Gejolak Jiwa Muda
Oleh : Ummu Syahidah A.R Badar*
Guyuran hujan lebat semalam mulai mereda sedikit demi sedikit. Berganti dengan gerimis yang terdengar menyentuh genteng satu per satu diatas kamarku. Makassar memang selalu mendung diakhir tahun. Desember kelabu.
Aku menarik selimut menutupi seluruh tubuhku yang menggigil kedinginan. Nyaman sekali rasanya tidur di musim penghujan seperti hari ini. Suara syahdu di subuh hening yang menggema dari berbagai menara di kota ini, terdengar seperti alunan lagu mellow penumbuh rasa kantuk. Kelopak mataku terasa seperti ditahan berton-ton batu ketika aku mencoba membukanya. Tidak ingin rasanya badan ini bangkit dari tempat tidur. Ah…..sungguh tidak bersyukurnya manusia. Ketika diberi kenikmatan dan kesenangan, memenuhi panggilan sang penguasa jagat raya kurang dipedulikan.
Aku menggeliat pelan. Kutepis selimut yang tadi menutupiku. Dingin mulai menyergap masuk ke dalam pori-poriku. Rasa kantuk yang menguasai berangsung-angsur hilang. Kelopak mataku mulai terasa hanya ditahan satu butir batu. Dengan langkah sempoyongan aku menuju tempat wudhu.
Adzan baru saja berakhir waktu aku membuka gembok pagar asrama. Kupercepat langkahku menuju mesjid yang berjarak kurang lebih 150 meter dari tempat tinggalku. Rintik-rintik sisa hujan yang membasahi peci hitamku dan dingin yang menusuk tak mengurangi niatku untuk segera mencapai bangunan berkubah dua lantai di kompleks sarat penduduk ini.
Aku memasuki rumah Allah ketika imam mulai membaca surah Al-Fatihah. Menyesal rasanya tidak sholat sunnah sebelumnya. Aku lalu bergabung dengan sembilan makmum yang rata-rata berusia empat puluh tahun keatas. Segera aku melakukan takbiratul ihram agar tidak ketinggalan.
Setelah selesai sholat dan membaca kalamullah beberapa lembar, mataku memandang sekeliling ruangan mesjid. Aku mencari sesosok laki-laki. Nah… itu beliau di sana. Duduk tepekur tepat di belakang tempat imam. Matanya tertutup tapi mulutnya tidak. Beliau sedang berdzikir. Beliau tampak bercahaya dengan peci dan jubah putihnya.
Kuletakkan kembali mushaf ditempatnya. Kemudian mendekati lelaki tadi dan duduk di sebelahnya. Aku menunggu lelaki berumur 63 tahun yang telah kuanggap sebagai ayahku ini selesai berdzikir. Yah… lelaki yang bernama Bapak Hanafi ini, telah menjadi orangtua angkatku selama satu tahun aku menuntut ilmu di tanah Sultan Hasanuddin ini.
Rasa rindu dan sepi ketika jauh dari orangtua di kampung sana, sedikit terobati dengan adanya orangtua baruku itu. Tidak ada prosesi pengangkatan anak seperti pada umumnya ketika aku dijadikan anak mereka. Tetapi panggilan bapak dan ibu (begitu aku biasa menyapa beliau dan istrinya) kepadaku “ Ya Bunayya” menjelaskan semuanya.
Rumah bapak dan ibu berjarak 500 meter dari mesjid. Tapi meskipun rumahnya agak jauh, bapak hampir tidak pernah absen berjamaah di mesjid. Jika hujan deras dan banjir menggenangi depan rumahnya, beliau akan menggunakan payung terbesarnya dan mengangkat sarung hingga beliau bisa ke mesjid.
Ayah angkatku adalah seorang guru honorer sejak beliau mengabdi 35 tahun yang lalu. Beliau hampir tidak pernah mengeluh walaupun hidup dengan gaji pas-pasan. Ibu angkatku juga hampir tidak pernah menuntut suaminya memberikan uang belanja lebih. Beliau malahan membuka warung nasi dan pallubasa untuk membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ah… dua orang yang kukagumi dikota ini mengingatkanku pada idolaku dikampung sana. Mama…. papa….
“Ya bunayya, sudah lama disini?” Bapak menegurku. Rupanya beliau sudah selesai berdzikir. “Bapak tidak melihatmu sebelum adzan tadi. Jadi bapak pikir kamu tidak datang berjamaah. Ternyata kamu ada,” lanjutnya sembari tersenyum.
“Iya ni pak, maaf. Saya tidak bisa tidur tadi malam. Saya baru bisa tidur kira-kira jam dua. Ditambah hujan dan dingin, Jadi saya terserang penyakit malas bangun waktu adzan tadi,” jawabku sedikit malu dan mencium tangan lelaki yang masih kelihatan muda itu.
Sebenarnya aku tidak bisa tidur tadi malam karena pikiranku dipenuhi dengan berbagai fenomena yang sedang in saat ini. Sesungguhnya fenomena yang kupikirkan bukanlah masalah pribadiku. Hanya saja darah mudaku sebagai seorang mahasiswa dan aktivis kampus selalu bergejolak jika melihat atau menilai sesuatu yang kurang jelas dan tidak kumengerti terjadi dimasyarakat. Memang semua itu tidak merugikanku, tapi aku hanya tidak ingin masyarakat mengambil keputusan yang keliru.
Jujur aku akui, aku bosan dengan gambar warna-warni yang terpampang di sepanjang jalan-jalan kota. Gambar-gambar yang menampilkan foto-foto berbeda dengan senyum yang rata-rata sama. Gambar yang background-nya menunjukkan dari mana mereka berasal. Gambar-gambar yang jumlahnya melebihi spanduk-spanduk dan papan iklan disetiap sudut kota. Gambar-gambar yang coba menunjukkan betapa pedulinya mereka akan nasib rakyat. Gambar-gambar yang juga menawarkan janji-janji menggungah, “rakyat akan disejahterakan jika mereka terpilih nanti”.
Sesungguhnya janji-janji yang ditawarkan gambar-gambar itu tidak hanya terjadi tahun ini. Aku bahkan sudah pernah dan selalu membacanya sejak aku duduk dibangku sekolah dasar dan mulai mengenal tulisan.Tapi lagi-lagi, kesejahteraan yang dijanjikan pada waktu lampau belum kunjung menunjukkan hasil. Meskipun begitu, setiap musim pemilihan umum seperti sekarang ini, kalimat janji-janji tadi tetap saja digunakan.
Bangsa ini selalu terpuruk dimata dunia. Presentase rakyat miskin melonjak tajam setiap tahun. Belum lagi jika krisis internasional melanda. Putus Hubungan Kerja akan berlaku dimana-mana. Kejadian ini justru terjadi setelah para pemilik gambar-gambar berbagai warna tadi berhasil duduk dikursi penguasa. Serta bagi mereka yang menamakan diri mereka sebagai wakil rakyat.
Aku kadang berpikir. Fenomena musiman ini layaknya proses jual beli kosmetika wanita. Berbagai merk keperluan wanita itu menawarkan janji-janji akan hasil yang memuaskan setelah membeli dan memakainya. Kulit hitam menjadi putih, wajah berjerawat akan kembali mulus, wajah yang berminyak akan berubah kering dan lembab, dan sebagainya. Para wanita yang mempunyai masalah seperti tadi dipastikan akan membeli dan memakainya. Dengan harapan mereka akan memperoleh hasil seperti yang dijanjikan. Tapi setelah dibeli dan dipakai, hasil akhir sama sekali tidak seperti yang dijanjikan.
“Ya bunayya, kamu mempunyai masalah ?” Tanya Bapak membuyarkan lamunanku.
Aku hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. Ah… bapak, engkau selalu tahu jika anakmu ini sedang punya masalah dan tidak tenang. Selain para dosen dikampus, bapak adalah guruku yang selalu memberikan nasehat-nasehat yang sangat berarti bagi seseorang yang mulai beranjak dewasa sepertiku.
“Ceritakan pada bapak apa yang membebanimu. Insya Allah kita bisa mendapatkan solusinya,” lanjut bapak.
Aku kembali mengangguk.
“Oh iya, kita bahas sambil berjalan pulang ya? Bapak baru ingat, tadi ibumu menyuruh bapak mengajakmu sarapan dirumah. Ibumu membuat nasi goreng telur kesukaanmu. Ayo!,” ajak bapak mengenggam tanganku. Kami berjalan bersama keluar mesjid.
Aku lalu menceritakan semua yang kurasakan semalam pada bapak. Beliau hanya tersenyum dan sesekali menganggukkan kepala. Setelah selesai, aku bertanya apakah yang mengganggu pikiranku itu merupakan bagian dari su’udzhon atau berprasangka buruk.
“Setiap manusia pasti pernah memiliki perasaan itu bunayya,” jawab beliau. “Apalagi hal itu terjadi pada pemuda sepertimu. Terlebih lagi, kamu adalah seorang mahasiswa dan aktivis. Jiwa pemberontak yang ada dalam dirimu selalu berkobar dan membuncah-buncah jika mendapati kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan. Bapak juga pernah berada di posisimu. Tapi bapak ingin mengatakan, lihatlah sesuatu hal dari sudut pandang yang berbeda. Jangan hanya mengaktifkan satu sudut pandang saja. Karena ada banyak kenyataan yang terletak pada sudut pandang yang berbeda tersebut.”
“Gambar warna-warni yang kamu ceritakan tadi memang banyak menawarkan janji. Tapi tidak semuanya adalah janji belaka. Banyak janji-janji tersebut yang ter-realisir. Hanya ada saja yang tidak terlaksana. Dan hal itu membuatmu dan aktivis-aktivis lainnya kecewa. Tapi tahukah kamu bunayya, gambar-gambar itu telah memberikan penghidupan bagi masyarakat kita yang mempunyai usaha percetakan dan advertising, serta diberbagai sektor lainnya.”
“Seperti contohmu tentang kosmetika wanita. Memang banyak yang tidak memperoleh hasil memuaskan. Namun banyak juga yang memperoleh sebaliknya. Buktinya perusahaan kosmetik tetap bertahan hingga sekarang.”
“Jadi sekali lagi ingat bunayya. Diantara berjuta-juta ton pasir dibumi ini, pasti ada emas yang terkandung didalamnya. Percaya itu!!!” ujar bapak meyakinkanku.
Pikiranku terbuka setelah berhasil mencerna perkatan bapak. Akh…. Mengapa aku tidak memikirkan sampai kearah itu. Mengapa aku hanya memandang sesuatu dari sudut satu sudut pandang saja. Bapak memang guru terbaikku.
Sekarang aku sadar, bahwa orangtua tetaplah akan menjadi guru terbaik bagi anak-anaknya. Meskipun pendidikan anak tersebut melewati pendidikan orangtuanya.
Kami akhirnya sampai di depan rumah. Bau harum nasi goreng telur buatan ibu mulai tercium. Aku dan bapak lalu mempercepat langkah kami. Tidak sabar rasanya kami untuk segera duduk di meja makan.
“Ayo cepat bunayya. Rezeki telah menunggu kita dari tadi,” ujar bapak sembari tersenyum. Aku pun ikut tersenyum.(*)
***
Makassar, 26 Desember 2008
07.33 WITA
*Aktivis Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Sulsel & HIPMIN Makassar