EUFORIA TAHUN BARU DAN MIMPI-MIMPI DIDALAMNYA
Oleh : Ummu Syahidah A.R Badar*
Euforia pergantian tahun menjamur diseluruh belahan dunia 31 Desember 2008. satu persatu wilayah bahkan perorangan merayakannya dalam berbagai variasinya masing-masing. Momen bergantinya angka 00.00 ke 00.01 begitu berharga dan pentingnya bagi penggila malam tahun baru itu. Walaupun sebagian kecil atau malahan sebagian besar dari mereka belum memahami apa makna dari “Happy New Year” tersebut.
Makassar, si calon metropolitan menjadi salah satu kota yang juga berjibaku dengan gala tahunan itu. Berbagai lapisan masyarakat dari berbagai penjuru berbondong-bondong menuju tempat perhelatan. Bak semut mendapatkan gula, mereka melangkah ke pantai Losari. Tempat perayaan warga kota yang tidak pernah diikrarkan, tapi diakui.
Dari jendela pete-pete ( baca ; angkot) Minasa Upa yang membawaku pulang dari kampus malam itu, kuamati sekelompok-sekelompok manusia dengan gaya masing-masing berdiri disepanjang jalan Sultan Alauddin. Sangat nampak dari dandanan mereka akan kegemerlapan malam tutup tahun beberapa jam lagi. Hujan lebat yang sempat menguasai Makassar rabu siang tadi, tidak menyurutkan niat mereka. Bahkan gerimis yang mulai turun perlahan serasa tak berarti dibandingkan gemuruh perayaan yang membuncah-buncah dalam dada mereka.
Aku bukannya manusia yang kurang terlalu tertarik dengan momen-momen semacam ini. Hanya saja, rasa capek yang menggerogoti karena padatnya jadwal kuliah hari ini menambah kemalasanku untuk menggabungkan diri. Menurutku, ada perayaan atau tidak, tahun 2008 akan tetap berganti menjadi tahun 2009. begitupun seterusnya. Apalagi jika membayangkan hujan yang menyisahkan dingin akan menyapa. Ditambah angin laut yang bertiup semilir di Losari sana, brrr….!!! Menggigil rasanya tubuh ini.
Di ujung jalan Pettarani, tepatnya didepan STIKES YAPIKA, pete-pete berhenti. Seorang bocah berumur sekitar 9 tahun naik. Bocah itu memakai topi warna merah yang nampak kedodoran karena besarnya tidak sesuai dengan kepala si empunya. Kaos biru pudar dan celana panjang hitam melekat erat pada badannya. Serta sandal jepit hijau yang sudah tipis bentuknya. Bocah itu membawa beberapa helai Koran terbungkus plastik. Aku menduga bocah ini adalah pengecer Koran. Dia duduk persis dibelakang pak supir.
Aku terus mengamati bocah itu sampai ia memperbaiki letak topinya yang menutupi wajah kecilnya. Ketika membuka topinya, ia memandang kearahku (karena hanya aku penumpang saat itu). Ia mengganggukkan kepalanya padaku, tanda menyapa tanpa suara.
Aku terdiam lama tapi masih memandang bocah tadi. Aku seperti mengingat sesuatu. Tunggu..!! aku pernah melihat bocah ini. Ujarku dalam hati. Bukan hanya pernah melihat, tapi aku mengenalnya. Yah.. aku mengenalnya. Dia adalah Acok. Tetangga sebelah pondokanku yang terpisah satu blok. Bocah itu memperbaiki lagi letak topinya. Yah… itu memang Acok. Aku yakin.
Aku lalu mendekati dan menyapanya.
“Acok kan?” tanyaku. “cucu Daeng Anwar kan?”
Ia tersenyum dan mengangguk.
“Kakak yang tinggal di pondokan Primus kan? kakak kak Gunawan kan?” ia balik bertanya padaku.
“Iya betul,” aku tersenyum. “Acok darimana jam segini? Bawa koran lagi.” Aku menunjuk surat kabar dalam genggamannya.
“Acok jadi pengecer koran diujung jalan Pettarani tadi. Mulai dari pulang sekolah sampai sore. Hari ini sampai malam karena Koran Acok masih banyak yang belum laku. Jadinya lebih dari sore.”
“Oh… terus sekarang Acok mau kemana?”
“Pulang.”
“Mengapa Acok tidak naik pete-pete IKIP saja. Kan tidak perlu oper pete-pete lagi. Kalau lewat sini kan dua kali naik pete-petenya?”
“Acok mau singgah beli jagung rebus disamping Bank BNI untuk kakek dirumah.”
“Oh…..” sekali lagi aku ber oh…oh… ria.
Kami berbincang-bincang hingga empat orang wanita bergabung ketika pete-pete melewati jalan Andi Tondro. Dari dandanan dan gaya berpakaian mereka, aku menyimpulkan mereka akan merayakan tutup tahun malam ini. Pastinya Jalan Penghibur menjadi tujuan mereka. Tawa tak hentinya keluar dari mulut mereka. Bayangan keramaian seakan terpancar jelas dari wajah mereka kala kutatap satu persatu.
Didekat jalan Haji Bau, empat wanita tadi turun. Dari percakapan mereka, aku sempat mendengar mereka akan menggunakan becak untuk mencapai Losari. Tapi menurutku rencana mereka tidak akan terlaksana. Karena setahuku lokasi sekitar pantai losari mulai dari belokan jalan Kenari hingga jalan Pattimura akan ditutup total malam ini. Sementara persimpangan dekat hotel kenari pun akan ditutup. Jadinya keempat wanita tadi dipastikan akan berjalan kaki dari jalan Haji Bau ini sampai ke pusat perayaan malam tahun baru sebagaian besar warga Makassar di jalan Penghibur, Pantai Losari.
Aku dan Acok memandangi empat wanita tadi hingga angkot bergerak. Tiba-tiba Acok bersuara.
“Ternyata pengaruh westernisasi telah banyak merubah tatanan budaya bangsa ini.”
Aku terperanjat. Aku tidak menyangka kalimat yang baru saja kudengar tadi keluar dari mulut bocah kelas tiga sekolah dasar itu. Pilihan kata yang digunakan layaknya orang dewasa berpendidikan. Aku memandangnya takjub.
Acok kembali berkutat dengan Koran dalam genggamannya. Aku mengamatinya membaca berita demi berita didalamnya. Remang-remang lampu pete-pete tidak dapat menghentikannya. Acok memang telah terbiasa membaca dalam keremangan. Dari cerita tetanggaku, aku mengetahui bahwa seusai sholat subuh, Acok tidak pernah tidur lagi. Ia selalu membaca koran-koran yang sengaja ia sisahkan satu satu setiap harinya. Dengan ditemani lampu minyak ( listrik dirumah Acok dimatikan setelah subuh), ia melahap habis semua informasi yang terkandung dalam koran-koran tersebut.
Jadi tidak mengherankan jika Acok menjadi pribadi yang cerdas. Acok ternyata mempunyai cita-cita selangit. Ia ingin menjadi seorang Diplomat ulung agar bisa memperjuangkan nilai bangsa Indonesia dimata dunia. Selain itu ia mempunyai mimpi mengelilingi dunia bersama kakeknya. Sungguh cita-cita dan mimpi luar biasa untuk anak seusianya.
Aku dan Acok turun didepan Bank BNI karebosi. Aku menemani Acok membeli jagung rebus untuk kakeknya disamping kantor Bank BNI. Waktu memilih-milih jagung, aku menangkap pandangan Acok pada terompet tahun baru warna warni yang dijajakan bersebelahan dengan penjual jagung. Dari sorot matanya, aku tahu bahwa ia menginginkan terompet itu. Tapi ia kemudian menggelengkan kepalanya. Aku paham ia tidak mau tergoda. Dan juga, aku yakin uang hasil jerih payahnya hari ini telah ia pergunakan untuk membeli oleh-oleh bagi kakeknya dirumah.
Sambil menunggu pete-pete Daya-Sudiang, aku hendak membayar jagung yang Acok belikan tapi ia menolak.
“Acok ingin memberikan oleh-oleh untuk kakek dari hasil keringat Acok sendiri kak Gun,” ujarnya polos.
Ah.. Acok betapa cepat kamu dewasa sebelum waktunya.
“Baiklah… tapi jangan menolak kakak belikan Acok terompet itu ya?” bujukku sembari menunjuk terompet yang dilihatnya tadi.
“Tidak usah kak..”
“Pokoknya tidak boleh ditolak, ok!”
“Terima Kasih kak.”
Acok menerima terompet pemberianku dengan wajah sumringah. Ia tidak henti-hentinya meniup terompet barunya selama perjalanan menuju rumah. Tiga ibu-ibu dalam pete-pete nampak terganggu. Tapi mereka tidak menegur. Mungkin mereka mengerti bahwa malam ini terompet dapat dibunyikan tanpa mendapat larangan. Sekarang aku tahu, walau secerdas apapun Acok, ia tetap bocah 9 tahun yang akan selalu merindukan permainan anak-anak seumurannya.
Jarum jam hampir mendekati angka 10 waktu aku tiba di rumah. Aku sempat singgah sebentar dirumah Acok sebelumnya. Kakek Acok sangat senang menerima oleh-oleh dari cucu kesayangannya tersebut. dari kakeknya aku mengetahui bahwa Acok adalah cucu dari anak lelakinya. Kedua orangtua Acok meninggal lima tahun lalu akibat kecelakaan. Jadi Acok diasuh oleh kakeknya. Setelah berbincang-bincang sebentar. Aku lalu pamit pulang. Acok mengantarku sampai didepan rumah.
Setelah membersihkan diri dan melaksanakan kewajibanku sebagai hamba Allah yang sempat tertunda, aku langsung bersiap tidur. Mataku terasa sangat berat. Tapi walaupun kucoba menutupnya berkali-kali, aku tak kunjung lelap. Beberapa waktu kemudian, suara gaduh tersengar jelas ditelingaku. Aku beranjak bangun dan keluar kamar. Begitu keluar aku mendapati langit Makassar terang-berderang. Berbagai warna kembang api pecah dilangit dan ditemani bunyi dentuman layaknya ledakan ranjau. Sirene yang meraung-raung entah darimana asalnya menandai berakhirnya tahun 2008.
Ah…tidak terasa telah satu tahun lebih kulalui dibumi Sang Ayam Jantan Dari Timur ini. Waktu begitu cepat berlalu. Padahal rasanya baru kemarin aku bersua dengan Ayah Bundaku di Tidore sana. Kini 2009 telah menjemputku dengan segunung rencana masa depan.
Mataku kemudian tertuju pada rumah panggung khas Makassar dua blok sebelah pondokanku. Itulah rumah yang didalamnya berlindung seorang bocah dengan mimpi-mimpinya.
Aku teringat lirik lagu bang Iwan Fals dalam salah satu albumnya “Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu.” Aku mengumpamakan Acok sebagai anak kecil dilirik Bang Iwan itu. Acok adalah anak kecil yang selalu berkelahi dengan waktu setiap harinya. Tapi aku percaya, semangat dan mimpi-mimpinya yang dimilikinya akan menghantarkannya menjadi pemenangnya. Yah…Aku yakin!.
***
Makassar, 2 Januari 2009
14.33 WITA
*Aktivis Forum Lingkar Pena (FLP) Sulsel & HIPMIN Makassar