Monday, January 03, 2011

Silaturahmi...


SEBUAH PERTEMUAN, SEBUAH GHIRAH BARU

(Sebuah Catatan Silaturahmi)

Oleh : Aida Radar

Senin, 3 Januari 2010, pukul 04.52 WITA.


Ini adalah hari senin yang biasa. Senin yang sama dengan senin senin sebelumnya, begitu kata yang lain. Tapi tentu itu bukan kata kami. Pagi di senin ini, Saya —dan FLPers lainnya, Nendenk, Andi Asra, Fatimah Az Zahra, dan Mawaddah (adik saya) menerjang dinginnya ba’da subuh jalanan Kota Makassar dengan semangat yang tetap sama seperti semangat-semangat FLPers dalam setiap agenda yang telah kami adakan (walaupun kadang semangat ber-FLP kami kadang sempat ‘drop’ beberapa saat karena beberapa masalah. Bukankah itu biasa dalam kepengurusan sebuah organisasi? ^_^).


Sebelumnya saya kira FLP hari ini akan menjadi Forum Lingkar Perempuan. Alasannya? Tidak ada ikhwan yang mengonfrimasi kehadiran di inbox hape saya ketika saya sms menanyakannya semalam. Namun, akhirnya sang sekretaris umum, Muhammad Yusuf dan sekretaris umum yang lain, Munawir (lho kok ada dua sekretaris? Kamu akan bertanya demikian, kan? Saya jawab, iya. Lha sekretaris umum kedua yang saya sebut ‘kan demisioner. ^_^), juga tiba di tempat silaturahmi yang kami janjikan. Maka, setelah lengkap pasukan, bergegaslah sang resepsionis ditemui.


“Permisi!”


“Ya, ada yang bisa dibantu?”


“Kak, kami sudah buat janji dengan Kang Abik,” kata saya bersemangat.


“Janji dengan siapa?” Resepsionis bingung. (Kok bisa? ^_^)


“Eh, kami sudah buat janji dengan Habiburrahman El Shirazy, tamu hotel ini di sini. Dan kami diminta menunggu di lobby. Bisa’ji, Kak.”


“Oh ya, silahkan.”


“Terimakasih, Kak.”


Maka, menunggulah kami di lobby hotel itu. Huaaahhh saya sangat dumba’-dumba’ (ini dialek Makassar yang kurang lebih menunjukkan saya deg-degan), dan saya yakin begitu pula dengan teman FLPers yang lain. Aura wajah kami pagi ini rupanya tidak bisa menyimpan dumba’-dumba’ itu hanya di dalam dada, karena ianya sangat nampak setiap kali mata saya menangkap wajah-wajah penuh semangat itu. Kemudian, pintu lift di samping kiri depan kami terbuka. Dan, subhanallah Sang Tangan Emas itu muncullah,


“Assalamu’alaikum.”


“Wa’alaikumsalam Warahmatullah.”


Dan kami pun tersihir sejenak (dalam hati saya, di sudut lobby bagian mana si Harry Potter bersembunyi dan menyimpan tongkat sihirnya hingga ia bisa menyihir kami dengan begitu leluasa tanpa disadari seperti saat ini? ^_^)


Yah, kami tersihir. Oleh dia. Lelaki itu, bukan karena mantra si Potter (karena saya tidak mendengar suara mantra itu ^_^). Lelaki berkaos garis-garis coklat putih, berkopiah hitam, menenteng sebuah tas cangklong hitam (bukan hijau tua, karena itu milik Fahri Bin Abdullah Siddiq ^_^) di bahu kanan, bersendal semi sepatu coklat, dan berkacamata itu berjalan mendekati kami dan melempar sebuah salam dan senyum yang sangat apik sekali. Momen kesan pertama yang terang menampakkan karakter pemiliknya, ramah. Setidaknya itu menurut saya. (Ada komentar? ^_^)


Lelaki itu (ah, baiknya saya panggil ustadz saja. Lebih pas), Ustadz Habiburrahman El Sirazy menjabat tangan dua ikhwan yang ada dan menelungkupkan tangan pada kami, para akhwat. Duduk. Dan menanyai nama kami satu persatu.


“Lalu mana ketua FLP-nya?”


“Ketua FLP lagi di jalan menuju kesini, Ustadz.”


Kata sebuah tagline rokok, bukan basa basi, tapi sepertinya kami harus basa basi untuk menetralisir dumba’-dumba’ sebelum ‘sharing’ tentang banyak hal pada Kang Abik, demikian sapaannya. Dan basa basi kami itu ternyata berhasil. Silaturahmi menjadi sangat mengalir. Kang Abik bercerita mengenai banyak hal. Tentang bagaimana beliau pertama kali membentuk FLP di Mesir; bagaimana beliau mengadakan training kepenulisan selama 11 hari dengan mengundang pemateri langsung dari Indonesia, yang salah satunya adalah founder FLP, Mbak Helvy Tiana Rosa, dengan dana yang tidak banyak; bagaimana proses kreatifnya dalam menulis kisah-kisah rekaan inspiratif pembangun jiwa yang best seller (bahkan mega best seller) dan mengukuhkannya sebagai salah satu penulis terbaik yang dimiliki Ibu Pertiwi kita ; bagaimana beliau berjuang walau kerap ditolak penerbit untuk buku yang diterjemahkannya; bagaimana beliau berdarah-darah dalam menulis, dan sebagainya.


“Awalnya orang-orang mengira Ayat-Ayat Cinta itu muncul tiba-tiba, tanpa melewati proses panjang, langsung ‘dhuaarrr!’ ada. Padahal mereka tidak tahu bahwa untuk booming itu, saya sudah mendarah-darah sebelumnya. Menulis dan bedah karya tanpa henti. Ditolak penerbit waktu nerjamahin buku tiada henti. Buku pertama yang saya tulis itu Ketika Cinta Berbuah Surga, kemudian Pudarnya Pesona Cleopatra, lalu Ayat-Ayat Cinta ketika kaki saya patah dan selama satu bulan tidak bisa pergi kemana-mana. Jadi penuh perjuangan.” (Wow! Semangat yang ruaaarrr biasa, ini kata saya ^_^).


“Naskah Ayat-Ayat Cinta itu kemudian saya perlihatkan pada sastrawan yang saya kenali. Salah Satunya Mas Ahmadun (Yofi Herfanda.Z) dan beliau menawarkan untuk dimuat bersambung di Republika. Setelah beberapa kali dimuat, ternyata banyak yang suka. Saya sangat senang karena setiap hari Republika itu ditunggu pembaca karena Ayat-Ayat Cinta. Begitu seterusnya hingga cerita berakhir. Tak lama, dibukukanlah cerita bersambung itu menjadi novel Ayat-Ayat Cinta, dan booming. Maka, karya-karya yang telah saya tulis sebelumnya, Ketika Cinta Berbuah Surga dan Pudarnya Pesona Cleopatra pun ikut booming dan dicetak ulang beberapa kali.” (Subhanallah...)


“Jadi seperti itu. Semua kesukseksan itu membutuhkan proses dan perjuangan yang berdarah-darah.” (Hanya orang-orang yang konsisten yang InsyaAllah bisa meraihnya, Amin. Ini kata saya lho... ^_^).


“Kalau membaca Bumi Cinta, pembaca akan berpikir saya pernah bertahun-tahun tinggal di Moskwa, Rusia. Karena segala detil Kota Moskwa yang ada di Rusia sana, bisa saya deskripsikan dengan baik. Padahal saya belum pernah pergi ke Rusia, lho. Belum pernah menginjakkan kaki di Moskwa. Tapi saya tahu setiap lorong-lorong kecil di sana dan saya tuangkan dalam Bumi Cinta ini (sambil menunjuk novel Bumi Cinta saya). Dan setting yang tertulis di sini InsyaAllah bisa saya pertanggungjawabkan.” (tersenyum lagi).


Lantas bagaimanakah kabar kami? Oho! Kami ternyata takjub luar biasa. “Kok bisa, Ustadz? Bagaimana caranya?” suara salah satu dari kami lepas.


“Bisa. Untuk menulis Bumi Cinta, saya melakukan riset selama satu tahun. Riset di sini bukan berarti hanya membaca di Google saja. Tapi riset yang sesungguhnya. Apabila saya mendengar ada orang yang pernah tinggal di Rusia selama bertahun-tahun, saya akan datangi orang itu dan menanyakan segala yang saya butuhkan mengenai Rusia, khususnya Moskwa. Jadi menulis, walaupun itu novel, juga sangat membutuhkan riset.” (tersenyum lagi).


Di sela-sela pembicaraan kami, datanglah ketua FLP Sulsel, Fitrawan Umar dan ketua FLP ranting Unhas, Supriadi. Maka, tak saya sebut lagi FLP sebagai Forum Lingkar Perempuan karena empat ikhwan sudah resmi mengagalkannya dengan cemerlang. ^_^


“Jadi, mau dibawa ke mana ini FLP di Sulsel? (atau Makassar, ya? ^_^)” tanya Kang Abik pada sang ketua FLP Sulsel yang dibalas senyum.


“Sudah pada nonton Dalam Mihrab Cinta atau belum?” tanya Kang Abik lagi.


“Sudah.” (sekitar empat suara)


“Belum.” (sisa suara yang hadir)


“Wajib nonton loh, yaaaa.”


“He-eh InsyaAllah.”


“Ide itu sesuatu yang berharga. Jika punya ide, sebaiknya cepat dituliskan. Novel dalam Mihrab Cinta itu 70 % saya tulis ketika saya berada dalam perjalanan di bus ekonomi dari Solo ke Jogja. Jadi bisa dibayangkan ya bagaimana keadaan bus ekonomi kita dan saya yang membayangkan Samsul Hadi dengan kisahnya. Saya awalnya nggak menyangka ide Dalam Mihrab Cinta yang muncul dan hampir setengah selesai di cacatan saya dalam bus ekonomi Solo-Jogja itu ternyata bisa difilmkan juga hari ini. Jadi kalau punya ide yang terlintas, segeralah menuliskannya!” (Petuah yang berfaedah sekali bagi kami. Syukran Kang Abik. ^_^)


Karena waktu jugalah yang selalu membatasi setiap langkah hidup kita, silaturahmi spesial itu pun diakhiri. (Padahal saya, kami tentunya, masih sangat ingin diciprati proses kretif yang inspiratif dari Kang Abik. Tapi saya mesti berpikir sehat karena saya telah janji sebelumnya dengan manager beliau kalau hanya sampai jam segitu kami bisa bersilaturahmi dengan Kang Abik karena agenda lain beliau telah menunggu. Jadi, meminjam kata Upin Ipin, “tak apelah!” ^_^).


Dan tak lupa, momen tandatangan novel Bumi Cinta, Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Dalam Mihrab Cinta dan Pudarnya Pesona Cleopatra, serta foto-foto bareng tentulah tak bisa dilepaskan dari agenda silaturahmi spesial ini. Bukankah dokumentasi itu adalah media penceritaan yang real dan abadi? Hehe


Perpisahan kami (semoga Allah mempertemukan Kang Abik dan kami lagi di lain kesempatan, bersama dengan mimpi menjadi penulis —seperti beliau, yang telah berhasil kami genggam, Amin) berlangsung begitu cepat.


“Terimakasih atas waktunya, Ustadz,” kata kami berbarengan.


“Sama-sama. Terimakasih juga karena telah berkunjung kemari,” jawab Kang Abik dengan senyum dan keakraban yang tak pernah lepas darinya.


Mmm, momen kesan penutup yang jelas mengukir karakter pemiliknya, ramah. Tentu ini tak hanya menurut saya, ini menurut kami. Iya ‘kan, temans? (Ada komentar? ^_^)


“Assalamu’alaikum.”


“Waalaikumsalam warahmatullah.”


Dan dengan salam persaudaraan kami bertemu, dengan salam persaudaraan pula kami berpisah. Semoga kami terus menjaga persaudaraan ini dalam sebuah naungan penuh cinta dan rahmat bernama ISLAM dan FLP ini. Amin, Allahuma Amin.


***


/Makassar, pukul 09.30 WITA


No comments: