MENJELANG EMPAT PULUH
Aida Radar
Ring...ring...ring...
Perempuan di atas tempat tidur
menggerak-gerakkan tangannya di antara bantal-bantal dan sebuah buku yang terbuka.
Mencari telepon
genggam yang terakhir kali dilihat layarnya tengah malam tadi.
Ring...ring...ring...
Mata perempuan itu tertutup. Tangannya masih meraba-raba
di atas tempat tidur.
Ring...ring...ring...
Klik!
Tangannya berhasil meraih telepon genggam yang dicari dan
mematikan nada alarm yang ribut. Matanya masih tertutup. Tapi pikirannya tidak.
Alarm tadi telah membangunkan pikirannya dari tidur tidak pulasnya yang baru
mulai terjadi dua jam lalu.
Ternyata tiba juga aku pada hari ini!
Selama ini ia tidak pernah menggunakan
alarm untuk membangunkannya dari tidur. Ia tahu kapan harus bangun di pagi hari
dan telah terbiasa dengan hal itu selama bertahun-tahun. Alarm hanya ia gunakan
untuk mengingatkannya akan sesuatu yang harus diingat pada suatu waktu dan
hari-hari tertentu. Dan hari ini, di waktu sebelum ia harus bangun di pagi
hari, alarm di hapenya telah membangunkannya, membangunkan pikirannnya dari
tidur tidak pulasnya yang baru mulai terjadi dua jam lalu.
Ternyata aku benar-benar tiba pada hari ini!
Ia pelan membuka kedua matanya.
Dilihatnya layar telepon genggam yang menyala.
Selamat ulangtahun yang ke-40, Dani...
Perempuan itu tidak bergerak dari
posisinya di tempat tidur setelah menggenggam telepon yang bunyi alarmnya telah ia
matikan. Lama ditatapnya layar telepon genggam yang menyala itu tanpa berkedip.
Sebenarnya ia mau berkedip. Kedua matanya sudah mulai berair karena telah
menatap layar telepon
genggam terlalu lama. Tapi entah mengapa kedipan itu tidak mau hadir untuk
menurunkan kelopak matanya barang sejenak. Malam kemarin ia terlibat pembicaraan
yang tidak menyenangkan dengan Ibunya di teras rumah. Sesaat setelah ia sampai
di rumah, pulang dari sebuah pertemuan tak terencana.
“Barusan Ibu ditelepon sama Ibu Jia.
Katanya Dani menolak Budi. Kenapa Dani menolak Budi?”
Hmm… Cepat sekali Ibu Jia!
Perempuan itu tak menjawab. Ia diam.
Matanya menatap kedua sepatunya yang terciprat lumpur saat berjalan di jalan
setapak tanah dari tempat pemberhentian angkot ke rumah. Satu hari ini hujan
turun dengan sangat lebatnya. Hujan lebat itu lalu menyisahkan tanah-tanah
becek di jalanan yang ada di sekitaran rumahnya.
Perempuan itu mencintai hujan. Detak air yang jatuh
satu-satu di genteng rumah selalu membawa kesyahduan dalam jiwanya yang kosong.
Namun, ia begitu jengkel pada hujan lebat yang menyisahkan tanah-tanah becek itu.
Sepatu yang baru ia cuci kemarin sudah hampir sebagian tertutupi lumpur.
“Apa lagi yang Dani cari? Laki-laki
seperti apa lagi yang Dani maui?”
Aku tidak tahu, Bu.
Perempuan itu tidak menjawab. Ia tahu Ibunya tidak sedang
bertanya. Ia tahu Ibunya tidak menantikan jawabannya. Ia tahu Ibunya sedang
memarahinya. Ia tahu Ibunya sedang menumpahkan kekecewaan, rasa malu, dan
tekanan dalam diri dan lingkungannya padanya. Karenanya, alih-alih menjawab, ia malah membuka sepatu. Meletakkannya di
samping pintu.
“Bu, aku lapar. Ibu masak apa?”
“Jangan mengalihkan pembicaraan, Dani!
Ini bukan yang pertama kalinya. Sudah berulang-ulang kali, jadi tolong jawab Ibu!”
“Ibu masak ikan pampis, ya? Heumm... Baunya sampai tercium di teras.”
Perempuan itu bergegas masuk ke dalam rumah, setengah
berlari. Melarikan
diri. Meninggalkan Ibunya yang menarik napas dan melepaskannya dengan berat. Perempuan itu mendengar
suara dengusan napas ibunya. Langkahnya terhenti. Rasa laparnya karena mencium
aroma ikan pampis tadi langsung
menguar. Karenanya, bukannya menuju ke dapur, ia malah membuka pintu kamar di
sisi kanan ruang tamu tempatnya kini berdiri.
Setelah meletakkan tas di meja kerja, perempuan itu
menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Dipandanginya langit-langit kamar
yang terlihat seperti langit saat hujan tidak sedang turun. Biru cerah di
antara awan-awan putih dan tipis.
Tentang menikah, berumahtangga, perempuan itu
bukannya tidak berusaha. Seperti kebanyakan perempuan, ia bukannya tidak ingin menemukan
seseorang, jatuh cinta, menikah, membangun keluarga, dan mempunyai
anak-anak hingga menua bersama. Bukan. Ia bukannya tidak menginginkan semua
itu. Ia
bahkan sering bangun pagi dengan mata sembab. Jika itu terjadi, malam
sebelumnya ia pasti membuka beberapa media sosialnya hingga lewat tengah malam.
Di media-media sosial tersebut, ia pasti telah melihat
video-video dan foto-foto teman-teman perempuannya yang berbahagia dengan suami
dan anak-anaknya. Ia juga tentu telah melihat teman-teman lelakinya yang
tertawa-tawa di video memperlihatkan tingkah lucu anak-anaknya. Setelah ikut
tertawa-tawa, mendapati dirinya sendirian di malam yang sepi dan dingin membuat
bunyi hujan yang syahdu, mengalirkan air yang deras turun di kedua belah pipinya.
Sesungguhnya, perempuan itu bukan menangis karena
sakit hati. Bukan pula karena ia iri. Ia menangis karena apa yang perempuan
seumurannya rasakan dan jalani, belum bisa ia rasakan dan jalani hingga kini. Hingga
ia lelah sendiri
karena
telah sampai pada akhir dari menjalani pengharapan-pengharapan yang berlangsung selama ini,
sepanjang tahun-tahun
yang lewat ini.
Sejak memutuskan untuk mencari
pendamping hidup di usianya yang baru menginjak tigapuluh tahun, sudah puluhan
lelaki yang selalu ia kira akan menyandinginya di pelaminan. Ada Arya, lelaki
yang tampan dan cerdas dalam banyak hal, temannya sejak masih kuliah di Bandung. Ada Sulaiman,
lelaki yang suka masak dan asik diajak bercerita, koleganya di sekolah. Ada
Said, lelaki petualang yang ia kenal saat mendaki Gamalama. Juga ada
lelaki-lelaki lainnya yang pernah ia pikirkan saat malam-malam tak bersahabat
dengan kesendiriannya.
Namun hingga delapan tahun lewat, tak
satu pun dari puluhan
lelaki itu yang memakaikan cincin di jari manisnya. Perempuan itu tidak
mengerti mengapa hubungan-hubungan yang dijalinnya tidak ada yang bisa berakhir
pada pernikahan. Padahal semenjak usianya memasuki tigapuluh lima, ia telah
menanggalkan tiga kriteria suami idaman dari daftarnya.
Ia tak lagi mengharapkan lelaki yang tampan dan tinggi
menjadi suaminya di daftar yang pertama.
Tidak
apa-apa lelaki itu pendek tetapi setidaknya ia enak dipandang dan
menenteramkan.
Ia menghapus lelaki yang berpenghasilan lebih besar dari
daftar keduanya.
Tak masalah
apabila penghasilannya lebih kecil. Toh, penghasilanku sudah lebih dari cukup
untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga nanti.
Ia juga telah menghilangkan lelaki yang romantis dari
daftar ketiganya.
Tak mengapa
tak ada bunga-bunga dan kata-kata mutiara, yang penting ia baik, penyayang, dan
bertanggung jawab.
Tetapi, meskipun kriteria lelaki idaman telah
dihapusnya, tetap saja, di saat usianya tigapuluh delapan, telapak tangan
perempuan itu belum juga tersapu hena.
Ketika itu, Ibunya sudah menyalahkan
putusannya mencari jodoh jika sudah berkepala tiga.
“Tidak salah kan kata Ibu, Dani. Jodoh akan sulit dicari saat umurmu sudah
kepala tiga. Kau akan sulit menemukan yang terbaik di umur itu. Kau itu cantik,
Dani. Tapi mengapa belum mau menikah? Jujur... Ibu selalu sedih mendengar
ocehan keluarga dan tetangga tentang kau.” Ibu menyeka
“Makanya tidak usah didengar omongan orang, Bu. Nantinya Ibu malah tambah
sedih dan bisa sakit.”
“Nggak mendengar bagaimana? Setiap hari Ibu bertemua
dengan tetangga. Bagaimana bisa tidak mendengar?!” Suara ibunya meninggi.
“Bu, aku bukannya tidak mencari lho! Dibandingkan Ibu, aku ini lebih frustrasi lagi! Lebih tertekan
lagi!” Emosi perempuan itu tersulut.
“Ukuran normal perempuan menikah itu
bukan di atas tigapuluh lho, Dani! Duapuluh sampai
duapuluh delapan itu yang ideal! Dulu juga saat menikah dengan Bapakmu, umur Ibu baru
duapuluh lima…”
“Oke! Ibu dengan Bapak menikah saat berumur duapuluh lima,
oke! Namun bukankah karena menikah di umur duapuluh lima itu kemudian saat aku
bahkan belum lahir, Bapak membodohi Ibu, pergi meninggalkan Ibu, dan lari
dengan perempuan lain, kan?!”
Emosi perempuan itu memuncak. Mata ibunya membelalak.
“Jawab aku, Bu! Ibu mau pernikahan di umur ideal itu aku
lakoni supaya berakhir seperti pernikahan Ibu?!”
Ibunya tergeragap. Mulutnya beku. Sesaat kemudian, hanya
tangannya yang tergerak, menyeka butir-butir air yang menderas di ujung kedua
matanya. Melihat ibunya menangis, emosi perempuan itu reda. Berganti dengan iba
dan rasa bersalah.
Mengapa aku bisa berkata seperti itu pada ibu?
Ketika itu, perempuan itu mendekati ibunya. Dipeluknya
perempuan limapuluh enam tahun itu dengan kesedihan yang tak bisa digambarkan.
Ibu dan anak itu berpelukan dan bersama menangis sesegukan.
Pandangan perempuan itu kemudian lari dari langit-langit yang seperti langit saat hujan tidak sedang turun ke lemari buku. Matanya tertumbuk pada sebuah buku berwarna merah muda. Ia berdiri dari tempat tidur dan meraih buku itu. Arranged Marriage --Perjodohan karya Chitra Banerjee Divakaruni. Ia mengingat pernah membeli buku ini dua tahun lalu di sebuah festival buku namun belum pernah membacanya.
Perempuan itu mulai membuka halaman pertama dan mulai
membaca. Ia terus membaca hingga matanya tidak mampu lagi berkompromi dengan
rasa lelah, fisik maupun psikis. Ia tertidur selama dua jam sebelum akhirnya
alarm di telepon genggam membangunkannya di tengah malam, menjelang hari
berikutnya.
***
―Tidore-Ambon, 4 Juli 2022