Oleh : Aida Radar
Adakah sebuah kebenaran bahwa perilaku curi-mencuri, bagi-bagi tip sebagai ungkapan terima kasih dan “Wah... dia adalah keluargaku, maka kuberi jabatan yang berkualitas” sejatinya adalah perilaku yang lazim dalam akar kekayaan budaya Indonesia? Ataukah dia-nya merupakan transformasi nilai hasil contek-mencontek dari ketakterhinggaan sikap yang berhamburan di atas muka bumi ini? Atau iyakah cerita perihal perbuatan itu hanyalah kerjasama budaya dan hasil contek mencontek temaksud?
IPK (Indeks Prestasi Korupsi)
Mengawali bulan ke-tiga pada pergantian masehi di 2010 yang penuh euforia canda tawa dan senyuman yang tak henti-hentinya mengembang ketika 2009 melepas jubah kekuasaannya, negara tercinta kita mengukir prestasi luar biasa di kancah perhelatan paling memukau di dunia ini. Sebuah kursi kebesaran yang paling dinanti-nanti pengumuman kepemilikannya itu mendudukan Indonesia sebagai negara nomor satu yang berhak menyabet predikat negara terkorup se-Asia Pasifik. Susul menyusul kemudian, Kamboja, Vietnam, Filipina, Thailand, India, China, Taiwan, Korea, Macau, dan Malaysia. Sedangkan Singapura mencetak hasil nol besar yang mengukuhkannya sebagai negara terbersih di dunia.
Adalah Politic and Economic Risk Consultancy (PERC), sebuah perusahaan konsultan yang berbasis di Hong Kong, yang mengeluarkan hasil survei mencengangkan itu hingga membelalakkan mata sekaligus mengecat warna merah kepiting rebus di wajah masing-masing kita yang Kartu Tanda Penduduknya menuliskan Republik Indonesia. Sejatinya penamaan Indeks Prestasi Korupsi (IPK) ini adalah Indeks Persepsi Korupsi. Namun penulis memelesetkan kata Persepsi menjadi Prestasi. Mengingat begitu mudahnya gelar juara berbintang itu menyemat di bahu kita. Maka, patutnya Prestasilah yang mengganti Persepsi.
Berikut adalah hasil survei PERC atas prestasi yang ditoreh Indonesia sejak memasuki arena perhelatan ini 2001 silam. Tahun 2001 hingga menginjak 2003, Indonesia kita mencatut 1,9 nilai IPK; di 2004, nilai 2,0 adalah milik kita; dari 2004 hingga dua tahun kemudian, nilai kita 2,2 dan 2,4; di tahun 2007, IPK kita menurun satu poin menjadi 2,3, lumayan ada penurunan walau hanya satu poin; namun kelegaan itu rupanya tak berlangsung lama, 2008 mencetak 2,6 sebagai nilai kita, meningkat langsung tiga poin; Di 2009 yang masih membekas kemarin, nilai 2,8 merupakan perhitungan tempat kita berdiri; Dan di tahun ini, di 2010 yang masih muda ini, nilai 9,07 dari angka 10 yang kemudian penulis prediksikan dalam indeks pada posiss 3,8 telak menghantam kejemawaan kita hingga ke akar-akarnya.
Wow! Peningkatan indeks prestasi yang luar biasa. Peningkatan nilai yang jika disodorkan pada mahasiswa pemilik IQ di bawah rata-rata akan mencipta jingkrakan seribu rupa. Namun justru nilai itulah menjadi musabab meretaknya kebanggaan dan kepribadian bangsa kita tercinta ini. Miris!
Penyakit Psikologis dan Antropologi
Sayang nian. Sungguh disayangkan. Anak-anak yang telah dilahirkan dari rahim terhormat Ibu Pertiwi, memerciki noda hitam pekat di kefitrahannya yang paling dibanggakan. Karakter yang susah payah dibangun dan dibentuk para pendiri Bangsa ini, malah diporak-porandakan melalui prestasi memalukan itu. Segenap masyakarat—termasuk penulis— tak hentinya menyuat tanya, ihwal apakah yang memerangkapi perilaku tidak terpuji itu beranak pinak di Negeri ini. Bahkan dengan mudahnya ber-regenerasi bak jamur di musim penghujan. Subur sekali.
Sebab tanya itu telah membengkak dalam benak, penulis kemudian menelusuri berbagai literatur untuk mengungkap jawab dari tanya itu. Bermacam sumber penulis telisiki hingga menemukan beberapa penyebab perilaku tiga suku kata ini: KO-RUP-SI, merajalela.
Mengapa seseorang melakukan korupsi? Pada dasarnya ada dua alasan mengapa seseorang menjabani dunia hitam ini. Motif yang pertama ialah karena dorongan kebutuhan (need driven) dan kedua yaitu dorongan kerakusan (greed need). Rata-rata pengakuan yang muncul dari mulut-mulut pesakitan yang duduk di meja hijau setelah tertangkap melakoni kegiatan pencurian ini adalah karena dorongan kebutuhan. Bahwa upah yang mereka terima tidak pernah mencukupi kepulan asap di dapur rumah selama satu bulan. Namun, Komarudin Hidayat menuliskan justru dorongan kerakusanlah yang sebenarnya menjadi pemicu korupsi di Indonesia. Menurutnya, salah satu sifat bawaan manusia itu selalu mendekati dan mengejar kesenangan (pleasure) dan penghindari penderitaan (pain). Dalam konteks korupsi, mengingat korupsi cepat mendapatkan kekayaan tanpa mesti kerja keras, secara psikologis seseorang akan mudah tergerak untuk korupsi. Dan hal itu merupakan krisis mental yang telah kronis. (uinjkt.ac.id, 13 April 2010).
Amich Alhumani, seorang kandidat doktor antropologi pada University of Sussex dalam artikel di Kompas.com edisi 15 Desember 2008, menuliskan adanya kemungkinan perilaku korupsi disebabkan budaya yang melekat pada suatu masyarakat. Hal itu didasarkan pada teori gift exchange atau gift-giving dari ahli antropologi Perancis, Marcel Mauss (The Gift, 1954). Bahwa dalam masyarakat primitif, relasi sosial dan interaksi sosial berlangsung hangat dan dekat satu sama lain hingga tercermin kebiasaan bertukar hadiah (gift exchange). Dalam budaya masyarakat Jepang, dikenal istilah “Omiyage” atau memberikan cinderamata pada mitra bisnisnya.
Oleh karena itu, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, adakah dalam sejarah kebudayaan Indonesia, tradisi “Omiyage” itu? Ataukah hanyalah bagian dari mengikuti budaya bangsa lain? Penulis kembalikan pada pembaca untuk menjawabannya sesuai paradigma masing-masing.
Penawar Tanpa Bahan Kimia
Korupsi. Sebab kata ini adalah penyakit menggerogoti kejiwaan atau psikologis yang telah divonis kronis, yang karena dibuat-buat sebagai tradisi dan budaya turun temurun bangsa ini tanpa pemberian punisment yang sesuai, maka tindakan penyembuhannya haruslah kembali pada penyucian diri. Menyirami ruh yang kering kerontang itu dengan sejumput cara hidup yang sesuai dengan kepribadian bangsa dan nilai-nilai agama yang diwariskan Rasulullah Muhammad SAW —bagi muslim dan muslimah.
Terapi menghindari atau mengenyahkan praktik korupsi dalam diri seseorang haruslah dimulai dengan taubat yang setaubat-taubatnya. Kemudian merenda hidup baru dengan niat yang ikhlas karena Allah Azza Wa Jalla. Sikapi hidup di dunia berdasarkan ajaran Ilahi. Mensyukuri nikmat, sabar, ridha, jujur, menumbuhkan sikap malu, dan muhasabah (introspeksi diri). Karena Rasulullah SAW pernah bersabda, “Setiap daging yang tumbuh dari mengonsumsi yang haram (as-suht), maka neraka lebih berhak baginya. Maka sahabat bertanya, “Ya Rasulullah apa itu as-suht?” Rasulullah menjawab, “Suap menyuap di dalam hukum”. (HR. Baihaqi).
Maka, wahai para pesakit yang ingin sembuh dari penyakit kronis yang menggerogoti, punya niat untuk berobat? Wallau’alam.
***
*Aida Radar adalah nama pena dari Ummu Syahidah A.R Badar. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris angkatan 2007, Universitas Muhammadiyah Makassar. Bergiat di Forum Lingkar Pena Wilayah Sulawesi Selatan dan LKIM-PENA Unismuh Makassar.