Akhir yang indah seorang hamba
Oleh : Ummu S.A.R Badar
“Kodong”, itulah kata yang keluar dari mulutku dan beberapa penumpang pete-pete (baca ; Angkot) kampus unhas 02 arah veteran lainnya. Kami masih memandangi ibu dan anak yang turun dari pete-pete dan mulai menyeberangi jalan yang padat dengan kendaraan yang berlalu lalang. Air mataku hampir saja menggenang tapi langsung kuseka dengan tisu ditanganku. Salah satu pemandangan yang menyedihkan diantara Pemandangan yang sangat menyedihkan lainnya di kota besar seperti Makassar.
***
Hari ahad ini adalah untuk kedua kalinya aku bertemu dengan mereka. seorang ibu yang sudah renta dan anaknya yang cacat fisik serta mental. Aku pertama kali bertemu dengan mereka ketika hari pertamaku masuk kampus sebagai seorang mahasiswa pada Ahad lalu. Ditengah terik matahari kota Makassar yang membakar aku menunggu pete-pete 02 arah veteran dengan gelisah sambil melirik jam di HP nokia 6310-ku yang sudah mulai kabur layarnya, HP kesayangan. Pukul 13.06 WITA, 24 menit lagi kuliah perdanaku dimulai, sementara waktu yang kutembuh untuk mencapai kampus kurang lebih 30 menit itupun kalau tidak macet atau sang supir kena penyakitnya, menunggu penumpang. Aku mulai panik ketika jam di HPku kini berganti dari angka 13.06 menjadi 13.15. Sebagai mahasiswa baru tentu saja bayang-bayang dosen killer yang jahat mulai menguasai isi kepalaku.
“aku pasti dihukum,” gumamku “dosen Agama Islam dan kemuhammadiyaan pasti mencapku sebagai mahasiswa tidak disiplin. Ya Allah mengapa ini terjadi pada sejarah kemahasiswaanku,” gerutuku lagi.
Akhirnya setelah hampir setengan jam menunggu, pete-pete yang kuharapkan muncul dari jauh.
“itu dia!!!” seruku girang.
Setelah menyetop dan naik ke pete-pete, aku melap peluh yang bercucuran hingga menghapus bedak diwajahku dengan tisu yang telah hilang wanginya. Belum lama berjalan, supir pete-pete berhenti lagi, tepatnya didepan SDN Bawakaraeng.
“datang lagi penyakit si supir,” rutukku jengkel.
Kuperbaiki letak dudukku karena ada penumpang yang naik, kami harus berdesak-desakan karena memang pete-pete kampus 02 ini agak langka sehingga banyak peminatnya.
Tiba-tiba rasa jengkelku hilang ketika Dari dua penumpang baru yang naik, ada seorang ibu menggendong anaknya yang hampir sama besar dengannya. Jika kutaksir umur anak sang ibu kurang lebih 25-30 tahun. Hal itu dapat kulihat dari wajah sang anak yang memang sudah berwajah dewasa. Namun Kondisi fisiknya sangat memprihatinkan, kedua tangan dan kakinya kecil seperti bayi yang berumur 1 tahun, sementara bentuk kepalanya besar melebihi bentuk kepala manusia normal. Mulutnya terus saja terbuka sehingga air liurnya tak henti-hentinya merembes keluar. Sang ibu lalu membersihkan mulut anaknya dengan sisa kain yang dipakai untuk menggendong buah hatinya tersebut dengan penuh rasa sayang sambil tersenyum kearah kami. Semua perhatian penumpang lama tertuju pada keduanya dengan wajah prihatin.
“bisa geser sedikit kesebelah dek’, saya mau duduk disini,” kata sang ibu padaku sambil menunjuk tempat dudukku yang tepat berada di samping pintu angkot.
“iye,” balasku sambil menggeser posisi dudukku kekanan sehingga sang ibu dan anaknya bisa duduk dengan leluasa.
***
Sepanjang perjalanan kami membisu, dua penumpang yang duduk di pojok yang sejak aku naik tadi terus berkicau dan membuat telingaku panas kini tidak lagi melanjutkan acaranya. Mereka diam dengan ekspresi yang sama denganku sambil sesekali mencuri pandang kearah sang ibu dan anaknya. Aku bahkan sudah lupa pada dosen killer hayalanku yang akan menghadang didepan pintu ruangan kelas pertamaku. Hatiku perih melihat pemandangan disebelahku, aku teringat wanita yang menghadirkanku ke dunia di Tidore sana, umur ibu kira-kira hampir sama dengan ibu disebelahku. Ah, apa yang ibu lakukan sekarang ya???
“kiri depan ya pak !” seru sang ibu membuyarkan lamunanku.
Ternyata sang ibu turun di veteran selatan. Dengan susah payah ia turun dari pete-pete sambil membenahi kain yang dipakai menggendong dan merapikan jilbab lusuh coklat yang warnanya telah pudar. Dengan langkah gontai karena memikul beban yang begitu berat, kulihat wajah sang ibu sedikit meringis namun tak mengurangi cepat langkahnya menyeberangi jalan. Sepanjang sisa perjalan ke kampus, aku terus memikirkan ibu anak tadi. Apakah mereka punya keluarga?? Apa yang mereka lakukan di SD ini? Mengapa hanya hari ahad aku menjumpai mereka? Berbagai pertanyaan bermunculan di kepalaku, membuatku penasaran dengan kehidupan dua sosok yang mengiris hati tadi.
***
“ Astagfirullah !!!” teriakku dan langsung melompat bangun dari tempat tidur “ aku terlambat lagi, 15 menit lagi kuliahku mulai. Dasar sial, inilah akibatnya kalau suka menunda-nunda membuat tugas. Akhirnya besok dikumpul baru malamnya sibuk buat tugas sampai waktu subuh menyapa,” rutukku mengambil perlengkapan mandi dan bergegas turun mandi. Namun belum sampai didepan pintu HPku memekik. Dari teman kelasku, wei maumi masuk dosen, dimanako?.
“ Huh,,, pasti tidak sempat,” ucapku lemas “ daripada nantinya uangku terbuang percuma mendingan aku tidak usah ke kampus hari ini,” ujarku sambil meletakkan kembali perlengkapan mandiku.
Tapi mataku tertuju pada novel Ayat-ayat Cinta karangan Habiburahman El Sirazy yang sudah kubaca lebih dari 10 kali. Aku ingat sepenggal kalimat ketika Fahri, sang tokoh utama mulai merasa malas tallaqi ditengah panas kota mesir. Namun dia cepat sadar bahwa kehadirannya di negeri para nabi ini adalah amanat, dan amanat akan dipertanggungjawabkan kelak. Baik kepada Allah maupun kepada orang tua. Maka kalau tidak ingat bahwa kehadiranku disini telah mengeluarkan biaya yang cukup besar........ Dan akhirnya aku sadar
“aku harus ke kampus,” ucapku bersemangat. 15 menit kemudian aku telah berada didalam pete-pete, 02 andalan.
***
“Saya ikhlas menerima cobaan dari Allah dek’ walaupun orang-orang mengatakan Aril saya anak pembawa sial, tapi dia tetap anak kesayangan saya,” cerita sang ibu ketika hanya tinggal aku dan mereka didalam pete-pete. “ kami tidak punya keluarga, ayah Aril meninggal waktu mencari bidan ketika saya mau melahirkan Aril. Lalu 2 hari kemudian rumah kami digusur paksa dengan alasan tidak mempunyai izin. Jadi orang-orang mulai mencap Aril anak pembawa sial. Setiap ahad di SD bawakaraeng saya bekerja, bersihkan WC dan seluruh bagian sekolah, Aril saya taruh di ayunan dibawah pohon mangga selama saya bekerja. untung dia tidak rewel, kayaknya dia tahu kalau ibunya orang susah,” lanjutnya berurai air mata.
Mataku berkaca-kaca mendengar cerita sang ibu yang sebelumnya memperkenalkan diri bernama ibu Aminah. Aku mendapatkan pelajaran yang berharga dari ibu Aminah tentang keikhlasan seorang hamba menerima cobaan dari Rabb-Nya. Mulai saat itu aku selalu bercerita dengan ibu Aminah setiap kali aku ke kampus pada hari ahad.
***
Sudah lebih dari 3 ahad aku tidak berjumpa dengan mereka. Didepan SDN bawakaraeng pete-pete berhenti. Beberapa penumpang berebutan naik, tapi aku tidak menemukan dua sosok yang pernah kutemui sebelumnya. dimana mereka? Biasanya mereka selalu naik pete-pete ini, tanyaku dalam hati sembari celigukan mencari. Selama perjalanan pikiranku masih diliputi pertanyaan seputar sang ibu dan anaknya. Rasa penasaranku mengenai keadaan mereka akhirnya memaksaku untuk mencari tahu alasan mengapa aku tidak lagi menjumpai mereka selama 3 minggu belakangan ini.
Setelah lama bergulat dengan sisi lain pikiranku akhirnya aku memutuskan untuk berhenti ditempat sang ibu dan anak biasanya turun. Sebelum menyeberang aku mampir sebentar membeli 2 kilo apel pada pedagang kaki lima sebagai buah tangan bagi mereka. Setelah membayar aku lalu menyeberang jalan dan menyusuri lorong yang dilewati sang ibu yang telah kuperhatikan selama ini. Tapi setelah melewati daerah pantauanku, aku bingung kemana arah selanjutnya. Akhirnya kuputuskan bertanya pada preman yang mangkal dipinggiran lorong yang sejak tadi memasang muka perang.
“ tabe daeng, numpang Tanya,” ujarku sedikit ketakutan “ kita tahu rumahnya ibu Aminah ? saya sudah mencarinya dari tadi tapi belum ketemu juga,”. Ujarku sopan.
***
“disinilah rumah mereka,” ujar daeng Tira sang preman sambil menunjuk dua gundukan tanah yang sudah mulai mengering bertuliskan nama ibu Aminah dan Aril di masing-masing nisan.
Aku terpana, air mataku keluar tak tertahankan. Dua kilo apel yang kubeli sebagai buah tangan untuk ibu Aminah dan Aril jatuh dari genggaman.
“mereka meninggal hari jum’at 3 minggu lalu didalam gubuknya karena tak sempat menyelamatkan diri dari kebakaran. Mereka meninggal sambil berpelukan dan tersenyum. Tidak ada bekas terbakar ditubuh mereka. Kata pak polisi keduanya meninggal karena kekurangan oksigen., kodong,,,,, kasihannya ibu Aminah. Beliau sering memberikan saya makanan walaupun hanya sedikit makanannya. kenapa orang baik cepat sekali matinya,,,” lanjut preman Tira dengan wajah sendu.
Ternyata Allah begitu menyayangi mereka sehingga Allah memanggil keduanya ke pangkuan-Nya yang abadi sehingga mereka tidak perlu lagi melawan kerasnya dunia. Aku bersyukur dipertemukan dengan wanita tegar seperti ibu Aminah. Sebuah potret hamba yang ikhlas menerima cobaan Rabb-Nya. Akhirnya ibu Aminah dan Aril dapat lulus dari ujian Allah dan kembali dengan tenang. Sebuah akhir yang indah dan patut dijadikan contoh.
***
Maccini, 01.42 WITA
18 Ramadhan 1429 H.
*Anggota Forum Lingkar Pena Sulsel & HIPMIN Makassar
No comments:
Post a Comment