Suara Rakyat dan Calon Presiden
Oleh : Aida Radar*
Bulan Juli telah menjelang. Bulan di dalamnya ada tanggal yang menentukan nasib bangsa ini lima tahun ke depan. Dari awal tahun orang-orang tidak hentinya memperbincangkan pemilihan, pemilihan, dan pemilihan. Selain bicarakan banyaknya acara musik yang menguasai program televisi tentunya. Mulai dari pemilihan anggota dewan yang telah lewat hingga yang berada di depan mata; pemilihan presiden dan wakilnya.
Karena menjadi Hot News di semua berita televisi. Tak ayal pembahasan pemilu jadi konsumsi andalan masyarakat yang rata-rata memiliki bekas barang lux ini di rumahnya.
Tak terkecuali di komplek pemukimanku. Daeng becak yang mangkal di depan lorong masuk pondokanku, penjual sayur keliling, penjual gorengan, hingga pak RT, tak ketinggalan informasi terbaru pasangan nomor urut ini sedang mengumpulkan suara di tempat ini, pasangan yang mengusung slogan ini sedang turun di pasar tradisional itu, sampai pasangan yang diusung partai ini sementara berdialog dengan komunitas ini.
Maka jadi bosanlah aku tiap hari. Tidak di kampus, tidak di forum kajian mahasiswa, tidak di komplek pondokan, topik pembicaraannya sama; Calon-calon presiden dan wakilnya.
Tidak sebatas elemen masyarakat yang aku sebutkan di atas yang demam pemilu. Ibu-ibu rumah tangga di samping kiri dan kanan pondokanku yang kusangka hanya penuh otaknya dengan memasak, bersih-bersih, menjaga anak-anak, dan kerja rumah tangga saja, juga tak kalah sibuk membanding-bandingkan pasangan ini dan pasangan itu.
“Eh jeng, nonton berita semalam nggak? Ternyata calon presiden nomor urut empat itu merakyat sekali ya? ” ujar ibu Asma pada ibu Ima dan ibu Miranti ketika melayaniku yang membeli nasi bungkus di teras rumahnya.
“Merakyat bagaimana maksud jeng Asma?;” jawab ibu Miranti.
“Ya… merakyat. Dekat dengan rakyat. Kemarin calon presiden itu membantu petani mencangkul di sawah. Saya tidak menyangka aja beliau mau melakukan itu. Beliau kan calon presiden.”
“Ah.. Jeng Asma ini kayak tidak tahu saja taktik calon presiden itu. Ini kan mendekati pemilihan. Jelaslah mereka pura-pura merakyat. Sok-sokan peduli pada nasib rakyat. Tujuannya apa lagi coba kalau bukan minta dukungan. Huh… saya sih udah malas sama akting mereka. Nantinya kalau terpilih, jangan harap calon presiden yang jeng Asma bilang merakyat tadi mau turun lagi di sawah kayak di berita kemarin. Sudah cukup banyak buktinya jeng,” kata Ibu Ima berapi-api.
“Saya juga sepakat dengan jeng Ima. Sudah banyak tuh buktinya. Giliran butuh suara rakyat, baru merakyat. Tapi begitu sudah menang, jangankan turun ke sawah jeng, sekedar mengikuti perkembangan pertanian pun harus pakai asisten. Malas saya lihat gaya mereka jeng. Terlalu banyak aktingya. Artis pun kalah sama mereka,” sambung ibu Miranti tak kalah berapi-api.
“Sekarang ini jeng Asma, kita harus pilih pemimpin yang bersih. Pemimpin yang tidak hanya merakyat waktu kampanye saja, tapi selama jabatannya nanti pun tetap merakyat. Saya sih tidak akan tergoda dengan iming-iming dan janji-janji palsu mereka. Saya akan pilih presiden yang sesuai dengan kata hati saya.”
Aku tersenyum dengan penuturan itu. Ibu Asma geleng-geleng kepala mendengar jawaban dua temannya.
Bukan satu kali ini aku mendengar betapa gentolnya masyarakat, khususnya yang masih awam politik mendebatkan calon-calon RI satu dan dua. Sudah berulang aku menemukan pendapat-pendapat yang menilai tingkah polah sang kandidat menjelang hari H pemilu. Dan rata-rata mengatakan bosan dengan trik-trik mereka yang dianggap sudah basi dan penuh umbaran janji belaka. Sungguh aku tidak menyangka, ternyata masyarakat sudah cukup jeli memilih pemimpinnya nanti.
***
Turun dari pete-pete aku menemukan kerumunan orang di lorong pondokanku. Ramai dan bising sekali. Sampai-sampai aku terombang-ambing di lautan manusia ketika mencoba melewati jalan masuk pondokan. Perhatian semua orang tertuju pada satu tempat di depanku.Karena jalan tertutup manusia, aku lalu masuk ke halaman sebuah rumah di dekatku. Di lantai dua rumah itu yang dipakai menggantung cucian, beberapa orang terlihat juga memandangi pusat kerumunan. Didorong rasa penasaran siapa yang jadi pusat perhatian, aku naik ke lantai dua.
Di lantai dua, aku dapat melihat jelas orang-orang yang tengah dikerumini. Aku perhatikan satu per satu dari mereka. Dan sampailah aku pada tokoh sentral pemicu aksi ini. Oh jadi dia yang menyebabkan kerumunan ini, si calon presiden nomor urut empat.
Dia melambai-lambai tangan ketika hendak naik ke sebuah panggung (aku heran dengan panggung itu. Perasaan tadi waktu berangkat ke kampus aku belum melihatnya. Betapa cepat dan hebatnya orang yang menyiapkan semua ini).
Calon presiden nomor urut empat itu berorasi didampingi wakilnya. Seperti biasa kalimat “Kalau kami terpilih nanti, kami akan berusaha sekuat tenaga untuk menyejahterakan anda-anda semua yang ada di sini. Karena itu, kami sangat memohon doa dan dukungannya. Datangilah TPS pada tanggal pemilihan nanti. dan contreng nomor empat,” menggema lewat michrophone. Hm,,, bahasa kampanye yang itu-itu saja menurutku.
Selesai berorasi beberapa orang ganti naik ke panggung dan mulai membagi-bagikan kantong yang di dalamnya entah berisi apa. Pikirku pastilah sembako. Orang-orang berada di tempat ini sontak berebut mengambil kantong itu. Mereka saling dorong hingga ada yang jatuh. Tak bisa diherankan. Mereka rata-rata penghuni komplekku yang ekonominya di bawah cukup atau kekurangan.
Tiba-tiba di antara kerumunan itu, dua ibu-ibu menarik perhatianku. Aku perhatikan keduanya yang membawa kantong dengan sumringah. Mereka berjalan ke arah rumah dimana aku berdiri di lantai dua. Karena pandanganku tertutup beberapa orang, aku coba mengenali mereka Dan oho… dua ibu adalah Ibu Ima dan Ibu Miranti.
“Calon nomor empat itu baik sekali ya… bagi-bagi kantong ini sama kita. Kalau sudah begini jeng, kayaknya saya pilih calon yang ini aja,” ujar Ibu Ima.
“Iya jeng. Saya juga kayaknya pilih yang ini saja. Calon yang lain tidak pernah tuh kasih kita kayak begini,” Sambung Ibu Miranti.
Aku terbengong-bengong dengan ucapan mereka. Loh… bukannya mereka yang berapi-api mengatakan akan memilih pemimpin bangsa sesuai hati dan tidak terpengaruh trik-trik fiktif para kandidat? Kok sekarang lain sikapnya sih? Hm… bingung aku jadinya.
***
Makassar, 25 Juni 2009
*Siswa Sekolah Menulis FLP SulSel
*Siswa Sekolah Menulis FLP SulSel