MUDIK
Sebentar
lagi agenda tahunan di negeri ini dimulai. Berita-berita di televisi dan
koran-koran akan mempunyai satu divisi khusus yang mengurusi agenda ini. Pulang
kampung, ternyata punya porsi besar selain pemberitaan korupsi di media massa
negara ini.
Sejak
dulu, waktu masih kanak-kanak yang terperangkap di sebuah pulau kecil di satu
wilayah Timur Indonesia dan belum pernah
melihat dunia luar secara langsung, saya selalu merasa berita mudik adalah
tontonan yang benar-benar tidak menarik. Jika berita di televisi mulai
memperlihatkan bagian akhir pemberitaannya dengan nama beragam (mulai dari
mudik lebaran hingga pulang kampung), saya otomatis langsung mengambil remote dan mengganti saluran televisi.
Aneh, mengapa orang begitu suka dengan rutinitas yang dikabarkan?
Yang
ada di berita mudik, kalau bukan macet dan penumpukan jumlah penumpang di
terminal, stasiun, bandara, atau pelabuhan; berarti kecelakaan lalu lintas.
Hanya berkeliling pada hal-hal itu saja. Namun tiap tahun euforianya ternyata
tidak redup-redup juga. Mengapa?
Sejak
menginjakkan kaki di tanah Makassar 2007 silam, saya jarang merasa ingin pulang
tiap Ramadhan hingga lebaran tiba. Meski awalnya proses adaptasi memakan waktu hampir
satu semester, akhirnya berhasil juga saya menguatkan hati jauh dari orangtua,
jauh dari rumah. Hampir tiap liburan semester, teman-teman sekampung banyak
yang pulang. Namun tidak dengan saya. Dalam pikiran saya waktu itu, buat apa
buru-buru pulang jika nantinya saat selesai kuliah saya akan pulang juga?
Mumpung ada di luar, menjelajah saja di banyak tempat. Karena pada waktu pulang
nanti, saya tentu tidak punya banyak kesempatan jalan-jalan lagi. Bagi saya,
komunikasi lewat telepon dengan orangtua telah sangat cukup bagi kabar yang
sering ditanyakan.
Itulah
mengapa, liburan ke rumah setelah kuliah, baru saya lakukan saat menginjak
semester lima. Setahun kemudian saya ber-Ramadhan dan lebaran di Malang. Di tahun
sebelum lulus kuliah, tunai Ramadhan di Makassar. Kemudian pascawisuda, sebagian
Ramadhan saya lewati di perjalanan-perjalanan dan di tiga kota di pulau Jawa.
Saya benar-benar memanfaatkan cara berpikir yang saya yakini itu. Dan saya puas
karenanya.
Pada
teman-teman yang keseringan pulang kampung, saya kerap menganggap mereka
cengeng. Apalagi pada mereka yang berasal dari daratan dan propinsi yang sama
dengan Makassar, ah betapa anak mami-nya.
Ramadhan—pulang, Lebaran—pulang. Libur semester—pulang. Libur sepekan—pulang.
Libur tiga hari—pulang. Ugh! Benar-benar menjengkelkan! Demikian isi pikiran
saya waktu itu.
Sampai
kemudian tibalah saya di Ramadhan tahun 1434 Hijriyah ini. Ramadhan kali ini
saya tidak pulang kampung lagi. Namun saya merasa ada yang aneh muncul tiba-tiba
dalam hati ini lalu menjalar ke pikiran dan bermuara pada aktivitas-aktivitas
yang terasa hambar. Telah setengah Ramadhan saya lewati di sini, di salah satu
sudut Kota Bandung (yang sangat ingin saya tinggali sejak lama dengan keyakinan
menjelajah dan merasakan berpuasa dan berlebaran di sebanyak mungkin tempat
selain Tidore), namun di tengah perjalanan di tempat ini, keyakinan yang saya
pelihara itu terasa melumer begitu saja. Saya kangen rumah. Saya ingin pulang,
ke Tidore. Sayang, tahun ini saya harus memendam keinginan itu dulu.
Saya
tidak paham apakah bertambahnya usia membuat rindu pada kampung halaman muncul
dengan jumlah maksimal di setiap kelahirannya—bahkan tumbuh dan berkembang
pesat? Saya tidak berniat juga membuka-buka halaman buku psikologi untuk
menelusurinya (namun kalau ada yang mau memperlihatkan teorinya, saya tidak
keberatan membacanya). Yang ingin selalu saya lakukan adalah menelepon ke rumah
sebanyak jadwal makan di bulan puasa, setiap hari. Sebab beberapa hari
belakangan, di Ramadhan yang cepat sekali berjalan di akhir angkanya, rasa
ingin sekali bertemu mama, papa, adik-adik, kakak-kakak, om-om, bibi-bibi,
menjadi sedemikian besarnya.
Kini
saya tidak memandang sebelah mata lagi pada rutinitas yang kerap diberitakan televisi
setiap hari raya akan tiba. Saya paham, mudik atau pulang kampung atau entah
apa lagi frase yang mewakilinya, hanyalah sebuah upaya manusia mengobati rindu.
Meski macet berpuluh-puluh kilometer siap menghadang, meski berdesak-desakan di
perjalanan, meski harga tiket melambung tinggi —imbas naiknya harga BBM, meski
tiap tahun grafik angka kematian di laporan operasi ketupat di komputer pak
polisi bagian lalu lintas terus merangkak naik, hal itu bukan alasan menyiutkan
nyali pemudik. Justru sebaliknya, jumlahnya malah merangkak naik terus menerus.
Mengapa? Karena orang yang punya rindu sebesar dunia hanya peduli pada satu
tujuan: pulang, bertemu keluarga dan berbahagia. Begitu saja.
Ada
banyak cara mengekspresikan rindu.
namun
saya tidak pernah tahu,
ada
yang lebih baik selain bertemu.
Mereka
yang tidak pernah merantau,
tidak
akan pernah tahu itu.
*
—AR,Bdg.26.7.13;02.02pm
#saat
menulis ini, rasa kangen saya semakin menjadi-jadi pada pulau kecil itu; pada speedboat-speedboat yang lalu lalang
antara Ternate dan Tidore; pada jalanan yang lebih sering lengang; pada pasar
kue yang sangat ramai ba’da Dzuhur hingga waktu berbuka shaum; pada adik-adik
yang menemani jalan-jalan sore; pada kemunculan matahari pagi di atas Pulau
Halmahera yang suka saya tunggui di dermaga pasar ikan Goto; dan terlebih, pada
dua wajah yang selalu hangat, yang senang berbagi canda, cerita dan nasehat di
meja makan. :’(