KATA-KATA MUTIARA IMAM SYAFII'
Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang
KATA-KATA MUTIARA IMAM SYAFII'
Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang
KARYA FAHD DJIBRAN
Cetakan Pertama, Agustus 2010
Sesungguhnya isi buku itu adalah sebuah surat. Saya tidak akan membahas panjang lebar mengenai isi bukunya. Akan ada kebaikan tersendiri ketika Kau menekuri sendiri buku itu. Saya yakin, Kau akan merasakan sensasi atau atmosfir yang saya rasakan pula —sebagai manusia yang menapaki proses ‘pencarian’ jika itu posisimu kini. Saya berulang kali tersedu, bahu mengguncang bersama airmata yang tumpah, di beberapa bagian surat yang membuka cakrawala pemikiran dan menambah rasa CINTA yang luar biasa pada Muhammad Rasulullah.
Buku —surat itu, ditulis seorang non Muslim kepada kekasihnya bernama Azalea, yang mengungkapkan secara mengagumkan akan sosok Muhammad SAW, sesosok manusia bermandikan cahaya yang ditemuinya dalam sebuah mimpi. Mimpi yang tidak pernah bisa ia lupakan, bahkan hingga dua tahun kemudian, di masa ‘pencarian’nya. Sejujurnya, membaca buku/novel/surat ini, selain menangis dalam tataran tertinggi, membuat saya merasakan MALU yang luar biasa! Seperti apa yang ditulis Fahd Gibran (Sang Penulis) di halaman 171-172:
“......bagiku surat itu sudah menjadi semacam tamparan. Bila kita tanyakan pada teman-teman kita yang Muslim, pernahkah mereka membaca kisah hidup Muhammad Sang Nabi, Sirah Nabawiyah? Sangat bisa diduga kebanyakan dari jawaban mereka adalah: tidak. Atau bila pernah, sejauh mana kisah-kisah itu mempengaruhi hidup mereka, menginspirasi mereka, “menggerakkan mereka? Apa yang mereka tahu tentang Muhammad Rasulullah? Kenalkah mereka pada Muhammad Sang Nabi? Bagaimana cara hidupnya. Apa visinya tentang kemanusiaan? Apa pendapatnya tentang kebaikan dan perdamaian? Apakah mereka tahu? Sungguh, surat itu membuat kita malu. Betapa jauh kita dari pengetahuan, pemahaman, penghayatan, dan pengalaman tentang Muhammad.
Kita tidak mengenal sosok Muhammad, maka kita gagap mencontoh akhlak-nya yang agung. ......”
Setelah mengungkapkan hal ini, Fahd menuliskan sebuah puisi yang ditulis Camelia Bader yang berjudul Aku Ingin Tahu. Sungguh, saya benar-benar ditampar keras dengan puisi saduran itu.
Saya pernah memosting tulisan yang tak bersumber yang saya temukan di file pemberian seorang Kakak di blog ini tiga tahun silam, yang maksudnya sama dengan puisi itu. Silakan klik: http://aidarahmanbadar.blogspot.com/2008/12/andai-rasulullah-bertamu-ke-rumah-kita.html.
Apakah kau sedang merenungi kata-kata di tautan itu?
Dari tiap lembaran buku Menatap Punggung Muhammad , saya membaca dengan getaran yang sulit dibahasakan. Getaran campuran antara sedih, bahagia, malu, cengang, dan entah apa lagi. Saya bahkan melupakan rasa lapar —yang semestinya belum boleh saya rasakan karena sedang dalam proses melenyapkan Magh yang menyerang perut sebulan belakangan. Surat di dalam buku itu begitu indah. Saya, pembaca, yang bukan Azalea sebagai seseorang yang surat itu ditujukan, terhanyut dalam. Lantas bagaimana dengan Azalea? (Entahlah! Saya belum mengenalnya. Mungkin suatu saat nanti saya akan Allah pertemukan dengannya.) Namun, dari penuturan Fahd, Azalea dilema mendapati surat itu. Tapi saya mengharapkan ia tetap melanjutkan hidupnya dengan seseorang yang mengimami sholatnya, yang sudah barang tentu bukan Si Penulis Surat.
Saya pernah membaca Sirah Nabawiyah (ketika masih eSeMPe) milik kakek yang diwariskan pada ayah. Sirah itu diterbitkan pada masa ketika kaki-kaki penjajah sedang mencaploki Negara Indonesia kita, hingga memakai penulisan ejaannya Bahasa Indonesia lama dan kualitas kertasnya di bawah rata-rata —nyaris coklat (Saya tidak mengingat lagi tahun terbitnya). Beranjak eSeMA, saya kembali membaca Sirah, namun terbitan baru di tahun itu karena Ayah membelinya. Saya membaca dan mencoba memahami setiap langkah hidup Nabi Tercinta. Memasuki bangku kuliah, saya juga membaca Sirah di perpustakaan miliki Provinsi Sulawesi Selatan yang letaknya tepat di depan kampus biru saya. Selain itu, Saya juga membaca kepingan-kepingan kisah Rasulullah lewat berbagai artikel, esai, buku baik yang menyata di tangan atau via internet. Saya pun membaca kisah Sang Nabi lewat novel karya Hisani Bent Soe yang berjudul “Pengikat Surga”. Di “Pengikat Surga” Mbak Hisani menjadikan Asma putri Abu Bakar r.a. sebagai pencerita, meski secara keseluruhan isi novel, Asma banyak menceritakan perjuangan Sang Nabiyullah.
Di sederet kisah Nabi yang pernah mata saya tekuri, saya merasakan keharuan, kecintaan dan kegetaran. Namun, Sewaktu mengikuti surat yang ditujukan untuk Azalea di Menatap Punggung Muhammad, saya merasakan —yeah, seperti yang telah saya tuliskan sebelumnya, KEGETARAN YANG SULIT UNTUK DIBAHASAKAN! Saya seperti berada di sebuah tanah lapang yang rerumputan hijau tumbuh dan menyegarkan mata hingga ke batas pandangan mata. Saya menemukan sahabat di masa ‘pencarian’ yang masih terus melakukan ‘pencarian’nya. Allahumma Salli Wa' Salli A’la Muhammad.
Saya tidak sedang menjadi pengiklan atau perayu yang ingin mempengaruhi pikiranmu dengan pendapat saya mengenai isi buku/novel ini. Saya hanya ingin berbagi. Menyampaikan apa yang saya baca dan saya rasakan dan resapi manfaatnya, dengan harapan jika Kau tertarik dan membacanya (dengan memiliki atau meminjam) Kau pun mendapatkan sisi positif yang sama.
Sebelum mengakhiri bahasan tentang buku ini, saya hendak mengutip beberapa kata atau bagian buku (halaman 8 sampai 15) yang menggetarkan itu:
...................
Seperti tak pernah ada keputusan yang sempurna, Azalea,
tak pernah ada surat yang sempurna.
5.
Jadi, kemana saja aku selama ini?
Kemana saja aku selama ini? Aku juga tak bisa menjawabnya dengan pasti, Azalea. Aku mengunjungi terlalu banyak tempat, menemui terlalu banyak orang—hingga aku tak bisa benar-benar mengingat semuanya satu per satu. Aku bertanya-tanya dan berkelana mencari jawaban dari apa yang selama ini kupertanyakan. Ada sesuatu yang dua tahun belakangan ini membuatku resah, bahagia, sedih, galau, gundah… Ah, barangkali yang benar adalah gabungan dari perasaan-persaan itu, sesuatu yang tak pernah benar-benar sanggup aku jelaskan dengan kata-kata biasa. Kau harus mengalaminya sendiri untuk bisa memahaminya. Saat seluruh perasaan bercampur jadi satu dan menghentakkan sebuah sensasi tak terduga pada liang terdalam kesadaran kita.
Tentang perasaan itu, jika kau terus membaca surat ini, kelak kau akan tahu gerangan apakah yang membuatku terus-menerus merasa demikian. Aku harap kau akan membaca surat ini, kemudian biarkan ia membaca matamu.
Azalea, apakah kau bersedia membaca ceritaku?
Cerita ini dimulai tanggal 29 Maret 2008, tepat seminggu setelah hari ulang tahunku, dan belum berakhir... Semua yang akan kau baca adalah apa yang bisa kuceritakan kepadamu hingga bulan-bulan belakangan ini. Aku berusaha menceritakan semua yang perlu kau tahu—dan semua yang ingin kuceritakan padamu.
7.
Azalea, apakah kau pernah mendengar cerita tentang Muhammad?
Ya, Muhammad yang kumaksud adalah seorang Nabi dalam agama Islam. Muhammad Rasulullah atau Muhammad bin Abdullah (570-632 M), begitu orang-orang mengenalnya. Sebagian lain, karena begitu menghormatinya, menyebutnya Sayyidinâ Muhammad. Sayyid, adalah sebutan bagi seorang bangsawan Arab, dan sayyidinâ berarti tuan kami atau junjungan kami. Bahkan, setelah menyebut namanya, orang-orang Muslim membacakan sebuah doa pendek untuknya: sallallâhu alaihi wasallam—semoga doa dan keselamatan selalu terhubung kepada Muhammad.
Azalea, percayakah kau kalau seseorang yang tak pernah aku kenal ini tiba-tiba menjumpaiku dalam mimpi? Percayakah kalau kukatakan padamu bahwa Muhammad menemuiku—ya, aku—dalam sebuah mimpi?
8.
Suatu malam, tiba-tiba aku terbangun dengan dada yang berdebar—dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Keningku berkeringat, napasku turun naik. Aku tidak sedang terbangun setelah mendapati sebuah mimpi buruk, Azalea. Aku menjumpai seseorang dalam sebuah mimpi yang begitu indah, itulah yang membuat dadaku berdebar. Ada perasaan tak rela ketika dalam mimpi itu, seseorang yang kutemui di sana, mengucapkan salam perpisahan dan pergi meninggalkanku.
Orang itu, lelaki yang tampak begitu agung dan bercahaya, entah mengapa tiba-tiba kukenali sebagai sosok Muhammad. Ini semacam pengetahuan yang tak bisa kau tolak, sesuatu yang secara otomatis sudah kau ketahui dalam mimpimu. Intuisi, barangkali. Dan dialah Muhammad, lelaki yang kutemui dalam mimpi yang tak pernah sanggup kulupakan.
“Apakah yang lebih besar daripada iman?” kata sosok Muhammad dalam mimpiku. Ia tersenyum menatapku, tetapi entah bagaimana aku tahu sesungguhnya ia sedang agak bersedih.
“Aku tak tahu,” kataku. Tenggorokanku terasa sangat kering. Terik matahari menyengat—aku berada di sebuah tempat yang kering dan tandus. Bukan padang pasir, tapi sebuah tempat yang belum pernah kulihat dan kuketahui sebelumnya.
Tiba-tiba, aku ingin melihat sosok itu… dan ia tersenyum tulus ke arahku. Aku melihat seorang lelaki dengan wajah yang agung dan bercahaya. Ini semacam cahaya aneh yang justru tak membuatku merasa silau—tapi teduh. Kulitnya bersih, badannya tidak kurus juga tidak gemuk, wajahnya tampan, bola matanya hitam jernih, bulu matanya lentik, alis matanya panjang bertautan.
Sekali lagi ia tersenyum. Senyum yang sanggup membuatku melupakan rasa haus dan panas yang membakar kulitku. “Apakah yang lebih utama dan lebih penting daripada iman?” katanya seperti mengulang pertanyaan pertamanya.
“Aku tak tahu,” aku menjawabnya dengan kata-kata yang sama.
Lalu ia memberiku minuman. Ia seolah tahu bahwa tenggerokonku terasa menyempit, haus yang hampir membakar rongga mulutku. Ia menyodorkan sebuah cawan berisi air yang dingin dan jernih… “Minumlah,” katanya, “kau sangat membutuhkannya.” Lagi-lagi, ia tersenyum.
Aku pun segera meminumnya. Ada dingin yang mengalir di tenggorokanku, mengalir menjadi damai di hatiku, membebaskan sel-sel hidupku yang sempit. Aku merasakan air itu mulai menghidupkan lagi sel-sel yang mulai mati di tubuhku—aku merasakan kesegaran yang membebaskan, sesuatu yang membuat matahati dan pikiranku begitu terbuka. Lalu langit meredup-teduh, awan diarak pelan-pelan, angin menerbangkan helai-helai daun yang kering, rumput-rumput bersemi, bunga-bunga mekar—wewangian yang membebaskan segala bentuk penderitaan.
Lalu kutatap lagi sosok lelaki yang tampak agung itu: Muhammad. “Kebaikan,” katanya tiba-tiba, “melebihi apapun, adalah yang paling utama dari semuanya. Aku menyebutnya ihsan.”
Seketika, langit hening, bumi hening. Dan lelaki itu melemparkan senyumnya sekali lagi, lalu membalikkan tubuhnya setelah mengucapkan sebuah salam perpisahan. Pelan-pelan, ia melangkah pergi, menjauh meninggalkanku.
Apakah yang lebih besar daripada iman? Bisik hatiku. Apakah yang lebih utama dan lebih penting daripada iman? Aku menatap punggung Muhammad yang menjauh… terus menjauh.
Kebaikan? Barangkali inilah kebaikan, kataku dalam hati, budi pekerti yang dimiliki seseorang yang membuatmu merasakan kebahagiaan yang membebaskan dan kau takkan pernah rela ditinggal pergi olehnya.
Entah mengapa ada perasaan sedih yang teramat dalam saat ia meninggalkanku di tempat itu sendirian. Aku benar-benar tak rela melepasnya pergi… aku menatap punggungnya dan memanggilnya kembali dengan mata rinduku, tetapi ia terus menjauh… menjelma sunyi, meninggalkanku.
Aku terbangun dengan dada yang berdebar, dengan perasaan yang begitu sedih. Muhammad, Muhammad, Muhammad, aku mengulang-ulang nama itu. Mengapa aku bisa memimpikannya?
Azalea, bila aku menganggapnya bukan sebuah mimpi biasa, barangkali aku memang berlebihan. Pada mulanya aku juga berpikir begitu. Tetapi, aku tak bisa membohongi perasaanku sendiri.
.................
1.
kepergian,
lambaikan tangan atau salam perpisahan
selalu seperti tak punya perasan—
apalagi jika kau melakukannya tanpa pesan.
tapi waktu, semua akan berlalu—
yang tersisa tinggal kenangan.
(Menatap Punggung Muhammad, Fahd Djibran)
***
Untuk menuntaskan bacaan Menatap Punggung Muhammad ini, silakan membaca bukunya yaaa... Z jamin ada positif hal di dalamnya. ^_^
Dua orang akhwat sedang terlibat perbincangan. Salah seorang diantaranya mengeluhkan kondisinya yang merasa sangat lelah baik secara fisik maupun emosi. Ia menatap sahabatnya sejenak, lalu mengalihkan matanya ke langit-langit kamar, lalu bertanya, "Pernahkah engkau merasa mati rasa?" Sahabatnya menjawab, "Ya, beberapa kali."
Lalu sahabatnya itu bertanya, "Apakah kamu senang merasakan kondisi seperti itu?" Akhwat yang mengeluh lelah tadi menjawab, "Tentu saja tidak." Sahabatnya pun berkata, "Jadi kelalahan atau sakit itu lebih enak kan?"
Perkataan itu membuat akhwat satunya lagi berpikir. "Maksudmu, gejala semacam ini normal? Apakah saya harus menerima rasa sakit sebagai bagian dari hidup saya?" tanyanya.
Sahabat akhwat itu menjawab lagi, "Ya, tentu saja. Tapi, jangan fokus pada lelah dan rasa sakit itu. Masih banyak rasa dan sensasi yang lain, tapi kadang kita mengabaikannya dan hanya memberikan perhatian yang berlebihan pada hal-hal yang menyakitkan atau mungkin menakutkan."
Sebagai manusia biasa, kita semua pasti pernah mengalami apa yang digambarkan dalam ilustrasi diatas. Pada satu titik dalam kehidupan ini, kita merasakan kebosanan yang amat sangat, merasa lelah hati dan pikiran yang membuat tubuh menjadi terasa sakit dan emosi jadi labil.
Cara orang menghadapi situasi ini pun berbeda-beda. Sebagian orang ada yang terlalu memikirkan rasa sakit atau lelah yang dialaminya. Tapi ada juga yang mencoba melawannya dan menolak terperangkap dalam situasi yang hanya akan membuat jiwa dan pikirannya bertambah suram. Orang tipe kedua, akan segera mencari jalan keluar dan mencoba mencari keseimbangan bagi fisik dan emosinya. Misalnya, dengan menekuni kembali hobi lamanya, bersilaturahim ke rumah kerabat atau sahabat, melakukan olahraga yang digemarinya, membaca buku, membaca Quran atau mendengarkan lagu-lagu nasyid favorit mereka.
Seorang teman pernah mengatakan, merasa lelah fisik atau mental itu hal yang biasa dialami setiap manusia. "Kita harus mampu menerimanya, bukan melawannya sekuat tenaga. Menerima bukan berarti kita tenggelam dalam situasi kelelahan itu, tapi berusaha mencari keseimbangan dan menetralisirnya," kata teman saya itu ketika suatu hari secara tak sengaja sedang mendengarkan curhat seorang teman yang merasa dirinya mentok kanan kiri yang membuat fisik dan mentalnya "down".
Teman itu memang bukan seorang psikiater yang memahami masalah-masalah kejiwaan secara mendalam. Tapi, diantara kami, ia adalah sosok orang yang penyabar, bijak dan selalu mampu memberikan nasehat atau semangat.
Rasa sakit bisa menjadi pertanda ada yang salah dalam tubuh kita, tapi bisa juga karena pengaruh dari pikiran kita yang tidak seimbang. Kita cenderung terfokus pada rasa sakit itu saja, dan kadang lupa bahwa ada Allah Swt. tempat kita meminta pertolongan saat kita berada pada saat-saat yang tersulit sekalipun. Bukankah dalam Al-Quran disebutkan, "Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan," (QS. Al-Insyirah : 6).
Dalam kehidupan, setiap manusia pasti akan mengalami hal-hal negatif dan tentu saja hal-hal positif. Tapi semua itu datangnya dari Allah Swt. untuk sesuatu yang lebih baik. Seperti juga kesenangan dan kesusahan, dua-duanya sebenarnya ada ujian yang diberikan Allah Swt. bagi umat manusia agar selalu mengingat-Nya, baik dalam kondisi senang maupun susah.
"Bahkan kematian mengandung hal yang positif. Bunga dan pohon yang tumbuh di atas sebuah makam, tidak ada yang sia-sia," kata teman yang dikenal bijak tadi.
"Kematian memang menyebabkan rasa kehilangan dan kesedihan yang mendalam. Tapi kesedihan itu membuat hati kita menjadi lembut. Bahkan lebih lembut dibandinkan ketika kita mendapatkan kebahagiaan. Kebahagiaan kadang justru membuat hati orang keras, senang terlalu berlebihan dan kadang membuat hati kita jadi tidak peka," sambungnya.
Manusia hidup dalam dunianya sendiri dalam hal bagaimana ia memandang suatu hal, merespon, membuat keputusan atau bermimpi akan sesuatu yang diinginkannya. Bagaimana hasil yang kita dapat, tergantung pada keputusan yang kita buat, niat awal dan upaya yang dilakukan untuk mendapatkan yang terbaik.
Pada saat kita merasakan sakit, kadang kita merasa menjadi orang yang paling menderita, tanpa menyadari bahwa bisa jadi masih ada orang lain yang kondisinya lebih buruk dari apa yang kita alami sekarang. Rasa sakit, entah itu fisik maupun mental, sejatinya akan mengasah kepekaan kita agar bisa ikut merasakan penderitaan orang lain. Lebih dari itu, senantiasa membuat kita bersyukur pada Allah Swt. meski sedang diuji dengan rasa sakit itu.
Hidup tak selamanya berjalan mulus. Allah Swt. menciptakan sesuatu dengan dua sisi. Ada sakit pasti ada obatnya. Ada senang ada sedih. Kadang, kita baru bisa menghargai apa itu kejujuran atau kebahagiaan setelah kita mengalami hal yang sebaliknya, mengalami bagaimana rasanya dikhianati orang atau mengalami hal-hal yang membuat kita merasa sangat sedih. Semua itu pada dasarnya mengajarkan kita untuk belajar "survive" di tengah himpitan kesulitan, bahwa semua kesulitan itu pada saatnya akan berakhir dan berubah menjadi hal-hal positif dalam diri kita. Anda setuju?
Penulis: Rubina Zalfa (Dikutip dari http://www.eramuslim.com/berita/dunia/pernik-muslimah-menikmati-dan-mensyukuri-rasa-sakit.htm)