Wednesday, March 04, 2015

Tulisan untuk Lomba Resensi Buku FLP dalam Rangka Milad FLP ke-18



ROMAN SEMESTA: 
MENGUNGKAP RASA DAN SEMESTA FITRAWAN UMAR
 


Judul Buku : Roman Semesta
Penulis : Fitrawan Umar
Penerbit : Motion Publishing
Cetakan : 1, April 2014
Tebal : viii + 86 halaman
ISBN : 978–602700541–9

Membaca puisi berarti membaca siapa yang menuliskannya, membaca penyairnya. Puisi, sebagaimana jenis karya sastra lainnya berperan sebagai penyampai segala apa yang dirasakan penulisnya yang hendak diberitahukan pada orang lain. Edgar Allan Poe, seorang penyair yang dikenal sebagai figur Romantic Movement dalam kesusastraan Amerika mengatakan puisi adalah penjelmaan dan citarasa penyairnya. Itulah mengapa saat membaca puisi, kita seolah-olah merasa mengenal pengarangnya, merasakan apa yang dirasakannya, dan menjadi bersimpati hingga empati padanya, atau malah ada yang menjadi antipati terhadapnya.

Di tengah hiruk pikuk perpolitikan Indonesia yang membuat hawa di berbagai penjuru nusantara terasa panas saja, pembaca sastra di Indonesia disuguhi sebuah rasa yang berbeda melalui Roman Semesta; buku kumpulan puisi yang ditulis oleh penulis muda dari Sulawesi Selatan: Fitrawan Umar. Yang menarik dari penerbitan kumpulan puisi ini adalah disertakannya CD minialbum musikalisasi beberapa puisi di dalam Roman Semesta oleh kelompok musik bernama SeLsA. Jadi selain membaca puisi, kita pun bisa menikmati puisi yang dibacakan dan juga puisi yang dinyanyikan.

Sebagaimana judulnya, puisi-puisi di Roman Semesta bercerita tentang segala dalam semesta yang direkam dan dirasakan penulisnya. Puisi-puisi dalam buku ini dibagi menjadi tiga bagian yang mewakili sub-tema yang tidak sama, meskipun benang merahnya tetaplah Roman Semesta. Tiap bagian memuat puisi berjudul Roman Semesta sebagai (semacam) puisi selamat datang, dari Roman Semesta, Roman Semesta (2), dan Roman Semesta (3). Pada bagian ini, saya bisa melihat ke-kreatif-an penulis (mungkin juga tim penerbitan: editor dan layouter) dalam menempatposisikan puisi-puisi sesuai dengan sub-tema yang mereka harapkan bisa ditangkap pembaca. Sebagai gambaran, mari kita lihat penggalan Roman Semesta yang saya maksudkan:

ROMAN SEMESTA
Sepasang pagi dan embun
hangatkan jiwa rimbun…

Daun-daun telah terjaga
matahari meraja…

Cita cinta kita akan nyata
dalam roman semesta
pada hidup yang rahasia
(hal. 3)

ROMAN SEMESTA (2)
Pada hidup yang rahasia
sejarah tidak pernah patuh
pada silsilah…

Keadilan sebetulnya hanya serpihan
dari segala roman
berserak entah ke mana…

Kita menunggu,
suara-suara yang dibungkam
dalam semesta
akan
tersingkap dalam doa
(hal. 25)

ROMAN SEMESTA (3)
Tersingkap dalam doa
aneka suara
dari pencinta


memang cinta tidak seberapa besar
dari masalah

tetapi masalah besar acapkali
bermula
dari cinta
(hal. 53-54)

Dari tiga penggalan puisi Roman Semesta, Roman Semesta (2), Roman Semesta (3) di atas, dapat terlihat bahwa penulisan dan penempatan puisi di dalam bagian-bagian tertentu di Roman Semesta bukanlah tanpa tujuan. Setelah membaca berulangkali, dari depan hingga belakang, lalu mengecek kecurigaan-kecurigaan saya terhadap tujuan penempatan puisi-puisi itu, serta saling berhubungannya mereka satu sama lain, saya lalu tiba pada satu kesimpulan: Roman Semesta adalah usaha penulisnya mengungkapkan aneka perasaannya terhadap hidup dan semesta yang direkamnya sekaligus memberi gambaran sudut pandang dalam memaknainya. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan M. Taslim Ali, penyair dan penerjemah Indonesia angkatan tahun 50-an, bahwa puisi adalah gambaran getaran jiwa penyairnya yang disampaikan dengan bahasa yang indah perihal apa yang dilihat, dialami dan dirasakannya.

Dengan membaca seksama, Roman Semesta memberi semacam penegasan tentang posisi berdiri penulisnya. Dari bagian pertama puisi Roman Semesta, pembaca mungkin bisa membayangkan jika Fitrawan Umar adalah seorang yang sering bersinggungan dengan usaha pelestarian lingkungan tanpa melihat profil penulis yang menginformasikan ia adalah mahasiswa Ilmu Lingkungan yang tentu saja berinteraksi dengan isu-isu lingkungan. Hal itu terbaca dari puisi-puisi tentang lingkungan hidup dengan menggunakan simbol flora dan fauna sebagai representatifnya, tentang semakin memburuknya lingkungan yang kita tinggali saat ini sehingga untuk merasakan // Sepasang pagi dan embun/ hangatkan jiwa rimbun/ yang dibekap sunyi// Daun-daun telah terjaga/ matahari meraja/ bunga-bunga rekah semanis senyuman.// mungkin hanya bisa didapatkan di dalam imajinasi saja.

Puisi Roman Semesta (2) punya cerita yang berbeda, meskipun masih sambungan dari puisi pembuka di bagian pertama. Posisi sebagai pengamat fenomena sosial budaya di dalam masyarakat dan kearifan lokal khususnya Bugis-Makassar (tempat dimana penulis berasal) memperlihatkan semesta lain yang dimiliki Fitrawan Umar. Puisi Langit yang Tersenyum (hal. 39), Mappaendeng (hal. 28), Orang-Orang Asing di Rumah Kita (hal. 35) dan puisi-puisi lainnya jelas mengonfirmasi posisi berdiri penulis dalam berpuisi yang sepertinya berpandangan bahwa // Pada hidup yang rahasia/ sejarah tidak pernah patuh/ pada silsilah/ kuasa dan dinar masih meraja// Keadilan sebetulnya hanya serpihan/ dari segala roman/ berserak entah ke mana/ sebab yang nyata/ adalah juga yang semu/ tidak lagi ada beda//. Mungkin saja Fitrawan Umar sepakat dengan Gie, bahwa keadilan dan kebenaran cuma ada di langit?

Kisah cinta sepertinya mewarnai Roman Semesta (3). Pada bagian ini, puisi-puisi membincang cinta tak hanya perihal lelaki dan perempuan, namun tentang cinta secara universal, seperti puisi Ibu (Tak Terbatas Waktu)—(hal. 80). Meskipun demikian mayoritas puisi ternyata mengemukakan beragam rasa di dalam kisah-kisah percintaan antara laki-laki dan perempuan yang kadang terasa manis, asam, hambar, dan tentu saja, pahit! Rasa asam dan pahit dalam percintaan mendominasi bagian terakhir buku puisi ini sebab terdeteksi adanya keragu-raguan, ada sakit hati, ada penyesalan, dan ada kekecewaan yang coba direkam (atau mungkin pula dirasakan langsung) oleh Fitrawan Umar. Sekadar saran, puisi Kenangan pada Jendela (hal. 72) dan Yang Tak Bisa Mencintaimu Lagi (hal. 73) mungkin perlu dihindari bagi pembaca yang baru saja merasakan pipi merona merah dan jantung berdegup kencang saat bertemu seseorang yang lama disimpan di dalam hati.

Semula saya menduga tiga bagian di Roman Semesta yang mewakili sub-tema masing-masing juga akan saya dapatkan dalam isi CD minialbum SeLsA. Namun ternyata saya salah. Hal ini cukup saya sayangkan karena tiga posisi berdiri penulis yang ditemukan dalam buku tidak direpresentasikan oleh musikalisasinya padahal mereka adalah sebuah kesatuan. Pada CD minialbum-nya, kebanyakan yang dimusikalisasi adalah puisi-puisi di di bagian Roman Semesta (3). Hanya ada satu puisi dari bagian pertama dan juga bagian kedua buku. Hal itu membuat saya kembali menduga-duga, mungkin saja dari tiga posisi berdirinya dalam berpuisi, Fitrawan Umar lebih menempatkan rasa dan semestanya pada // …./ aneka suara/ dari pencinta.// Ya, mungkin saja.

*** 

Catatan:
Resensi ini pernah dimuat di website Makassar Nol Kilometer pada 3 Juni 2014 http://makassarnolkm.com/roman-semesta-mengungkap-syair-rasa-dan-semesta-fitrawan-umar/

Penulis Roman Semesta
Fitrawan Umar adalah anggota Forum Lingkar Pena Sulawesi Selatan sejak 2008 hingga sekarang. Penulis kelahiran Pinrang, Sulawesi Selatan, 27 Desember 1989 ini pernah menjabat sebagai Ketua FLP Ranting Universitas Hasanuddin Makassar periode 2009-2010 dan berlanjut sebagai Ketua FLP Wilayah Sulawesi Selatan periode 2010-2012. 

Peresensi
Aida Radar adalah nama pena dari Ummu Syahidah Abd.Rahman Badar. Lahir di Kota Tidore Kepulauan, Propinsi Maluku Utara, pada 6 Juli 1989. Menamatkan S1 di Universitas Muhammadiyah Makassar dan kini sedang menempuh studi Pendidikan Bahasa Inggris di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Dari tahun 2008 hingga sekarang menjadi bagian dari Forum Lingkar Pena Sulawesi Selatan.
Facebook: Aida Radar
Twitter: @AidaRadar
Email: ummusyahidah.arb@gmail.com
Blog: aidarahmanbadar.blogspot.com


Saturday, February 21, 2015

Puisi Harian Cakrawala Makassar, 21 Februari 2015



http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2015/02/21/orang-orang-yang-pulang-dan-pergi-703022.html

Untuk membaca puisi saya: Orang-Orang yang Pulang dan Pergi, silakan klik gambar di atas. Terimakasih sudah membaca. :)

Monday, December 29, 2014

CERITA PAGI





DOA-DOA DAN PERLINDUNGAN-NYA

Bahwa doa-doa punya jawaban dan waktunya tersendiri. Tak ada yang lebih cepat atau terlambat.
Yang ada hanyalah pada saatnya, tepat pada waktunya. Di keadaan yang bahkan tak diduga sebelumnya.

Pagi ini sepulang membeli bubur ayam langganan di Gegerkalong Tengah, mata saya tertuju pada seorang lelaki berkacamata yang berjalan tanpa alas kaki. Saya heran, di puncak dinginnya udara Bandung akhir-akhir ini, kok bisa-bisanya dia tak bersandal, menginjak aspal yang demikian dinginnya.  Secara sambil lalu saya memikirkan hal itu.

Lelaki itu sepertinya menyadari kalau saya sempat melihat ke arahnya tadi.

Beberapa langkah berjalan saya mendengar teriakan di belakang dan seorang Mamang melewati saya sambil berkata “hati-hati, Teh. Dia lagi ngamuk!” lalu terburu-buru berjalan ke depan. Saya melihat ke belakang. Dia yang dimaksudkan Mamang tadi adalah lelaki yang tak bersandal itu. Posisi berjalannya tak jauh dari dari posisi saya berjalan. Menyadari hal itu, saya mulai gemetaran.
Di depan sebuh toko kue, saya berhenti dan berbelok menuju toko kue itu. Hanya agar tak berada di depan lelaki itu saat berjalan, saya berencana berhenti sejenak. Tak disangka, lelaki itu malah mengekori saya. Dia memukul-mukul banner di butik di samping toko kue. Duh! Kenapa dia mengikuti saya? Saya ketakutan sekali. Astaghfirullah… Astaghfirullah… Astaghfirullah…

Mencoba nampak tenang, saya keluar dari area toko kue dan lanjut berjalan. Lelaki itu juga keluar dari area toko kue dan berjalan setengah berlari di belakang saya sambil berteriak-teriak. Pandangan semua orang di jalan bertumpu padanya. Di depan saya seorang ibu bahkan siap-siap berlari menjauh. Wajah ketakutan dan panik terbaca di sana. Saya mempercepat langkah. Ketakutan. Astaghfirullah… Astaghfirullah… Astaghfirullah…

Saat hendak berpapasan dengan ibu yang ketakutan tadi, lelaki itu berteriak lagi dan berlari kencang  ke arah kami. Saya sudah hampir pingsan mengira dia akan memukul kami. Namun ternyata tidak. Dia memukul pagar besi di samping tempat saya dan ibu tadi berdiri. Lutut saya rasa-rasanya kehilangan mur-mur penyangganya. Ibu tadi semakin panik.  

Lelaki itu saya kira akan berjalan terus di depan kami. Dugaan saya meleset lagi. Setelah memukul keras kaca spion pada sebuah mobil yang lewat di jalan, berdiri di tengah-tengah jalan dan hendak memukul beberapa pengendara motor yang berjalan pelan, dia duduk di depan mobil yang diparkir di depan MQ Guest House, tertawa-tawa dan melihat ke arah saya dan ibu tadi. Mencoba berani, ibu tadi mengajak saya berjalan lagi, melewati lelaki itu.

Ketika berada tepat di depan salon muslimah dan berhasil melewati GuestHouse, lelaki itu mengejar. Tak jauh di samping kanan saya, sebuah tempat sampah yang terisi penuh ditendangnya kuat sekali. Seluruh isi dalam tempat sampah berhamburan. Ibu di depan saya berteriak. Saya sudah hampir menangis, namun mencoba menunjukkan wajah yang tenang dan bersikap seorah-olah tidak mempedulikan aksi lelaki itu. Saya pernah mendengar orang berkata saat ada orang gila mengamuk, jangan pedulikan. Mereka hanya mencari perhatian. Toh nantinya akan berhenti sendiri. Maka saya mengikuti wejangan itu.

Namun tak berhasil. Lelaki itu malah menjadi-jadi. Masih di depan kami yang terhenti karena kaget, didudukinnya sebuah motor sambil bergoyang-goyang, mengambil paksa kerupuk yang tergantung di depan warung makan. Sembari dia melakukan aksi itu, saya kembali menguatkan hati dan bersama ibu tadi menyeberang jalan agar tidak berada di satu sisi jalan yang sama dengan lelaki itu. Melihat kami menyeberang, lelaki tadi sontak membuang kerupuknya dan berlari menyeberang mengikuti kami. Tampangnya sungguh menakutkan sekali. Ya Allah… hamba berlindung kepadaMu dari gangguan orang itu. Ya Allah… hamba berlindung kepadaMu dari gangguan orang itu. Ya Allah… hamba berlindung kepadaMu dari gangguan orang itu… Di dalam hati saya berdoa tak henti-henti. Lelaki itu masih ada di belakang. Ketakutan saya bertambah berkali lipat.

Plaaakkk! Plaaakkk! Tiba-tiba suara seseorang ditampar terdengar dari belakang. Saya sontak berbalik dan bertanya-tanya. Di depan konter hp seorang bapak terlihat menampar dan memukul lelaki itu hingga terjengkang. Bapak itu marah. “Pulang kamu! Pulang kamu!”

Orang-orang di sekitar langsung menumpuk di tempat kejadian. Lelaki itu ditampar bapak tadi lagi. “Kurang ajar! Mencuri dagangan orang, mengganggu kendaraan dan orang yang lewat.” Plaaakkk! Plaaakkk!

Langkah saya terhenti. Lelaki itu saya lihat terduduk di tanah dan mulai menangis. Orang-orang semakin berkerumun. Saya terdiam.  Lelaki yang sakit mental itu tak akan mengganggu lagi. Ibu tadi tak sudah terlihat. Mungkin telah berjalan jauh di depan.
Beberapa menit selepas itu saya kembali berjalan menuju rumah. Benak saya bercampur aduk, entah lega entah sedih. Semasa berjalan ini saya sekonyong-konyong menyadari sesuatu.

Doa-doa yang saya kirimkan di tengah gemetar dan ketakutan tadi dijawab-Nya?

Allahuakbar! Allahuakbar! Allahuakbar! …

Saya takbir berkali-kali. Mata saya berair. Bubur ayam di kantong yang saya pegang sedari tadi, masih terasa hangat.

*
—Aida Radar, Bandung, Pagi Ini.

 #Ilustrasi dari sini