Thursday, February 05, 2009

Uring-uringannya Orang

Oleh : Ummu Syahidah A.R Badar*


Assalamu Alaikum Warahmatullahi wabarakatuh.

Ini ceritaku tentang mereka, para penghuni Kota Daeng. Aku tak memintamu untuk membacanya jikalau kamu tak berminat. Aku tak akan memaksa, bukankah hak-hak warga negara ini telah disahkan dalam bentuk undang-undang? Jadi tidak perlu khawatir teman (aku memanggilmu teman bukan karena aku adalah si Bolang, bukan sama sekali. Aku memanggilmu Teman karena itu adalah salah satu kata yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang bebas dimiliki warga negara Indonesia dan berarti itu adalah hak aku juga kan? Jadi tidak boleh diprotes. Kamu cukup terima saja), aktivis Hak Asasi Manusia sudah lumayan banyak di negeri ini, jadi walaupuan kamu menolak mendengar ceritaku, kamu pasti akan dibela. So, santai bato, takoho ifa. Oke mantap???

Baiklah, aku tak akan membuatmu menunggu. Aku akan mulai bercerita. Cerita ini hanyalah sekedar tumpahan kata-kata yang telah seminggu lebih uring-uringan padaku meminta diproduksi, tapi karena aku lumayan sibuk beberapa hari belakangan ini. Jadinya, baru kali ini kesampaian. Sekarang kamu senangkan cerita? Aku sudah mulai menceritakan ceritamu pada orang-orang. Jadi berhentilah menggangguku sebentar malam.

Seperti biasa waktu terbanyakku dihabiskan dalam pete-pete (baca ; angkot). Begitulah, aku tidak memiliki kendaraan pribadi. Makanya si pete-pete lah kendaraan pribadiku yang bisa aku beli dengan harga 3 ribu rupiah. Jangan katakan kalau kamu mau bertanya aku beli kendaraan ini dimana hingga semurah itu, karena aku yakin kamu paham apa maksudku diatas. Baik, aku lanjutkan ceritanya.

Hujan sepertinya tidak pernah bosan menyambangi Makassar setiap harinya. Membuat hati yang lumayan mendung menjadi mendung betulan karena sang surya tak memberikan senyumannya. Aku baru saja selesai menghadiri satu majelis yang bernama “Kuliah”. Capek sekali rasanya tubuh ini. Maklum jarak rumahku ke tempat berlangsungnya “Kuliah” lumayan jauh, dua kali nyambung pete-pete. Tapi walaupun dibelakang capek ada ngantuk, pusing, dan pegal yang membuntuti, aku tidak mengeluh. Bukan hanya karena “Kuliah” itu merupakan bagian perjanjianku dengan kedua idolaku di Tidore sana, tapi juga karena sebagai Umat Sang Revolusioner Dunia yang paling terkenal, Nabiyullah Muhammad SAW, kita diharapkan untuk jangan terlalu sering mengeluh jika apa yang kita keluhkan adakah suatu kewajiban. Makanya aku tidak mengeluh. Atau setidaknya belum mau mengeluh, karena aku tahu pasti, “kuliah” itu adalah kewajibanku terhadap idolaku dan aku telah membuat perjanjian dengan mereka. Bukankah berjanji dan tidak menepatinya adalah ciri-ciri manusia munafik? Dan aku tidak mau menjadi manusia munafik.

Wah..sepertinya aku terlalu banyak memutar nalar kamu. Aku minta maaf kalau kamu merasa diputar-putar. Aku hanya ingin menulisnya, makanya aku tulis. Jadi kamu tidak usah pusing. Cukup baca saja. OK.

Dari jendela pete-pete yang kacanya begitu tahan ditampar air-air langit, aku mendapati mereka-mereka. Aku menangkap harapan-harapan dalam raut mereka. Yah... sekali lagi HARAPAN. Selama satu tahun lebih aku menghuni kota ini, kata berhuruf kapital yang kutulis diatas selalu saja mengikutiku dimanapun aku berada. Di pinggir jalan, di lorong-lorong, di kemudi pete-pete, diemper-emper toko, di pasar, di kamar,dan dimana-mana karena aku tidak bisa menyebutkannya satu-satu. Terlalu banyak. Jadi yang kusebutkan itu adalah garis besarnya. Wajah-wajah penuh harap itu adalah milik daeng-daeng becak yang magkal di hampir sepanjang garis jalan-jalan kota. Kerut-kerut penuh harap itu kepunyaan penjaja makanan yang berputar-putar dilorong-lorong sempit sambil berteriak. Muka-muka penuh harap itu adalah hak supir-supir pete-pete yang setiap hari berkelahi melawan waktu untuk mengejar setoran. Raut-raut penuh harap itu mendiami Pedagang Kaki Lima yang duduk bersila dalam potongan-potongan kardus, seng, dan tripleks di emper-emper toko. Bentuk-bentuk penuh harap itu adalah teman mereka yang menanti seseorang memborong apa yang mereka gelar diatas koran bekas di pasar. oho... ternyata harap juga mendampingiku ketika aku memandangi rupaku didepan kaca dalam kamar. Akhirnya aku punya satu kesimpulan yang tidak bisa diganggu gugat, kamu atau siapapun tidak boleh mengganggunya. Kamu bertanya kenapa? Hey... apakah kamu lupa? Itu adalah hakku. Jadi jangan membantah. Karena aku yakin kamu pun pasti akan angguk sepakat dengan kesimpulanku.

Kesimpulanku begini. Ternyata semua makhluk ciptaan sang Maha Agung, Allah SWT, memiliki, menyimpan, dan berencana melaksanakan sesuatu yang namanya HARAPAN. Mulai dari Manusia yang notabenenya adalah Khalifah, Hewan dan tumbuhan yang tujuan diciptakan untuk memenuhi kebutuhan sang khalifah, mikroorganisme yang hidupnya tak terpisahkan dari sang khalifah, mengetahui bagaimana rasanya berharap. Maka, berharaplah kamu akan sesuatu. Karena berharap adalah fitrahmu. Tapi ingat, jangan berharap sesuatu yang akan menjerumuskan kamu dan menjauhimu dari cahaya Ilahi Rabbi. Sangat berbahaya. Lebih dari Ekstrim balasannya nanti.

Sekian.......!!! itulah ceritaku. Bagus tidak??? bagus...bagus..., lumayan...lumayan..., jelek banget sih...,. Terserah kamu mau pilih yang mana. Karena itu hak kamu kan. Jadi aku tidak akan mencampuri ataupun memaksamu. Tapi yang paling penting kamu telah membacanya. Cihuuuiiiii......

Eh,,, cukup dulu ya. Aku mau istirahat. Mata ini sudah tidak mau kompromi lagi. Jadi,

wassalamuálaikum warahmatullahi wabarakatuh.[]

Makassar, 5 Februari 2009
21.14 WITA

*Aktivis Forum Lingkar Pena (FLP) Sulsel & HIPMIN Makassar

No comments: