KATA PENGANTAR :
MEMBACA “PUISI RELIGI” FARADINA IDZHIHARY
Oleh: Dimas Arika Mihardja
MALAM itu, 24 Agustus 2010 saya menerima surat elektronik dari Faradina Idzhihary (FI) atau nama aslinya Istiqomah, kelahiran 7 Juli 1971. Intinya, saya diminta menuliskan kata pengantar untuk penerbitan buku puisi secara indie. Penerbitan buku antologi puisi secara “Indie” yang dia maksudkan ialah menerbitkan buku secara swadaya mandiri untuk kalangan terbatas sebagai rekam jejak kepenyairannya. FI dikenal pertama kali melalui jejaring sosial facebook, dan melalui jejaring sosial ini pula lalu Ia berkolaborasi dengan 9 wanita penyair lainnya menerbitkan secara bersama-sama buku antologi puisi “Merah Yang Meremah” lalu dengan 8 penyair wanita lainnya “Perempuan dalam Sajak” (Penerbit Kosa Kata Kita, 2010) yang merangkum puisi karya 9 penyair yang dibidani oleh Kurniawan Junaedie. Lantaran beberapa penyair dari 9 penyair ini telah menerbitkan buku secara perorangan, sebut saja Susy Ayu dengan “Rahim Kata-kata”nya dan Kwek Li Na dengan puisi Bunga Rindu di Sandaran Bintang, kini FI terpacu juga untuk turut menyemarakkan dengan dunia perbukuan. Mudah-mudahan keinginan menerbitkan buku ini bukan sekadar latah, melainkan memang sebagai fitrah dan kiprah yang menuju ke satu arah: penyair yang diperhitungkan.
Sebenarnya, selama pergaulan saya dengan FI lebih banyak diwarnai oleh silang-sengkarut dan perbedaan persepsi dalam hal penciptaan puisi. Entah apa yang mendorongnya menulis pesan melalui inbox “Mas, tolong buatkan pengantar untuk puisi-puisi religi yang akan saya terbitkan secara ‘indie’ sebagai rekam-jejak perjalanan agar bisa dibaca oleh anak-cucu, anak didik, dan teman-teman”. Mungkin jiwa keguruan saya tergugah sehingga lantas permintaannya itu saya iyakan. FI lalu mengirimkan draft antologi puisinya yang diberi judul “Tuhan, Aku Malu”. Lantas, dari mana dan bagaimana saya mulai memberikan pengantar?
Pengantar sebuah antologi puisi sebenarnya tidak selalu relevan, bisa dianggap nyinyir, cerewet, dan mungkin dapat menyesatkan pembaca. Sebuah antologi puisi sebaiknya tidak diberi pengantar dan membiarkan para pembacanya langsung berhadapan dengan puisi-puisi yang tersaji. Namun, lagi-lagi jiwa keguruan saya selaku pendidik tergugah (dan mengalah) untuk membuat kata pengantar ini dengan pertimbangan, pertama, dapat memberikan sedikit panduan bagi “pelajar” yang memiliki keinginan besar memahami dan memaknai puisi.
Kedua, kata pengantar sebuah buku puisi dapat dipandang sebagai jembatan penghubung antara penyair dan pembaca melalui puisi-puisi yang diciptakan. Ketiga, lantaran puisi ditulis dengan tujuan berkomunikasi, maka amat dimungkinkan terjadi kebuntuan komunikasi antara pembaca yang masih belajar dengan apa yang dimaui oleh penyair. Maka, tanpa bermaksud “menggurui”, pengantar ini dibuat dengan itikad memperlancar arus silaturahmi karya-kekaryaan.
***
MENYITIR pandangan Romo Mangunwijaya (alm.), pada awal mula segala seni sastra adalah religius. Itulah sebabnya mengapa para estetikus abad-abad lampau telah mencoba menerangkan apakah seni itu. Seni, sambil memperhitungkan adanya berbagai trend (ada puisi transendental, puisi sufistik, puisi Islami, dan puisi religius), dalam dinamikanya yang murni lazim ditanggapi sebagai kekayaan rohaniah manusia yang memberikan satu pesona, satu pengalaman tak sehari-hari, sesuatu yang transendental—yang dalam bahasa Plato merupakan bayangan keindahan sejati, yang menurut Bergson maupun Igbal ditanggapi kurang lebih sebagai ilham Ilahiat yang bahkan layak diperbandingkan dengan ilham kerasulan.
Walhasil, seni puisi itu sesuatu yang luhur, sebab watak seni puisi menuntut kejujuran (hanya melahirkan yang memang hidup dalam jiwa), menuntut simpati kemanusiaan (berbicara dari hati ke hati dan bukan dari ideologi ke ideologi), dan yang mengungkapkan haru (bukan “kepedihan”). Dengan demikian, seni puisi memang bergerak dari “arus bawah” hidup dan memunculkan ke permukaan undangan ke arah kedalaman. “Arus bawah” ini dikenal dengan religiusitas (bukan beragama). Haru itu sendiri, memang agaknya tak lain dari rasa hening yang aneh (yang sering tak disadari) yang menyebabkan orang tersentak dan menyebut: “Allah”. Dalam religiusitas ini terdapat nilai ibadah.
Seni puisi atau sajak, di satu pihak harus mampu mengajak seseorang beriman, mengagungkan Tuhan, dan di lain pihak ia harus mampu mengasimilasi sifat-sifat Tuhan seperti Asmaul-Husna (99 sifat Allah) dalam diri manusia seperti cinta kasih, penyayang, dan lain sebagainya, yang mampu membawa kedamaian bagi umat manusia. Penyair berkarya menciptakan puisi untuk menyesuaikan diri secara lebih baik dengan tata ciptaan-Nya. Dapat dinyatakan bahwa konsepsi estetik manusia-penyair berpangkal tolak dari tiga dimensi: religiusitas, personal-individual, dan mengungkap persoalan sosial. Berpangkal tolak dari konsepsi estetik seperti itu, marilah kita lacak beberapa sajak karya gubahan FI dalam buku ini.
***
Kita catat, puisi gubahan FI memiliki kecende-rungan naratif yang terpapar secara cukup panjang. Saya ingin menampilkan satu sajak lengkap yang menunjukkan kecenderungan tersebut mewakili religiusitas penyair FI. Kita simak bersama:
DI DEPAN PINTU 99
: Nadratul Aini (Thx kiriman artikel tentang 99 dosa besarnya)
telah kuputuskan pagi ini menggenapkan perjalanan hingga pintu ke sembilan puluh sembilan
namun surat yang kaukirimkan di antara riuh pesta dan hingar cahaya tergeletak tepat di depan pintu kamar
pesan yang kau tulis seperti jutaan pedang menusuk setiap lubang pori
: 99 pintu menuju jerit tak bertepi
gigil tubuhku melesat-lesat dalam lingkar waktu
menghitung jumlah pintu yang telah kujadikan tempat singgah kutemu,
kurang satu menggenapkan keabadaian tangisku
lewat kicau murai pagi kaubisikkan,
"bahkan seorang pembunuh yang belum menggenapkan perjalanan berhak atas tawa sedunia
saat jarak ke titik mula lebih dekat dari ujung pintu sembilan puluh sembilan"
tak dengan pedang kupaksa nyawa melayang
lidah penuh fitnah meremukkan tulang-tulang menebas sesiapa yang benari menantang
tidak dengan paha kujilati nikmat cinta
namun mata, bibir, dan kata-kata mengirim orgasme lebih dari nyata
tidak pula kusimpan berhala dan arca-arca
kupuja sekutu Nya namun kesempurnaan diri
kupatut-patut setiap hari menenggelamkan nama-Nya dari dada
di depan pintu nomor sembilan puluh sembilan
gemetar aku terkapar
sebelum hitam seluruh jalan
kutetapkan kembali ke titik awal
meski merangkak,
aku yakin Dia lebih cepat bergerak menarikku sampai
setan terus berseru-seru
sia-sia saja,
tulangmu telah lebur
sebelum sampai tujuan
di sinilah tempatmu menjerit sepanjang waktu
menghitung sesal tak bertepian
andai rasa mampu mengukur jarak
hendak kuhitung masihkah sempat sampai ke batas minimal
agar dapat kuraih selembar pengampunan
sebelum ajal menjatuhkan putusan
sebelum kumasuki pintu sembilan puluh sembilan
kudengar seruan kembalilah ...
Dia menunggumu tak pernah lelah
(Batu, 19 Februari 2010)
Puisi ini saya tampilkan sebagai penguat bahwa puisi-puisi FI cenderung panjang pemaparannya. Meskipun panjang, namun terasa benar kadar kepuitisannya, sebab di dalam setiap puisi yang diciptakannya memang didukung oleh unsur dan sarana kepuitisan seperti diksi, kata kongkret, majas, kias, lambang, korespondensi, intensifikasi, dan musikalitas. Puisi-puisi lain terpapar melalui judul-judul seperti berikut ini memberikan gambaran tentang substansi isinya: “Kesaksian”, “Sebelum Maut”, “Kematian”, “Sesal”, “Tentang Hati”, “Dalam Kerinduan” “Aku Melihatmu Menangis dalam Airmataku”, “Tafakur”, “Pasrah”, “Pilihan”, “Padamu”, “Ia yang Rindu”, “Jangan”, “Tuhan, Aku Malu”, “Mencarimu”, “Rindu, Rindu Ini”, dan aneka pertanyaan tentang “Engkau di mana?”, “Suaramukah?”, “Airmata Siapa?”, dan berbagai pernyataan seperti “Subuh Seorang Pelacur”, “Lakukan”, “Ajari Aku”, “Ia yang Kembali”, “Yang Hilang” dan lain-lain judul lagi yang memberikan gambaran usaha si aku lirik berdekatan, bersanding, bertemu, dan berdekapan.
***
Sebagai penyair yang terus berproses, FI menunjukkan produktivitas dalam berkarya. Hal yang perlu dicermati ketika seorang penyair produktif berkarya ialah kecenderungan kurang cukupnya pengendapan dan perenungan atas objek yang diungkapkan. Produktivitas berkarya pada taraf tertentu memiliki nilai positif. Namun, jika produktivitas hanya mengejar keinginan menulis, terkadang ada risiko terkait dengan penataan aspek kebahasaan, persoalan ejaan dan tanda baca, dan persoalan kedalaman perenungan.
Tanpa bermaksud memuji, puisi-puisi yang terdapat di dalam buku ini cukup mewakili “obsesi” penyairnya untuk memilih tema garapan puisinya, yakni puisi yang mengarah ke relegiusitas, transendental, atau sufistik. Namun, harus jujur juga dikatakan bahwa penyair besar yang telah memilih persoalan yang diungkapkan, misalnya puisi yang cenderung Islami, jika diikuti intensitas berproses secara kontinyu, terus-menerus, dan bahkan kalau perlu sampai “berdarah-darah” (sangat-sangat intens dan serius, bukan sebagai kerja sambilan) maka potensi penyair ini pada masanya pantas diperhitungkan sebagai penyair yang telah “memilih” penyair sebagai profesi dan memanfaatkan puisi sebagai sarana “mendidik” dan “mendewasakan” jiwa para pembacanya.
Demikianlah, pembacaan selintas-kilas puisi-puisi “religi” gubahan Faradina Izdhihary, yang menurut saya masuk dalam kategori puisi-puisi Islami, semoga dengan pengantar ringkas ini semakin membuat FI “istiqomah”. Salam kreatif.
Bengkel Puisi
Swadaya Mandiri
Jambi, 24 Agustus 2010
Epilog:
REKAM JEJAK PERJALANAN
Sebenarnya, menjadi penyair bukanlah sebuah obsesi atau cita-cita saya. Namun, menuliskan setiap lintasan-lintasan terutama berkaitan dengan hasil perenungan saya maupun di penghujung sujud dan dzikir dalam usia menjelang 40-tahun, ternyata mampu menipiskan keresahan dan kegelisahan saya dalam melakukan pencarian. Pencarian saya untuk menemukan ketenangan hati, pada titik puncak keimanan. Kadang-kadang terasa sepi, perih, mengiris, dan mengerdilkan hati. Catatan lintasan-lintasan hati ini membuat saya semakin menyadari betapa kecil dan tak bermaknanya diri, betapa masih jauhnya pencapaian diri untuk bisa islamy.
Tak heran, saya sering menuliskannya dalam deraian air mata. Saya tak peduli, apakah orang menganggap saya 'gila' atau aneh dengan keberanian saya menerbitkan kumpulan puisi ini. Inilah rekam jejak perjalanan saya untuk meniti puncak hati. Hingga kini, karena derasnya gelombang nafsu duniawi, kencangnya angin egoisme, dan kesombongan diri, perjalanan itu rasanya tak sampai-sampai.
Namun, jauh di lubuk hati, saya yakin, banyak pejalan yang melakukan perjalanan seperti saya. Kadang berjalan, kadang berlari, merangkak, merayap untuk mencapai titik fokus yang satu. Kadang pula kita menangis, menjerit, tersedu, berteriak, bersumpah serapah, bahkan bernyanyi bagai orang gila dalam kesunyian. Kita bersuara tanpa bunyi, tanpa nada. Hanya hati....Dan tulisan-tulisan saya adalah lagu dan sajak pencarian, yang saya torehkan sepanjang perjalanan.
Perjalanan ini belum selesai. Kerinduan diri masih terus meluap-luap, mendidihkan asa dan mengepulkan doa-doa pada setiap lubang pori. Sayang, dalam kenyataannya, setiap detik masih juga saya mengotori kerinduan ini dengan pengkhianatan-pengkhianatan. Tragis: kekufuran, kefasikan, kemunafikan .... hiks, masih terus saya pakai sebagai perhiasan diri.
Hingga, seringkali pada saat kesadaran hati merimbun, rasanya malu sekali pada Tuhan. Bagaimana tidak, setiap kali hati berseru: memohon ampun, memohon petunjuk, tapi selalu dan selalu mengulang kekhilafan dan dosa-dosa. Kadang, dengan angkuh hati ini menghibur diri, “Pintu ampunan-Nya tak pernah tertutup, Panjang maafnya tak bertepi,” sesuatu yang membuat diri menjadi lupa diri. Astaghfirullahal adhiem. Sungguh, sebenarnya di antara rasa takut, kerdil, rasa malu itu selalu menyelimuti hati. Sayang, kelemahan diri seringkali membuat diri terlampau sering terperosok, terperosok, dan terperosok lagi.
Karenanya, atas izin Allah serta doa teman dan sahabat yang dimakbulkan, saya menghadirkan catatan-catatan perjalanan itu dalam antologi puisi sederhana, yang saya beri nama, "Tuhan, Aku Malu".
Semoga rekam jejak ini bisa dibaca anak-cucu, murid-murid, sahabat, dan teman-teman.