DOA-DOA
DAN PERLINDUNGAN-NYA
Bahwa doa-doa punya jawaban dan waktunya tersendiri. Tak
ada yang lebih cepat atau terlambat.
Yang ada hanyalah pada saatnya, tepat pada waktunya.
Di keadaan yang bahkan tak diduga sebelumnya.
Pagi ini sepulang membeli
bubur ayam langganan di Gegerkalong Tengah, mata saya tertuju pada seorang
lelaki berkacamata yang berjalan tanpa alas kaki. Saya heran, di puncak
dinginnya udara Bandung akhir-akhir ini, kok bisa-bisanya dia tak bersandal,
menginjak aspal yang demikian dinginnya. Secara sambil lalu saya memikirkan hal itu.
Lelaki itu sepertinya
menyadari kalau saya sempat melihat ke arahnya tadi.
Beberapa langkah
berjalan saya mendengar teriakan di belakang dan seorang Mamang melewati saya
sambil berkata “hati-hati, Teh. Dia lagi ngamuk!” lalu terburu-buru berjalan ke
depan. Saya melihat ke belakang. Dia yang dimaksudkan Mamang tadi adalah lelaki
yang tak bersandal itu. Posisi berjalannya tak jauh dari dari posisi saya
berjalan. Menyadari hal itu, saya mulai gemetaran.
Di depan sebuh toko kue,
saya berhenti dan berbelok menuju toko kue itu. Hanya agar tak berada di depan
lelaki itu saat berjalan, saya berencana berhenti sejenak. Tak disangka, lelaki
itu malah mengekori saya. Dia memukul-mukul banner
di butik di samping toko kue. Duh! Kenapa
dia mengikuti saya? Saya ketakutan sekali. Astaghfirullah… Astaghfirullah… Astaghfirullah…
Mencoba nampak tenang,
saya keluar dari area toko kue dan lanjut berjalan. Lelaki itu juga keluar dari
area toko kue dan berjalan setengah berlari di belakang saya sambil
berteriak-teriak. Pandangan semua orang di jalan bertumpu padanya. Di depan
saya seorang ibu bahkan siap-siap berlari menjauh. Wajah ketakutan dan panik terbaca
di sana. Saya mempercepat langkah. Ketakutan. Astaghfirullah… Astaghfirullah… Astaghfirullah…
Saat hendak berpapasan
dengan ibu yang ketakutan tadi, lelaki itu berteriak lagi dan berlari kencang ke arah kami. Saya sudah hampir pingsan
mengira dia akan memukul kami. Namun ternyata tidak. Dia memukul pagar besi di
samping tempat saya dan ibu tadi berdiri. Lutut saya rasa-rasanya kehilangan
mur-mur penyangganya. Ibu tadi semakin panik.
Lelaki itu saya kira
akan berjalan terus di depan kami. Dugaan saya meleset lagi. Setelah memukul
keras kaca spion pada sebuah mobil yang lewat di jalan, berdiri di
tengah-tengah jalan dan hendak memukul beberapa pengendara motor yang berjalan
pelan, dia duduk di depan mobil yang diparkir di depan MQ Guest House,
tertawa-tawa dan melihat ke arah saya dan ibu tadi. Mencoba berani, ibu tadi
mengajak saya berjalan lagi, melewati lelaki itu.
Ketika berada tepat di
depan salon muslimah dan berhasil melewati GuestHouse, lelaki itu mengejar. Tak
jauh di samping kanan saya, sebuah tempat sampah yang terisi penuh ditendangnya
kuat sekali. Seluruh isi dalam tempat sampah berhamburan. Ibu di depan saya
berteriak. Saya sudah hampir menangis, namun mencoba menunjukkan wajah yang
tenang dan bersikap seorah-olah tidak mempedulikan aksi lelaki itu. Saya pernah
mendengar orang berkata saat ada orang
gila mengamuk, jangan pedulikan. Mereka hanya mencari perhatian. Toh nantinya
akan berhenti sendiri. Maka saya mengikuti wejangan itu.
Namun tak berhasil.
Lelaki itu malah menjadi-jadi. Masih di depan kami yang terhenti karena kaget,
didudukinnya sebuah motor sambil bergoyang-goyang, mengambil paksa kerupuk yang
tergantung di depan warung makan. Sembari dia melakukan aksi itu, saya kembali
menguatkan hati dan bersama ibu tadi menyeberang jalan agar tidak berada di
satu sisi jalan yang sama dengan lelaki itu. Melihat kami menyeberang, lelaki
tadi sontak membuang kerupuknya dan berlari menyeberang mengikuti kami. Tampangnya
sungguh menakutkan sekali. Ya Allah…
hamba berlindung kepadaMu dari gangguan orang itu. Ya Allah… hamba berlindung
kepadaMu dari gangguan orang itu. Ya Allah… hamba berlindung kepadaMu dari
gangguan orang itu… Di dalam hati saya berdoa tak henti-henti. Lelaki itu
masih ada di belakang. Ketakutan saya bertambah berkali lipat.
Plaaakkk!
Plaaakkk! Tiba-tiba suara seseorang ditampar terdengar dari
belakang. Saya sontak berbalik dan bertanya-tanya. Di depan konter hp seorang bapak
terlihat menampar dan memukul lelaki itu hingga terjengkang. Bapak itu marah. “Pulang
kamu! Pulang kamu!”
Orang-orang di sekitar
langsung menumpuk di tempat kejadian. Lelaki itu ditampar bapak tadi lagi. “Kurang
ajar! Mencuri dagangan orang, mengganggu kendaraan dan orang yang lewat.” Plaaakkk! Plaaakkk!
Langkah saya terhenti.
Lelaki itu saya lihat terduduk di tanah dan mulai menangis. Orang-orang semakin
berkerumun. Saya terdiam. Lelaki yang
sakit mental itu tak akan mengganggu lagi. Ibu tadi tak sudah terlihat. Mungkin
telah berjalan jauh di depan.
Beberapa menit selepas
itu saya kembali berjalan menuju rumah. Benak saya bercampur aduk, entah lega
entah sedih. Semasa berjalan ini saya sekonyong-konyong menyadari sesuatu.
Doa-doa
yang saya kirimkan di tengah gemetar dan ketakutan tadi dijawab-Nya?
Allahuakbar!
Allahuakbar! Allahuakbar! …
Saya takbir
berkali-kali. Mata saya berair. Bubur ayam di kantong yang saya pegang sedari
tadi, masih terasa hangat.
*
—Aida Radar, Bandung,
Pagi Ini.
#Ilustrasi dari sini