Kita sebetulnya tidak sedang menulis kata-kata.
Kita menulis rasa.
Saat kamu marah lalu menulis, kata-katamu akan menunjukkan sejauh mana kemarahanmu melambung. Apakah hanya sampai di ubun-ubun, ataukah telah tiba di puncak tertinggi di Himalaya?
Juga saat bersedih dan bahagia.
Semuanya terbaca jelas dalam tulisan-tulisan, dalam kata-kata jika kamu menuliskannya.
Saya sedang mencari-cari tahu:
Apa, di mana, bagaimana jalan pintas yang dilalui hingga segala yang terasa di hati bisa dengan begitu cepatnya, bahkan sebelum mata berkedip, sampai ke otak (pikiran) di kepala kita?
Organ-organ dalam tubuh kita ini terlalu mengagumkan. Tentulah lebih mengagumkan dari puisi pertama yang terbit di koran nasional, kan?
Lalu saya sampai pada pemikiran:
kata-kata yang saya (pernah) tulis selama ini, sudahkah disebut rasa yang terhubung padamu?
Apakah kamu membaca?
Aih, apa saya bilang? Rasa itu rumis sekali!
Untunglah... Allah kita yang Maha Baik juga menciptakan kata-kata sebagai jalan keluar, sebagai penyeimbang bagi kerumitan-kerumitan di dalam rasa.
Hingga setidaknya rasa punya tempat untuk berlindung
(atau bersembunyi?).
Sepanjang hari ini hujan turun tak henti-henti.
*
—AR,Bdg.12.1.14;10:11pm
No comments:
Post a Comment