Monday, April 04, 2011

KESEPAKATAN!


TIFUS DAN OMELAN TEMAN-TEMANNYA


Setelah terbaring dengan aktivitas anggota tubuh yang terbatas lebih dari satu pekan, Saya mulai paham dan pelan-pelan menghilangkan egoisme yang demikian besarnya menguasai diri selama ini. Dalam kondisi yang tak sehat ini ternyata Saya punya banyak waktu untuk bermuhasabah, berbagi kisah, menumpah terima keluh kesah masing-masing, mengangguk dan berjanji tak akan seegois dulu lagi dengannya. Ya, ia (dan mereka), yang selama ini tanpa Saya sadari, telah terdzalimi karena Saya. Kala suhu panas tubuh Saya meningkat di pagi dan senja menjelang malam, ia mulai berbicara. Ia mulai dengan nasehat sampai kemudian Saya dapati ia kecapean karena mengeluarkan energi yang begitu banyak setelah menaikkan pitamnya tadi.

Kan sudah Aku bilang, kerja ya kerja, tapi perhatikan juga kesehatanmu. Lihatlah! Sekarang kalau kausakit seperti ini apa enak?! Hah!? Mulutku ini tidak tahu sudah berapa kali berbusa demi mengingatkanmu agar jaga makan, istirahat cukup, jangan forsir tenaga, kalau tak kuat kerja lagi, minta bantuan orang lain. Sifat tak enak merepotkan orang lain itu jangan kaukembangbiakkan! Guna kauambil bagian dalam masyarakat sosial itu ya kalau kaubutuh bantuan, tanyalah oranglain untuk membantu. Kaupikir kau demikian hebat hingga bisa menyelesaikan kerja-kerjamu itu seorang sendiri?!”

Saya hanya diam. Menekuri kata-katanya (repetannya) dalam sesal sambil mencoba memenggal gigil yang mendera-dera.

Oke. Aku masih bisa memaafkanmu karena menyakitiku selama ini. Kautahu, setiap kausibuk (sok sibuk sepertinya), Aku selalu merasa sangat capek, lelah. Pernah, tak bisa Aku gerakkan beberapa bagian diri karena tak pernah kauistirahatkan barang satu jam saja. Oh ya, pernah pula kau jatuhkan aku di tangga asrama waktu kau terburu-buru ke kampus karena HP-mu tak henti-hentinya berdering memintamu segera memimpin rapat. Aku hampir komplain padamu ketika itu, tapi kemudian melihatmu begitu gelisah dengan kesibukanmu (yang sok sibuk) di lebih dari dua tempat yang tak kunjung memberimu ruang untuk menutup mata dengan sempurna tiap malam, niat protes kuurungkan. Tak mau kutambahi lagi gunung yang hampir meletus di kepalamu dengan tambahan material yang memberatkan. Jadi kusabar-sabarkan sajalah keadaaan diriku ini. Kukuat-kuatkan tenagaku yang penuh bekas luka ini.

Saya menunduk. Menjepit bibir bersama pandangan mata tanpa cahaya. Tak sedikit saya akui rasa ingin menang sendiri itu. Saya tidak berani angkat bicara. Saya tahu masih banyak perihal yang belum ia hempaskan. Saya diam saja. Menunggu.

Sekarang, Aku tak mau mengadili apa dan siapa. Semuanya sudah terjadi. Kausudah kena akibat perbuatan kurang baikmu padaku. Kautelah terima sakitnya di dirimu (walau toh sakit itu juga merajaiku kini). Tapi setidaknya, ada hikmah yang bisa kaucokolkan dalam hari dan kepalamu tentang hal ini. Namun, Aku ingin minta tolong padamu, beristirahatlah. Aku tak memintamu menyudahi agenda-agenda yang telah kaususun di buku tebal biru tua itu. Aku hanya memintamu kurangi sedikit jam operasionalnya. Tak perlu sampai limapuluh persen kaupenggal waktunya, cukup duapuluh lima bagian saja. Yang penting adalah kesempatan bagiku untuk meluruskan punggung barang satu jam setiap siangnya. Oh kalau terlalu tinggi permintaan itu, tak usahlah selalu punggung diluruskan saban siang, ditekukpun tak apa, asalkan jangan kaupekerjakan dahulu aku biar dua jam saja. Ah, satu jam saja sudah cukup kok. Ya?

Saya ingin menangis mendengar permintaannya. Sesungguhnya, repetannya itu tak hanya berfaedah baginya saja, tapi Saya juga pasti akan kena kebaikannya. Tapi sejauh ini Saya kurang peka (sejatinya peka tapi tak ambil peduli) terhadapnya. Dalam pikiran Saya, ia tentu mesti patuh dan taat pada segala apa yang Saya perintahkan. Tak Saya pedulikan, jikalau dalam diri Saya ini, ada hak-hak lain yang tidak boleh Saya anggap angin lalu. Saya kuyu. Saya malu.

Dan juga, kaukonsumsi pula vitamin (multivitamin) untuk memulai hari kerjamu. Itu baik untuk menjaga stamina dan kondisi tenagamu, juga aku. Begitu saja.
Oh iya satu lagi, temanku di jawatan kepala, yang karenanya kaubisa memandangi cahaya dunia selama ini, menitip pesan padaku, untukmu. Katanya, ia cukup terganggu dengan dua lensa yang kaupasangkan di depan jalannya. Ia pernah kewalahan menerima beban gagangnya yang kaugantungkan di dua daun yang ada suara keluar masuk darinya. Tapi sekarang ia mahfum sudah. Karena telah terlanjur, mau diapa lagi, katanya. Hanya saja ia memintamu agar tolong jangan kautambahkan beban lensa itu lagi, ya? (kauharus tahu kalau ketika ia mengatakan ini wajah memelasnya sangat nampak). Ia sangat jengkel saat bercerita, kau menggunakannya untuk membaca buku dalam gelap malam tanpa listrik yang menerangi. Ia memasang senter yang ada di HP-nya di atas jidat, di antara kepala dan jilbabnya agar cahaya senter mengenai isi buku ketika ia menunduk padanya. Kemudian ia menekuri buku 300 halaman lebih itu sampai habis dalam keadaan itu. Dapat kaubayangkan betapa perih dan hampir berairnya aku pada masa itu. Demikian ceritanya padaku.

Pandangan Saya berkunang-kunang. Senja telah turun dan telah naik kembali. Payung jingga merambat hitam. Cericit burung dara berpendar-pendar dan berlalu. Panas masih merayapi jidat, dingin naik melalui tiap ujung jemari kaki-kaki. Tifus benar-benar mematikutukan Saya.

Astaga, terlalu banyak menuntutkah Aku? Maaf. Sudah. Berehatlah. Jangan dulu kaupikirkan kata-kataku tadi. Gampanglah impelementasinya kalau kausudah sembuh. Istirahatlah... Cepat sembuh yaaa... ^_^

Saya tahu iya menyayangi Saya. Ia muntab tadi sebagai bukti sayangnya itu. Suhu badan Saya masih panas, kaki Saya masih dingin, tapi hati Saya menghangat. Saya tidur dengan dengan janji yang terikat di jemari kelingking. ^_^

***

Aspuri Malut Makassar, March 26, 2011
Pukul 15.11 (Ketika Adzan Ashar akan masuk)

No comments: