Friday, September 24, 2010

Must Reading Book...!!!

Temans, ini adalah buku wajib baca lho... ^_^

***

KATA PENGANTAR :

MEMBACA “PUISI RELIGI” FARADINA IDZHIHARY

Oleh: Dimas Arika Mihardja


MALAM itu, 24 Agustus 2010 saya menerima surat elektronik dari Faradina Idzhihary (FI) atau nama aslinya Istiqomah, kelahiran 7 Juli 1971. Intinya, saya diminta menuliskan kata pengantar untuk penerbitan buku puisi secara indie. Penerbitan buku antologi puisi secara “Indie” yang dia maksudkan ialah menerbitkan buku secara swadaya mandiri untuk kalangan terbatas sebagai rekam jejak kepenyairannya. FI dikenal pertama kali melalui jejaring sosial facebook, dan melalui jejaring sosial ini pula lalu Ia berkolaborasi dengan 9 wanita penyair lainnya menerbitkan secara bersama-sama buku antologi puisi “Merah Yang Meremah” lalu dengan 8 penyair wanita lainnya “Perempuan dalam Sajak” (Penerbit Kosa Kata Kita, 2010) yang merangkum puisi karya 9 penyair yang dibidani oleh Kurniawan Junaedie. Lantaran beberapa penyair dari 9 penyair ini telah menerbitkan buku secara perorangan, sebut saja Susy Ayu dengan “Rahim Kata-kata”nya dan Kwek Li Na dengan puisi Bunga Rindu di Sandaran Bintang, kini FI terpacu juga untuk turut menyemarakkan dengan dunia perbukuan. Mudah-mudahan keinginan menerbitkan buku ini bukan sekadar latah, melainkan memang sebagai fitrah dan kiprah yang menuju ke satu arah: penyair yang diperhitungkan.


Sebenarnya, selama pergaulan saya dengan FI lebih banyak diwarnai oleh silang-sengkarut dan perbedaan persepsi dalam hal penciptaan puisi. Entah apa yang mendorongnya menulis pesan melalui inbox “Mas, tolong buatkan pengantar untuk puisi-puisi religi yang akan saya terbitkan secara ‘indie’ sebagai rekam-jejak perjalanan agar bisa dibaca oleh anak-cucu, anak didik, dan teman-teman”. Mungkin jiwa keguruan saya tergugah sehingga lantas permintaannya itu saya iyakan. FI lalu mengirimkan draft antologi puisinya yang diberi judul “Tuhan, Aku Malu”. Lantas, dari mana dan bagaimana saya mulai memberikan pengantar?


Pengantar sebuah antologi puisi sebenarnya tidak selalu relevan, bisa dianggap nyinyir, cerewet, dan mungkin dapat menyesatkan pembaca. Sebuah antologi puisi sebaiknya tidak diberi pengantar dan membiarkan para pembacanya langsung berhadapan dengan puisi-puisi yang tersaji. Namun, lagi-lagi jiwa keguruan saya selaku pendidik tergugah (dan mengalah) untuk membuat kata pengantar ini dengan pertimbangan, pertama, dapat memberikan sedikit panduan bagi “pelajar” yang memiliki keinginan besar memahami dan memaknai puisi.


Kedua, kata pengantar sebuah buku puisi dapat dipandang sebagai jembatan penghubung antara penyair dan pembaca melalui puisi-puisi yang diciptakan. Ketiga, lantaran puisi ditulis dengan tujuan berkomunikasi, maka amat dimungkinkan terjadi kebuntuan komunikasi antara pembaca yang masih belajar dengan apa yang dimaui oleh penyair. Maka, tanpa bermaksud “menggurui”, pengantar ini dibuat dengan itikad memperlancar arus silaturahmi karya-kekaryaan.

***

MENYITIR pandangan Romo Mangunwijaya (alm.), pada awal mula segala seni sastra adalah religius. Itulah sebabnya mengapa para estetikus abad-abad lampau telah mencoba menerangkan apakah seni itu. Seni, sambil memperhitungkan adanya berbagai trend (ada puisi transendental, puisi sufistik, puisi Islami, dan puisi religius), dalam dinamikanya yang murni lazim ditanggapi sebagai kekayaan rohaniah manusia yang memberikan satu pesona, satu pengalaman tak sehari-hari, sesuatu yang transendental—yang dalam bahasa Plato merupakan bayangan keindahan sejati, yang menurut Bergson maupun Igbal ditanggapi kurang lebih sebagai ilham Ilahiat yang bahkan layak diperbandingkan dengan ilham kerasulan.


Walhasil, seni puisi itu sesuatu yang luhur, sebab watak seni puisi menuntut kejujuran (hanya melahirkan yang memang hidup dalam jiwa), menuntut simpati kemanusiaan (berbicara dari hati ke hati dan bukan dari ideologi ke ideologi), dan yang mengungkapkan haru (bukan “kepedihan”). Dengan demikian, seni puisi memang bergerak dari “arus bawah” hidup dan memunculkan ke permukaan undangan ke arah kedalaman. “Arus bawah” ini dikenal dengan religiusitas (bukan beragama). Haru itu sendiri, memang agaknya tak lain dari rasa hening yang aneh (yang sering tak disadari) yang menyebabkan orang tersentak dan menyebut: “Allah”. Dalam religiusitas ini terdapat nilai ibadah.


Seni puisi atau sajak, di satu pihak harus mampu mengajak seseorang beriman, mengagungkan Tuhan, dan di lain pihak ia harus mampu mengasimilasi sifat-sifat Tuhan seperti Asmaul-Husna (99 sifat Allah) dalam diri manusia seperti cinta kasih, penyayang, dan lain sebagainya, yang mampu membawa kedamaian bagi umat manusia. Penyair berkarya menciptakan puisi untuk menyesuaikan diri secara lebih baik dengan tata ciptaan-Nya. Dapat dinyatakan bahwa konsepsi estetik manusia-penyair berpangkal tolak dari tiga dimensi: religiusitas, personal-individual, dan mengungkap persoalan sosial. Berpangkal tolak dari konsepsi estetik seperti itu, marilah kita lacak beberapa sajak karya gubahan FI dalam buku ini.

***

Kita catat, puisi gubahan FI memiliki kecende-rungan naratif yang terpapar secara cukup panjang. Saya ingin menampilkan satu sajak lengkap yang menunjukkan kecenderungan tersebut mewakili religiusitas penyair FI. Kita simak bersama:


DI DEPAN PINTU 99

: Nadratul Aini (Thx kiriman artikel tentang 99 dosa besarnya)

telah kuputuskan pagi ini menggenapkan perjalanan hingga pintu ke sembilan puluh sembilan

namun surat yang kaukirimkan di antara riuh pesta dan hingar cahaya tergeletak tepat di depan pintu kamar

pesan yang kau tulis seperti jutaan pedang menusuk setiap lubang pori

: 99 pintu menuju jerit tak bertepi

gigil tubuhku melesat-lesat dalam lingkar waktu

menghitung jumlah pintu yang telah kujadikan tempat singgah kutemu,

kurang satu menggenapkan keabadaian tangisku

lewat kicau murai pagi kaubisikkan,

"bahkan seorang pembunuh yang belum menggenapkan perjalanan berhak atas tawa sedunia

saat jarak ke titik mula lebih dekat dari ujung pintu sembilan puluh sembilan"

tak dengan pedang kupaksa nyawa melayang

lidah penuh fitnah meremukkan tulang-tulang menebas sesiapa yang benari menantang

tidak dengan paha kujilati nikmat cinta

namun mata, bibir, dan kata-kata mengirim orgasme lebih dari nyata

tidak pula kusimpan berhala dan arca-arca

kupuja sekutu Nya namun kesempurnaan diri

kupatut-patut setiap hari menenggelamkan nama-Nya dari dada

di depan pintu nomor sembilan puluh sembilan

gemetar aku terkapar

sebelum hitam seluruh jalan

kutetapkan kembali ke titik awal

meski merangkak,

aku yakin Dia lebih cepat bergerak menarikku sampai

setan terus berseru-seru

sia-sia saja,

tulangmu telah lebur

sebelum sampai tujuan

di sinilah tempatmu menjerit sepanjang waktu

menghitung sesal tak bertepian

andai rasa mampu mengukur jarak

hendak kuhitung masihkah sempat sampai ke batas minimal

agar dapat kuraih selembar pengampunan

sebelum ajal menjatuhkan putusan

sebelum kumasuki pintu sembilan puluh sembilan

kudengar seruan kembalilah ...

Dia menunggumu tak pernah lelah

(Batu, 19 Februari 2010)


Puisi ini saya tampilkan sebagai penguat bahwa puisi-puisi FI cenderung panjang pemaparannya. Meskipun panjang, namun terasa benar kadar kepuitisannya, sebab di dalam setiap puisi yang diciptakannya memang didukung oleh unsur dan sarana kepuitisan seperti diksi, kata kongkret, majas, kias, lambang, korespondensi, intensifikasi, dan musikalitas. Puisi-puisi lain terpapar melalui judul-judul seperti berikut ini memberikan gambaran tentang substansi isinya: “Kesaksian”, “Sebelum Maut”, “Kematian”, “Sesal”, “Tentang Hati”, “Dalam Kerinduan” “Aku Melihatmu Menangis dalam Airmataku”, “Tafakur”, “Pasrah”, “Pilihan”, “Padamu”, “Ia yang Rindu”, “Jangan”, “Tuhan, Aku Malu”, “Mencarimu”, “Rindu, Rindu Ini”, dan aneka pertanyaan tentang “Engkau di mana?”, “Suaramukah?”, “Airmata Siapa?”, dan berbagai pernyataan seperti “Subuh Seorang Pelacur”, “Lakukan”, “Ajari Aku”, “Ia yang Kembali”, “Yang Hilang” dan lain-lain judul lagi yang memberikan gambaran usaha si aku lirik berdekatan, bersanding, bertemu, dan berdekapan.

***

Sebagai penyair yang terus berproses, FI menunjukkan produktivitas dalam berkarya. Hal yang perlu dicermati ketika seorang penyair produktif berkarya ialah kecenderungan kurang cukupnya pengendapan dan perenungan atas objek yang diungkapkan. Produktivitas berkarya pada taraf tertentu memiliki nilai positif. Namun, jika produktivitas hanya mengejar keinginan menulis, terkadang ada risiko terkait dengan penataan aspek kebahasaan, persoalan ejaan dan tanda baca, dan persoalan kedalaman perenungan.

Tanpa bermaksud memuji, puisi-puisi yang terdapat di dalam buku ini cukup mewakili “obsesi” penyairnya untuk memilih tema garapan puisinya, yakni puisi yang mengarah ke relegiusitas, transendental, atau sufistik. Namun, harus jujur juga dikatakan bahwa penyair besar yang telah memilih persoalan yang diungkapkan, misalnya puisi yang cenderung Islami, jika diikuti intensitas berproses secara kontinyu, terus-menerus, dan bahkan kalau perlu sampai “berdarah-darah” (sangat-sangat intens dan serius, bukan sebagai kerja sambilan) maka potensi penyair ini pada masanya pantas diperhitungkan sebagai penyair yang telah “memilih” penyair sebagai profesi dan memanfaatkan puisi sebagai sarana “mendidik” dan “mendewasakan” jiwa para pembacanya.


Demikianlah, pembacaan selintas-kilas puisi-puisi “religi” gubahan Faradina Izdhihary, yang menurut saya masuk dalam kategori puisi-puisi Islami, semoga dengan pengantar ringkas ini semakin membuat FI “istiqomah”. Salam kreatif.

Bengkel Puisi

Swadaya Mandiri

Jambi, 24 Agustus 2010


Epilog:

REKAM JEJAK PERJALANAN


Sebenarnya, menjadi penyair bukanlah sebuah obsesi atau cita-cita saya. Namun, menuliskan setiap lintasan-lintasan terutama berkaitan dengan hasil perenungan saya maupun di penghujung sujud dan dzikir dalam usia menjelang 40-tahun, ternyata mampu menipiskan keresahan dan kegelisahan saya dalam melakukan pencarian. Pencarian saya untuk menemukan ketenangan hati, pada titik puncak keimanan. Kadang-kadang terasa sepi, perih, mengiris, dan mengerdilkan hati. Catatan lintasan-lintasan hati ini membuat saya semakin menyadari betapa kecil dan tak bermaknanya diri, betapa masih jauhnya pencapaian diri untuk bisa islamy.


Tak heran, saya sering menuliskannya dalam deraian air mata. Saya tak peduli, apakah orang menganggap saya 'gila' atau aneh dengan keberanian saya menerbitkan kumpulan puisi ini. Inilah rekam jejak perjalanan saya untuk meniti puncak hati. Hingga kini, karena derasnya gelombang nafsu duniawi, kencangnya angin egoisme, dan kesombongan diri, perjalanan itu rasanya tak sampai-sampai.


Namun, jauh di lubuk hati, saya yakin, banyak pejalan yang melakukan perjalanan seperti saya. Kadang berjalan, kadang berlari, merangkak, merayap untuk mencapai titik fokus yang satu. Kadang pula kita menangis, menjerit, tersedu, berteriak, bersumpah serapah, bahkan bernyanyi bagai orang gila dalam kesunyian. Kita bersuara tanpa bunyi, tanpa nada. Hanya hati....Dan tulisan-tulisan saya adalah lagu dan sajak pencarian, yang saya torehkan sepanjang perjalanan.


Perjalanan ini belum selesai. Kerinduan diri masih terus meluap-luap, mendidihkan asa dan mengepulkan doa-doa pada setiap lubang pori. Sayang, dalam kenyataannya, setiap detik masih juga saya mengotori kerinduan ini dengan pengkhianatan-pengkhianatan. Tragis: kekufuran, kefasikan, kemunafikan .... hiks, masih terus saya pakai sebagai perhiasan diri.


Hingga, seringkali pada saat kesadaran hati merimbun, rasanya malu sekali pada Tuhan. Bagaimana tidak, setiap kali hati berseru: memohon ampun, memohon petunjuk, tapi selalu dan selalu mengulang kekhilafan dan dosa-dosa. Kadang, dengan angkuh hati ini menghibur diri, “Pintu ampunan-Nya tak pernah tertutup, Panjang maafnya tak bertepi,” sesuatu yang membuat diri menjadi lupa diri. Astaghfirullahal adhiem. Sungguh, sebenarnya di antara rasa takut, kerdil, rasa malu itu selalu menyelimuti hati. Sayang, kelemahan diri seringkali membuat diri terlampau sering terperosok, terperosok, dan terperosok lagi.


Karenanya, atas izin Allah serta doa teman dan sahabat yang dimakbulkan, saya menghadirkan catatan-catatan perjalanan itu dalam antologi puisi sederhana, yang saya beri nama, "Tuhan, Aku Malu".


Semoga rekam jejak ini bisa dibaca anak-cucu, murid-murid, sahabat, dan teman-teman.


Saturday, August 07, 2010

Berlatih Membedah...



MENELISIK MAKNA KESEMPURNAAN MANUSIA LEWAT

CERPEN “KELUARGA SEMPURNA” KARYA BENNY ARNAS


Oleh : Aida Radar


“…Mohon maaf bila dalam penyampaian saya tadi ada kekurangan di dalamnya, karena sesungguhnya saya hanyalah manusia biasa, manusia yang tak sempurna dan tak luput dari kesalahan...”


Kalimat seperti yang tertulis di atas ini kerap kita dapati atau bahkan kita ucapkan dalam berbagai pertemuan, baik pertemuan formal maupun nonformal. Kalimat demikian―secara tak langsung, sejatinya telah menjadi sebuah pengakuan bahwa kita, manusia, adalah mahluk yang tidak sempurna. Hal ini akan terdengar kontadiktif dengan pengertian hakikat manusia yang mengatakan bahwa manusia adalah mahluk paling sempurna yang pernah diciptakan Allah SWT. Kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah di muka bumi ini.


Ketaksamaan penjelasan itu memaksa kita untuk berkerut-kerut jidat; Lantas, apa makna kesempurnaan yang sebenarnya?


Adalah Keluarga Sempurna, cerpen karya Benny Arnas yang termuat di Surabaya Post pada medio ketiga Januari 2010 lalu mencuri perhatian penulis setelah khatam membacanya. Cerpen yang bercerita tentang keluarga yang sempurna dalam konteks yang sebenarnya ini awalnya, di September 2008, termuat dalam Orchard Road Buletin, sebuah buletin yang terbit di Singapura dengan judul Perfecto!.


Cerpen tersebut bercerita tentang kegundahan tokoh Aku (selanjutnya ‘Aku’) yang merasakan ketaklaziman dalam kehidupan rumahtangga bersama istrinya. Ketaklaziman itu ‘Aku’ rasakan sejak penyatuan dua hati mereka disahkan secara agama hingga dua tahun lebih kemudian. Kegundahan-kegundahan ‘Aku’, terbaca dalam tiga petikan berikut :


Sebenarnya ketaklaziman ini sudah cukup lama kurasakan. Ketika usia pernikahan kami baru seumur jagung. Tapi saat itu, ketaklaziman yang kurasakan lebih tampak sebagai adicita kehidupan yang telah menjadi nyata. Aku diserang euforia sebuah ektase berkeluarga yang mahalangka di zaman ini. (paragraf 2).


Tapi karena itu pula, aku makin yakin bahwa apa yang kami, lebih tepatnya aku rasakan, adalah benar-benar sebuah ketaklaziman. Ketaklaziman yang benar-benar akut. (paragraf 3)


Bayangkanlah. Aku adalah suami dengan keluarga kecil yang SE-LA-LU bahagia. Istriku tak pernah marah. Ia tak pernah mengeluh kalau uang belanja kurang. Tak pernah ada piring terbang yang menyentang-perenang di dapur. Tak juga pernah ada repetan tak henti bila si buah hati merengek di tengah malam. Istriku tak pernah seperti itu. Tak pernah, tak pernah, dan tampaknya tak akan pernah…… (paragraf 7).


Ketaklaziman keluarga sempurna dalam cerpen ini bertambah ketika anak mereka, Tio, lahir. Kelahiran Tio yang membawa kebahagiaan ‘Aku’ dan istrinya terus berlanjut tanpa kekurangan. Gerutuan teman-teman sekantor ‘Aku’ tentang segala kekurangan istri mereka dan anak-anak yang tak bisa diatur, tidak pernah ‘Aku’ dapati dalam keluarga kecilnya. Lewat pemikiran ‘Aku’, Benny Arnas mengumpamakan rumahtangga dalam cerpen ini seperti bahtera pada kolam dangkal yang tanpa riak. Bahtera yang hanya berjalan hanya pada air yang tenang tanpa ada gangguan paus, hiu putih, singa laut, gurita raksasa, apalagi badai dan ombak ganas seperti apabila bahtera direntangkan di lautan bebas.


Karena tak mampu menanggung kegundahan akan rumahtangga ‘aneh’nya itu, ‘Aku’ kemudian menumpahkan segala kegelisahannya dalam diary. Ia kerap bercerita dan menulis harapan agar suatu hari nanti dapat ia temukan kelemahan istri dan keluarganya hingga ia bisa hidup dalam keluarga yang lazim pada umumnya.


Kehidupan mereka berlanjut dengan kesibukan-kesibukan masing-masing. Hingga suatu hari, ketika ‘Aku’ pulang kantor lebih cepat dari biasa, ia mendapati sebuah pernyataan mencengangkan dari istrinya. Ternyata, selama ini, tak hanya ia yang merasakan ketaklaziman dalam rumahtangganya. Keanehan itu juga dirasakan istrinya. Istrinya mengungkapkan kalau ‘Aku’ terlalu sempurna untuknya. Apalagi kegelisahaan yang selama ini ‘Aku’ simpan dalam diary-nya juga telah dibaca istrinya. Berikut nukilannya :


…..Tapi sungguh, kata-katanya hari ini telah membuatku sadar bahwa ketaklaziman ini adalah hal luar biasa yang dapat meruntuhkan semuanya. Dan yang terpenting adalah, aku baru saja menyaksikan dan mendengarkan suatu pernyataan yang begitu menohok: Ketaklaziman ini bukan hanya milikku! Ia juga milik istriku! (Paragraf 58).


Hal yang lebih mengejutkan ‘Aku’ kemudian adalah bahwa Tio, anak yang menjadi perekat dan pemrakarsa paripurna kebahagian mereka ternyata telah meninggal dunia ketika ia sibuk dengan pekerjaannya. Cerpen Keluarga Sempurna ini ditutup dengan ending yang sungguh tak terduga.


Kami segera menuju kamar mandi, memandikan Tio, sebelum menyolatkan dan menanamnya dengan cara yang lazim. Ah, mungkin ini satu-satunya kelaziman yang benar-benar coba kami lakonkan, sebelum kelaziman-kelaziman lain yang akan kami temui dalam kehidupan kami yang baru nanti, kehidupan kami masing-masing. Kami akan berpisah.


‘Aku’ dan istrinya memilih untuk berpisah. Terlebih ketika Tio yang menjadi perekat ikatan pernikahan mereka telah meninggal. Mereka memutuskan untuk berpisah dan menjalani kehidupan sendiri-sendiri. Kehidupan yang berisi ketaksempurnaan dan tak dibayang-bayangi ketaklaziman-ketaklaziman.


Setelah menganalisa Keluarga Sempurna ini, lalu, saripati kehidupan apa yang penulis ambil darinya?


Keluarga Sempurna merupakan sebuah cerpen berisi pelajaran hidup yang bernas. Bahwa kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, dan manusia pun belum atau tak akan sanggup menjalani kehidupannya jika dihadapkan pada kesempurnaan (Meminjam pernyataan pengarangnya). Karena hakikat kesempurnaan pada penciptaan mahluk bernama manusia sesungguhnya adalah ketika ia menjalani hidup dalam ketaksempurnaannya. Wallahu’alam.

***

/Makassar, Juni 2010


Tuesday, July 06, 2010

Duapuluh Satu...???

dan aku (masih) bertanya...


telah meranggas tak berperi gempita yang berkoarkoar
dalam persembunyiannya
di gemerutuk gigigigiku
yang merapat seringai

lalu,
menjemput cicak bermain petak umpet
dan memaknai malam
: dengan cericit pembawa beritanya.

dan aku (masih) di sini
menulis sebuah tanda tanya di atas tanah pada taman depan rumah
adakah janji kita dahulu
—ketika aku akan menjelma nol
sudah kutepati?

dan aku (masih) tetap di sini
di bawah pancaran cahayaMu
melepas duapuluh
menggamit duapuluh satu yang kini mendekat.

***
merayakan umur yang kian memendek di setiap jengkalnya,
/makassar, 6 Juli 2010
Pukul 00.00 WITA