Thursday, August 06, 2009

Unforgetable Experience


BOLANGI

Oleh : Aida Radar*


Jangan kasihani kami bu guru. Kami tidak butuh belas itu. Kami hanya butuh kesempatan.


***

Duk..duk..duk..duk..duk..duk..

Degup jantungku berdetak tak karuan. Langkah yang tegak dan ukiran senyum beberapa pria tegap berseragam coklat dan biru tua, belum juga bisa jadikan detakan itu beraturan. Di depanku, satu pintu pagar besi yang terbuka nanti, akan memberi tahuku sebuah dunia baru. Sebuah dunia yang tak terpikirkan sebelumnya.

Dan pintu itu pun terbuka. Beberapa kepala plontos celigukan mengintip. Aku mematung di tempat. Berbagai kemungkinan berkelebat. Wajah-wajah sangar, penodongan, cacian, dan semacamnya, menjadi slide-slide menakutkan.

Aku berada di sebuah tempat yang tak biasa. Bukan kampus, bukan pondokan, bukan perpustakaan, bukan toko buku, bukan sudut-sudut diskusi, bukan aula seminar, pokoknya bukan tempat yang biasa dijamah mahasiswa sepertiku. Tempatku berdiri bertuliskan No Drugs Area berwarna merah besar di dinding depan. Sebuah lembaga pemasyarakatan bagi pelaku-pelaku barang haram, narkoba.

Tentu lumrah bagiku yang baru pertama menginjakkan kaki di tempat itu, merasa takut dan tegang. Bagaimana tidak? Aku sebentar lagi aku akan dikelilingi mereka-mereka yang sering kudengar lewat siaran berita, dengan teganya merusak diri sendiri dan generasi bangsa. Bersepatah dua kata dengan mereka yang demi lembaran rupiah, bisa mengonsumsi bahkan mengedarkan benda yang paling dibenci Tuhan.

Namun semua ketakutan dan keteganganku yang sempat tercipta, perlahan-lahan memudar. Untaian lengkung membentuk senyum menghiasi tiap-tiap kepala yang duduk-duduk di lorong terbuka ketika aku dan kelompokku lewat. Serta sebuah sapaan yang terdengar tulus di telingaku, entah teman-teman yang lain merasa juga atau tidak.

“Assalamu’alaikum bu guru... Assalamu’alaikum pak guru.”

Bu guru? Aku dipanggil bu guru? Kedengaran lucu. Memang aku berencana menjadi guru. Makanya fakultas keguruan di kampus kutitipi namaku. Jurnal-jurnal dan modul memang mempersiapkanku dipanggil bu guru kelak. Bu gurunya anak-anak di sekolah menengah pertama dan atas. Tapi tadi dipanggilnya aku bu guru. Wah... Sebuah pengalaman langka.

“Bagi peserta program pengembangan diri, segera menuju ke aula karena bu guru dan pak gurunya telah menunggu.”

Pengumuman dari sipir menggema. Sesaat kemudian, berbondong-bondong penghuni yang ikuti program itu masuk ruangan. Di tangan mereka, tersemat sebuah map biru berisi beberapa buku. Dengan santai dan teraturnya mereka masuk ke dalam aula. Meski saling dorong tak pelak menyeimbangi.

Semuanya melantai. Untunglah sebuah bangku panjang mereka persiapkan buat kami. Merasa senang? Tentu saja. Tadi dipanggilnya kami bu dan pak guru. Kini duduk pun disiapkan.

Ternyata tak ubahnya anak sekolah, mereka juga butuh arahan. Urusan duduk yang baik dan teratur pun harus diarahkan. Tak mengapa, bukankah itu tugas seorang guru? Jadi terima saja.

Khasanah Cerpen Indonesia jadi materi pertama. Sang pemateri telah siap dengan apa yang hendak ia sampaikan. Tentu saja. Ia ketua di komunitas menulisku. Materi itu bagian dari hari-harinya. Maka lancarlah ia menjelaskan. Dimulai sejarah hingga nama-nama cerpenis ternama. Budi Dharma, Sapardi/Supardi Djoko Damono, Seno Gumira Ajidarma, Putu wijaya, dan beberapa nama yang baru kudengar namanya. Semakin tahulah aku di mana level pengetahuanku tentang dunia literasi. Tapi tak apa. Itu bagian dari pembelajaran.

Mau tahu bagaimana keadaan para peserta? Ada yang serius perhatikan. Dari wajahnya aku cukup yakin ia memahami. Ada yang matanya memelototi slide-slide di depan, tapi rautnya berkata hati dan pikirannya tak berada di tempat. Melang-lang buana entah ke mana. Cuma ia yang tahu. Lalu, ada yang sibuk menulis atau bahkan menggambar, sambil sesekali cekikikan tak jelas.

Dan sang pemateri? Yakin aku kalau ia tahu bagaimana gaya-gaya pesertanya. Tapi kurasa ia sudah cukup pengalaman terjepit dalam kondisi seperti itu. Sudah makan asam garam lah istilahnya. Jadi walau tingkah polah pesertanya tak beraturan, ia terlihat santai. Sementara aku dan tiga wanita yang kupanggil kakak, karena angkatanku di bawah mereka, tak henti-hentinya tertawa. Meski dengan kadar yang lebih rendah.

“Kalian tahu cerpen klasik pertama? Cerita yang dikarang oleh Shakespeare.”

Hening. Pertanyaan pemateri membuat mereka bisu.

“Tak ada yang tahu? Baiklah. Cerita pendek klasik yang peling terkenal karangan Shakespeare itu judulnya Romeo and Juliet.”

“Ohhhhhh...............”

Kor panjang menggegema. Maka terpingkal-lah kami berlima.

***

“Saya menyesal bu guru. Saya bukan hanya telah menghancurkan diri sendiri, tapi orang banyak juga. Waktu itu saya benar-benar khilaf bu. Saya gelap mata ketika diajak mereka yang mengaku teman. Saya tergoda iming-iming kaya dengan instant. Yah... saya memang tergoda bu guru. Tapi semua itu karena saya hanya ingin hidup layak bu. Saya hanya ingin keterjepitan ekonomi tak lagi membelenggu hidup saya di metropolitan ini. Saya hanya ingin itu bu guru.”

Yanto. Ada gurat kesedihan di garis-garis wajahnya yang kelihatan tua sebelum waktunya. Bukti beban dan rasa bersalah yang menggerogoti.

“Keluarga saya meninggalkan saya. Mereka malu punya anggota keluarga yang bergelut dengan benda haram. Sudah hampir satu tahun saya tak dijenguk. Sering iri hati saya melihat teman-teman yang lain dikunjungi keluarganya. Saya butuh perhatian keluarga untuk bangkit. Saya butuh mereka untuk keluar dari lumpur hitam ini. Tapi mereka meninggalkan saya. Saya... hiks...hiks...”

Tenggorokanku tercekat. Hampir saja butiran bening itu tumpah jika tisu di tangan tak segera melapnya. Aku tak boleh menangis. Teringat apa yang ia ucapkan sebelumnya.

Jangan kasihani kami bu guru. Kami tidak butuh belas itu. Kami hanya butuh kesempatan.

“Maaf bu guru. Saya telah menyusahkan bu guru dengan cerita-cerita miris saya. Selama ini saya tertekan karena tak dapat bercerita seperti ini. Semua saya endapkan dalam hati. Tapi kini saya sudah lumayan lega bu guru. Sedikit longgar.”

Ia tersenyum. Senyum yang dipaksakan. Senyum yang coba balutkan lukanya. Sayangnya ia tak berhasil.

“Saya janji bu guru. Begitu keluar nanti saya tak akan pernah mau lagi berurusan dengan barang haram itu. Saya akan mulai dunia baru. Dunia yang sebenarnya. Tapi...”

“Tapi apa?”

“Apakah Allah mau memaafkan dan mengampuni kesalahan saya bu guru? Apa orang-orang di luar sana mau menerima mantan tahanan seperti saya bu guru?”

“Allah itu maha pengampun. Insya Allah, dosa dan kesalahan kita bisa Allah ampuni jika kita benar-benar mau berubah. Mau bertobat. Kecuali syirik tentunya. Maka kita harus berniat untuk jadi hambanya yang baik. Yang tak mau menguangi kesalahan yang paling dibenci-Nya kedua kalinya. Itu yang saya tahu.”

Hmfuih..... kuhela napas sejenak.

“Dan menurut saya, hanya orang-orang tak bijaksana lah yang akan tidak memberi kesempatan kedua bagimu dan teman-temanmu. Semua orang berhak mendapat kesempatan. Tapi ingat, kesempatan dan kepercayaan itu tak boleh dihancurkan jika telah mereka sematkan itu padamu. Jika tidak, jangan harapkan lagi kesempatan dan kepercayaan itu kemlabi. Percayalah... kalian pasti bisa.”

Dan lengkungan itu terlihat lagi. Bukan lengkungan yang dipaksakan. Tapi sebuah lengkungan yang sempurna. Lengkungan yang masih tetap menggantung ketika mengantar kami hingga di depan pintu penjaga. Harapku, semoga tak berbukit jalan yang mereka lalui setelah meninggalkan tempat itu. Hingga keadaan tak memaksa mereka kembali dan mendekam lagi di lapas itu.

***

Makassar, 5 Agustus 2009

Pukul 00.14 WITA

*South Sulawesi Member Of Forum Lingkar Pena (FLP)



No comments: