Ilustrasi oleh Kim Si Hoon |
Saya pertama kali membaca cerpen
ini saat juga pertama kali mengunjungi perpustakaan pusat ITB hampir dua tahun silam.
Sebagaimana kebiasaan kali pertama mengunjungi sebuah perpustakaan, saya belum
langsung membaca paten. Saya berwisata lebih dulu. Berjalan dari tiap-tiap rak
buku. Bila tertarik pada judul atau kaver buku di rak-rak tersebut, saya
langsung meraihnya dan membaca sekilas untuk jadi buku rekomendasi bacaan selanjutnya.
Selama wisata perpustakaan itu, saya menemukan Koreana di ruang majalah lantai
tiga perpustakaan. Awalnya saya hanya sekadar melihat-lihat gambar-gambar di
majalah itu sembari berdiri, namun begitu tiba di beberapa halaman terakhir
majalah, saya mendapati sebuah cerpen yang halaman sebelumnya berisi tulisan
kritik bagi cerpen itu.
Koreana Volume 4 Nomor 2 |
Saya jadi menunda wisata ke
lantai empat perpustakaan. Mencari kursi lalu mulai membaca cerpen Musim Dingin
di Luar Jendela karya Choi Eun Mi ini. Baru membaca tiga paragraf awal, saya tersadarkan
dan terdesak oleh jadwal kuliah siang yang akan berlangsung dalam 30 menit.
Akhirnya dengan ketakrelaan belum menuntaskan isi cerpen, pembacaan saya
terpaksa dihentikan. Sembari kembali ke kampus, saya berjanji pada diri sendiri
untuk balik lagi dan membaca sampai kelar cerpen ini.
Hari-hari berlalu, saya
disibukkan dengan tugas-tugas kampus dan beberapa aktivitas yang membuat saya
belum mengunjungi lantai tiga perpustakaan ITB lagi. Meskipun begitu, mungkin
karena telah berjanji, saya merasa memikul sebuah beban berat selama belum
membaca cerpen itu sampai selesai. Demi menggelindingkan beban itu, Jum’at
pekan kemarin sampailah saya lagi ke lantai tiga perpustakaan lalu mencari
Koreana yang pernah saya baca itu dan membaca kembali cerpen yang sama, mulai
dari awal.
Konten Koreana berbahasa
Indonesia, jadi cerpen ini pun berbahasa Indonesia, yang diterjemahkan langsung
dari Bahasa Korea oleh Koh Young Hun. Mungkin sebab terjemahan itulah (saya
belum familiar dengan tulisan panjang terjemahan langsung dari Bahasa Korea ke
Bahasa Indonesia), saya perlu waktu membaca lebih panjang dari biasanya untuk
membaca sebuah cerpen. Atau mungkin juga
karena cerpennya cukup panjang (cerpen yang panjang), kira-kira tiga kali lipat
ukuran cerpen koran Indonesia. Atau kemungkinan lain, seperti penghayatan yang
dalam yang dicurahkan pengarangnya pada cerpen ini sehingga untuk sampai pada
pembaca, saya pun harus membacanya dengan kadar penghayatan yang sama. Apalah
itu. Yang penting saya akhirnya tuntas membaca cerpen ini (Yeayyy). Di jendela
kaca di samping saya, langit yang tadinya jingga, telah berubah hitam dengan
taburan cahaya bintang-bintang.
Yang saya tahu sesaat setelah
kelar membaca cerpen ini adalah saya terombang-ambing. Apa yang sebenarnya cerpen ini bicarakan? Saya kesulitan memahami
maksud pengarang. Saya menduga karena belum terlalu terbiasa membaca terjemahan
langsung tulisan berbahasa Korea ke Bahasa Indonesia. Atau mungkin juga karena
ada lompatan-lompatan fragmen yang cukup sering, dari fokus satu ke fokus yang
lain? Entahlah. Namun, saya jadi tidak tenang. Penasaran sekali menggali makna
di baliknya.
Maka menujulah saya di pembahasan
mengenai cerpen ini yang ditulis oleh Chang Du Young, seorang kritikus sastra
di Korea Selatan. Selain karena “cerpen”-nya, saya senang mendapati tulisan
yang mengorek makna cerpen dihadirkan bersama dalam sebuah edisi majalah. Saya
bisa belajar memahami makna-makna lain dari kacamata yang berbeda, sehingga dapat
memperkaya pemahaman saya akan cerpen tersebut.
Reviu Musim Dingin di Luar Jendela oleh Chang Du Young |
Benar saja. Dari penjabaran inilah,
keadaan terombang-ambing saya sedikit mereda. Saya kemudian jadi tahu apa yang
sebenarnya diceritakan Choi Eun Mi dan ditangkap oleh Chang Du Young. Setelah
membaca reviu ini, saya kembali ke cerpennya dan membaca sekali lagi. Mencoba
menemukan apa yang ditarfsirkan Chang Du Young atas cerita Choi Eun Mi.
Saya tak akan menceritakan detail
isi cerpen ini di sini. Hanya bahwa Choi Eun Mi menulis tentang tokoh
laki-lakinya yang mengidap sebuah penyakit, dan tersebab penyakitnya, laki-laki
itu selalu merasa tidak bisa memiliki banyak hal yang dia inginkan dalam
hidupnya. Hal-hal yang dengan mudah dirasakan dan dimiliki orang lain tak bisa
dirasakan dan dimilikinya. Termasuk di dalamnya bermain-main dengan keponakan
perempuannya dan memiliki keluarga bersama seorang wanita teman satu kantor
yang potret wajahnya sedang memandang ke luar dari kaca jendela bis, bercahaya
tertimpa cahaya matahari di musim dingin. Laki-laki itu berada dalam kesedihan
dan rasa putus asa yang dalam.
Sedikit memahami isi cerpen ini,
saya menjadi sedih. Seperti ikut merasakan kesedihan dan rasa putus asa
laki-laki itu. Apa yang akan kau lakukan jika sesuatu yang kau miliki telah
menghalangimu dari mewujudkan harapan-harapan dan mencapai kebahagian-kebahagiaan?
Demikian mungkin pertanyaan yang sering muncul di benak laki-laki itu. Saya
menjadi semakin sedih.
Membaca cerpen ini mengingatkan
saya pada cerpen The Year of Spaghetti karya Haruki Murakami, yang sangat saya
sukai. Cara Choi Eun Mi menceritakan “kesedihan” di cerpen ini hampir sama dengan
cara Murakami menceritakan “kesepian” dalam cerpennya. Mereka menceritakan
segala kejadian dan aktivitas dunianya lewat observasi perasaan dan pikiran
tokohnya. Mereka juga sama-sama menutup cerpen masing-masing dengan kejutan
yang menjelaskan mengapa segala kejadian
dan aktivitas dunia lewat observasi perasaan dan pikiran tokohnya perlu
diceritakan sebelumnya. Lompatan-lompatan kejadian dalam cerpen Musim Dingin di
Luar Jendela yang tadinya mengganggu saya, ternyata menyimpan maksud itu.
Musim Dingin di Luar Jendela mengandung
kesedihan. Seperti juga tafsiran Chang Du Young atas cerpen-cerpen Choi Eun Mi
lainnya yang terangkum dalam antologi berjudul “Mimpi yang Terlalu Indah” (saya
ingin bacaaa!). Menurut Chang Du Young, cerpen-cerpen Choi Eun Mi dipenuhi
kesedihan. Ya, Musim Dingin di Luar Jendela membuktikan itu. Karena terlalu
sering bercerita tentang kesedihan, sampai-sampai Chang Du Young menyebut Choi
Eun Mi menggambarkan “hidup adalah seperangkat tragedi yang menyakitkan dan
kehidupan sehari-hari digambarkan sebagai proses mencoba bertahan dari
kesedihan.”
Ah, demikianlah!
Semula saya mengira jadwal tutup
perpustakaan di jam delapan malam akan mengangkat sepenuhnya beban saya karena
telah membaca cerpen ini hingga selesai. Namun saat itu juga saya teringat dua “bacaan
setengah jalan” di dua perpustakaan lain. Satu cerpen berjudul “Di dalam
Mangkuk” karya Kim Sum di majalah yang sama dengan edisi berbeda. Adanya di
perpustakaan Museum Konferensi Asia Afrika. Dan satu novel Tolstoy “Rumah
Tangga yang Bahagia” di sebuah perpustakaan dekat kampus Universitas
Muhammadiyah Maluku Utara di Ternate.
Aih, beban saya ternyata belum
menggelinding sempurna. Masih tertahan di sebuah batu di antara reruntuhan.
Saya perlu mengenyahkan batu itu. InshaAllah ^^