Monolog Inggit
Duhai Kusno, kekasihku…
Seumpama kau adalah ombak,
aku tak akan memilih menjadi batu karang
yang akan memecahkanmu sebelum kau sampai di tepian.
Aku akan memilih menjadi butiran pasir di tepi pantai
yang menunggumu untuk datang
Saat kau lelah, saat kau gelisah,
menepilah ombakmu. Menepilah ke pasir butiranku.
Aku tahu kau adalah ombak.
Dan aku senantiasa
sementara untukmu.
Duhai Kusno, kekasihku…
Sejak kutandatangani takdir mendampingi hidupmu,
aku tahu tak akan mudah menjadi diriku.
Bagaimana pun cara Tuhan mempertemukan kita,
bagaimana pun cara Tuhan kemudian memisahkan kita,
itulah takdir yang sudah kusepakati dengan semesta.
Jeruji-jeruji yang menghalangi langkahmu,
tanah-tanah pengasingan yang menjauhkanmu,
tidak pernah menjadi masalah untukku dan tidak menjadi alasanku
meninggalkanmu.
Kau tahu Kusno, aku siap menerjang badai
denganmu.
Kusno… Kusno… kekasihku…
Cintaku padamu bukan cinta birahi!
Cintaku padamu adalah atas nama rakyat yang didatangkan oleh
semesta.
Kubaluri tubuhmu dengan doa-doaku,
dalam tafakur malamku kusebut kau dan rakyatmu.
Kusno, aku memilih meninggalkanmu, bukan meninggalkan
cintaku.
Kupilih meninggalkan nuraniku atas nama manusia dan napsuku
agar aku bisa menjaga kemurnian cintaku padamu.
Jikalau kau ombak, akulah tepianmu.
Selesai kau rehat di pasirku,
maka ikhlas kulepas kau ke tengah lautan kembali.
Iya, aku tak memilih menjadi batu karang untukmu.
Aku memilih menjadi pasir di tepianmu.
*
~ Monolog ini dicatat dari rekaman pembacaan @LelyMei di bedah buku “Kuantar
ke Gerbang” di Pesta Buku Bandung, 30 Januari 2016.
~ Ilustrasi dari sini
~ Rekaman pembacaan oleh Lely Mei dengan iringan petikan gitar dan suara merdu Kang Aden bisa didengar di sini