setiap saat.
Puisi adalah kehidupan di antara napas yang kamu tarik. Manut. Saya lalu menulis puisi. Berlembar-lembar. Berhari-hari.
Berhamburan di mana-mana. Banyak sekali. Sementara jantung ini terdengar keluar
masuk, mengetuk-ngetuk sebuah nama. Pintu kamu biarkan tertutup saja.
Kita lalu merayakan kelahiran puisi-puisi saya dengan
gembira setiap hari.
Namun hari-hari belakangan kamu berjalan ke Timur dan saya
ke Barat. Dan di langit, tidak ada merpati yang berlalulalang. Saat itu juga hujan
turun deras sekali.
Tanpa perayaan-perayaan, saya lalu menjadi pelupa.
Kapan terakhir saya menulis puisi?
Apakah sejak Bandung Bondowoso tidak mampu membangun 1000
candi untuk Roro Jonggrang?
Ataukah di saat kamu tidak percaya bahwa langit juga ternyata
punya warna biru
—bahkan jika itu hanya ada di langit-langit kamar?
Kapan terakhir saya menulis puisi?
Saya rasa, puisi-puisi melarikan diri
bersama jejak sepatu yang saya hapus pagi itu.
*
—AR,Bdg.15.6.13;04:17pm.
#Ilustrasi diambil dari http://inaachik.blogspot.com/2012/05/kenapa.html
No comments:
Post a Comment