Wednesday, January 12, 2011

Terlambat Diposting! Kurang'mi Euforianya... Tapi Tak Apa! ^_^



PIALA AFF 2010 DAN HARGA DIRI BANGSA


Oleh : Aida Radar


Apa yang kita rasakan ketika melihat Tim Nasional (Timnas) Malaysia mengangkat tropi Asian Football Federation (AFF) dengan penuh kemenangan di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) pada Rabu malam 29 Desember 2010 kemarin? Apakah kita ingin menangis (atau bahkan telah menangis), kecewa dan murung, menahan dada yang sakit seperti ada yang mencabik-cabik, atau malah telah menghancurkan pesawat televisi yang menampilkan kemenangan TimNas Indonesia namun ternyata tidak juara?


Jika pertanyaan tersebut ditujukan pada saya, maka segala yang berbau kecewa dan tangis merupakan jawabannya. Saya demikian kecewa dan menangis. Kekalahan melawan TimNas Malaysia menjadi pukulan terbesar bagi saya. Padahal saya hanya berdiri di depan layar kaca dan tidak ambil bagian dalam permainan di lapangan sana. Saya merasa harga diri saya sebagai warga Negara Indonesia ‘jatuh’ akibat kekalahan di lapangan hijau itu. Saya benar-benar merasakan jatuhnya harga diri itu. Ternyata saya waktu itu dijangkiti penyakit ‘Nasionalisme Kabur’. Mengapa saya katakan kabur? Selesaikanlah tulisan ini sampai akhir. Kau akan tahu jawabannya.


Namun epidemi ‘Nasionalisme Kabur’ itu terjadi sebelum saya membaca sebuah surat dari E.S Ito (yang adalah pengarang idola saya) yang beredar di dunia maya dan banyak menjadi perbincangan hangat pasca final AFF. Surat itu terlihat seperti surat yang biasa. Surat biasa yang lazimnya ditulis seseorang dan ditujukan pada seseorang. Tapi kemudian surat itu menjadi tak biasa karena ditulis oleh seorang pengolah kata andal dan ditujukan pada seorang mengocak bola mumpuni yang menjadi pemimpin di tim kesebelasan Indonesia di tengah euforia yang menyala-nyala. Ya, E.S Ito menulis surat kepada Firman Utina.


Setelah saya membaca tuntas isi surat itu, segala pemikiran dan ‘nasionalisme kabur’ yang saya rasakan sebelumnya sesegera melumer. Sungguh ajaib isi surat itu bagi saya yang membacanya (apalagi bagi dia yang surat itu ditujukan), karena ia langsung mengubah mindset berpikir saya egois dan sempit ini. Dan terkait rasa harga diri yang ‘jatuh’ itu, ah... E.S Ito berhasil membuka mata saya akan apa hakikat harga diri itu dengan sempurna : “Sepak bola tidak ada urusannya dengan garuda di dadamu, sebab simbol hanya akan menggerus kegembiraan. Sepak bola tidak urusannya dengan harga diri bangsa, sebab harga diri tumbuh dari sikap dan bukan harapan.” (Paragraf ke-4).


Beri perhatian lebihmu pada kalimat yang saya tebalkan dan miringkan! Apa yang kau rasakan?


Maka, saya postinglah isi surat E.S Ito di rumah ini. Bacalah dengan sepenuh hati dan seksama. Niscaya manfaat akan kau dapatkan darinya, dan bahkan mungkin bisa mengubah jalan pikiranmu seandainya kau sempat menyimpan ‘nasionalisme kabur’ sepertiku sebelumnya. Namun pabila kau sudah membacanya, silahkan dilewati saja. Tapi akan lebih baik lagi jikalau kau sempatkan membacanya sekali lagi. Setidaknya itu membuatmu bisa lebih lama mengingatnya (atau bahkan meleburkannya dalam hatimu). Sehingga itu dapat membantumu mengambil jarak dari sebuah penyakit bernama ‘amnesia” yang demikian parahnya menjangkiti sebagian besar populasi penduduk dari sebuah negara besar ber­-title Indonesia ini.


Surat E.S Ito pada Firman Utina


Surat Untuk Firman


Kawan, kita sebaya. Hanya bulan yang membedakan usia. Kita tumbuh di tengah sebuah generasi dimana tawa bersama itu sangat langka. Kaki kita menapaki jalan panjang dengan langkah payah menyeret sejuta beban yang seringkali bukan urusan kita. Kita disibukkan dengan beragam masalah yang sialnya juga bukan urusan kita. Kita adalah anak-anak muda yang dipaksa tua oleh televisi yang tiada henti mengabarkan kebencian. Sementara adik-adik kita tidak tumbuh sebagaimana mestinya, narkoba politik uang membunuh nurani mereka. Orang tua, pendahulu kita dan mereka yang memegang tampuk kekuasaan adalah generasi gagal. Suatu generasi yang hidup dalam bayang-bayang rencana yang mereka khianati sendiri. Kawan, akankah kita berhenti lantas mengorbankan diri kita untuk menjadi seperti mereka?


Di negeri permai ini, cinta hanyalah kata-kata sementara benci menjadi kenyataan. Kita tidak pernah mencintai apapun yang kita lakukan, kita hanya ingin mendapatkan hasilnya dengan cepat. Kita tidak mensyukuri berkah yang kita dapatkan, kita hanya ingin menghabiskannya. Kita enggan berbagi kebahagiaan, sebab kemalangan orang lain adalah sumber utama kebahagiaan kita. Kawan, inilah kenyataan memilukan yang kita hadapi, karena kita hidup tanpa cinta maka bahagia bersama menjadi langka. Bayangkan adik-adik kita, lupakan mereka yang tua, bagaimana mereka bisa tumbuh dalam keadaan demikian. Kawan, cinta adalah persoalan kegemaran. Cinta juga masalah prinsip. Bila kau mencintai sesuatu maka kau tidak akan peduli dengan yang lainnya. Tidak kepada poster dan umbul-umbul, tidak kepada para kriminal yang suka mencuci muka apalagi kepada kuli kamera yang menimbulkan kolera. Cinta adalah kesungguhan yang tidak dibatasi oleh menang dan kalah.


Hari-hari belakangan ini keadaan tampak semakin tidak menentu. Keramaian puluhan ribu orang antre tidak mendapatkan tiket. Jutaan orang lantang bersuara demi sepakbola. Segelintir elit menyiapkan rencana jahat untuk menghancurkan kegembiraan rakyat. Kakimu, kawan, telah memberi makna solidaritas. Gocekanmu kawan, telah mengundang tarian massal tanpa saweran. Terobosanmu, kawan, menghidupkan harapan kepada adik-adik kita bahwa masa depan itu masih ada. Tendanganmu kawan, membuat orang-orang percaya bahwa kata "bisa" belum punah dari kehidupan kita. Tetapi inilah buruknya hidup di tengah bangsa yang frustasi, semua beban diletakkan ke pundakmu. Seragammu hendak digunakan untuk mencuci dosa politik. Kegembiraanmu hendak dipunahkan oleh iming-iming bonus dan hadiah. Di Bukit Jalil kemarin, ada yang mengatakan kau terkapar, tetapi aku percaya kau tengah belajar. Di Senayan esok, mereka bilang kau akan membalas, tetapi aku berharap kau cukup bermain dengan gembira.


Firman Utina, kapten tim nasional sepak bola Indonesia, bermain bola lah dan tidak usah memikirkan apa-apa lagi. Sepak bola tidak ada urusannya dengan garuda di dadamu, sebab simbol hanya akan menggerus kegembiraan. Sepak bola tidak urusannya dengan harga diri bangsa, sebab harga diri tumbuh dari sikap dan bukan harapan. Di lapangan kau tidak mewakili siapa-siapa, kau memperjuangkan kegembiraanmu sendiri. Di pinggir lapangan, kau tidak perlu menoleh siapa-siapa, kecuali Tuan Riedl yang percaya sepak bola bukan dagangan para pecundang. Berlarilah Firman, Okto, Ridwan dan Arif, seolah-olah kalian adalah kanak-kanak yang tidak mengerti urusan orang dewasa. Berjibakulah Maman, Hamzah, Zulkifli dan Nasuha seolah-olah kalian mempertahankan kegembiraan yang hendak direnggut lawan. Tenanglah Markus, gawang bukan semata-mata persoalan kebobolan tetapi masalah kegembiraan membuyarkan impian lawan. Gonzales dan Irvan, bersikaplah layaknya orang asing yang memberikan contoh kepada bangsa yang miskin teladan.


Kawan, aku berbicara tidak mewakili siapa-siapa. Ini hanyalah surat dari seorang pengolah kata kepada seorang penggocek bola. Sejujurnya, kami tidak mengharapkan Piala darimu. Kami hanya menginginkan kegembiraan bersama dimana tawa seorang tukang becak sama bahagianya dengan tawa seorang pemimpin Negara. Tidak, kami tidak butuh piala, bermainlah dengan gembira sebagaimana biasanya. Biarkan bola mengalir, menarilah kawan, urusan gol seringkali masalah keberuntungan. Esok di Senayan, kabarkan kepada seluruh bangsa bahwa kebahagiaan bukan urusan menang dan kalah. Tetapi kebahagiaan bersumber pada cinta dan solidaritas. Berjuanglah layaknya seorang laki-laki, kawan. Adik-adik kita akan menjadikan kalian teladan! (Source : tempointeraktif.com).


* * *


/Makassar, 31 Desember 2010



4 comments:

Coffeelycious said...

Selalu ada cerita indah dan penuh semangat dibalik sebuah event besar.
Yang penting nasionalisme kita tidak pernah luntur ya sob. Salam sukses selalu untuk anda.

aida_radar said...

Yap! Nasionalisme! Itu yang penting. Salam kenal dan sukses untuk anda juga... ^_^

tini said...

Sejak menikah, saya menjadi seorang penggila bola Za, dulu saya suka tapi tidak gila, tapi my lovely husband selalu berbagi informasi tentang bola. Dari Liga Primer Inggris dengan Red devil nya sampai Liga Spanyol dengan Real madridnya.

Saat ini saya pecinta klub El Barca dengan Messi, Villa, Ineista, Pedro, Puyol dan konco2nya...

Kekalahan Indonesia atas Malaysia, membuat kami tidak bisa tidur hehe.
Tapi kami tetap pecinta timnas dan Opa Alfred.

Ah komentar yang ga penting ya :D

aida_radar said...

Tentu bukan komentar yang gak pentinglah, Ukh. Z suka membacanya. ^_^
Apalagi kata 'my lovely' husband-nya bikin iri. Hehe just kidding. Ternyata hobi bisa berubah kalau sudah menikah, ya? ^_^