Thursday, February 04, 2016

MONOLOG INGGIT

























Monolog Inggit

Duhai Kusno, kekasihku…
Seumpama kau adalah ombak,
aku tak akan memilih menjadi batu karang
yang akan memecahkanmu sebelum kau sampai di tepian.
Aku akan memilih menjadi butiran pasir di tepi pantai
yang menunggumu untuk datang
Saat kau lelah, saat kau gelisah,
menepilah ombakmu. Menepilah ke pasir butiranku.
Aku tahu kau adalah ombak.
 Dan aku senantiasa sementara untukmu.

Duhai Kusno, kekasihku…
Sejak kutandatangani takdir mendampingi hidupmu,
aku tahu tak akan mudah menjadi diriku.
Bagaimana pun cara Tuhan mempertemukan kita,
bagaimana pun cara Tuhan kemudian memisahkan kita,
itulah takdir yang sudah kusepakati dengan semesta.
Jeruji-jeruji yang menghalangi langkahmu,
tanah-tanah pengasingan yang menjauhkanmu,
tidak pernah menjadi masalah untukku dan tidak menjadi alasanku
meninggalkanmu.
Kau tahu Kusno, aku siap menerjang badai
denganmu.

Kusno… Kusno… kekasihku…
Cintaku padamu bukan cinta birahi!
Cintaku padamu adalah atas nama rakyat yang didatangkan oleh semesta.
Kubaluri tubuhmu dengan doa-doaku,
dalam tafakur malamku kusebut kau dan rakyatmu.

Kusno, aku memilih meninggalkanmu, bukan meninggalkan cintaku.
Kupilih meninggalkan nuraniku atas nama manusia dan napsuku
agar aku bisa menjaga kemurnian cintaku padamu.
Jikalau kau ombak, akulah tepianmu.
Selesai kau rehat di pasirku,
maka ikhlas kulepas kau ke tengah lautan kembali.
Iya, aku tak memilih menjadi batu karang untukmu.
Aku memilih menjadi pasir di tepianmu.
*

~ Monolog ini dicatat dari rekaman pembacaan @LelyMei di bedah buku “Kuantar ke Gerbang” di Pesta Buku Bandung, 30 Januari 2016. 
~ Ilustrasi dari sini 
~ Rekaman pembacaan oleh Lely Mei dengan iringan petikan gitar dan suara merdu Kang Aden bisa didengar di sini

Monday, December 21, 2015

Puisi Harian Fajar Makassar (Ahad, 20 Desember 2015)



















KITA BEGINI SAJA

Ada perbedaan yang tak akan pernah bisa bersama
Sebab menyatu baginya adalah sebuah petaka
Sebab berpadu baginya adalah letupan-letupan airmata
Perbedaan ini bersinar di antara kita
Yang tahu benar arti cahaya
Hanya jika dipandangi dari jauh.
Kita begini saja

Ada perbedaan menganga yang tak akan pernah bisa bersatu
Perbedaan ini membentang bukan sepanjang galah
Tak terhingga dipaku mati di tengah-tengah
Di antara kita
Mari tidak memaksa jagat raya
Kehilangan bentuknya.
Kita ya begini saja
Berbeda
Terpisah
Berjarak
Menikmati mentari pagi
Sebagaimana biasa.
*
Untuk M di sebuah kota yang nun jauh di sana

—Bandung, 17 Desember 2015
~Aida Radar~ 

*

Klik icon soundcloud di bawah ini untuk menuju ke pembacaan puisi di atas. ^^
https://soundcloud.com/aida-radar/puisi-aida-radar-kita-begini-saja-aida-radarmp3

Sunday, December 20, 2015

(Kembali) Membacakan Puisi ^^

















PADA SEBUAH MALAM, ENGKAU BERJALAN

TELAPAK kaki yang membawa langkah-langkahmu
pada sebuah malam yang dinginnya asing
adalah persembahan rahasia yang tak kau kehendaki.
Dan lengan jalanan lengang dipilih menjadi altarnya.

Daunan pohon di kiri-kanan mengingatkan
tak henti-henti sebuah kejadian
dari mimpi buruk dalam tidurmu.
Yang membuat segenap waktu adalah duka
hingga kau lupa pada rasa takut.

Dan bayanganmu ditelan bayangan pohonan
yang hilang jua di bawah bayangan langit.

Seperti inikah kehidupan di belakang punggung matahari?

Engkau bertanya kepada senyap yang melingkup.
Cahaya matamu meraba-raba arah dalam redup.
Gerangan di mana diletakkan seluruh tujuan.

Engkau terus berjalan di sela-sela percakapan
angin dan ranting-ranting yang tak kau pahami,
mengabaikan setiap persimpangan yang kau temui.

Seperti kakimu bukan kakimu,
seperti tubuhmu bukan tubuhmu,
Seperti segala sesuatu bukan milikmu,
kecuali pertanyaan,
sebab jawaban bukan pula pengetahuanmu.

Maka engkau terus berjalan.
Engkau terus berjalan…
*

(Puisi M. Aan Mansyur dalam “Aku Hendak Pindah Rumah” hal. 158)

Puisi ini saya bacakan via Soundcould.
Sila mendengarkan. :D