Saturday, July 27, 2013

MELANKOLIA






MUDIK


Sebentar lagi agenda tahunan di negeri ini dimulai. Berita-berita di televisi dan koran-koran akan mempunyai satu divisi khusus yang mengurusi agenda ini. Pulang kampung, ternyata punya porsi besar selain pemberitaan korupsi di media massa negara ini.

Sejak dulu, waktu masih kanak-kanak yang terperangkap di sebuah pulau kecil di satu wilayah  Timur Indonesia dan belum pernah melihat dunia luar secara langsung, saya selalu merasa berita mudik adalah tontonan yang benar-benar tidak menarik. Jika berita di televisi mulai memperlihatkan bagian akhir pemberitaannya dengan nama beragam (mulai dari mudik lebaran hingga pulang kampung), saya otomatis langsung mengambil remote dan mengganti saluran televisi. Aneh, mengapa orang begitu suka dengan rutinitas yang dikabarkan?

Yang ada di berita mudik, kalau bukan macet dan penumpukan jumlah penumpang di terminal, stasiun, bandara, atau pelabuhan; berarti kecelakaan lalu lintas. Hanya berkeliling pada hal-hal itu saja. Namun tiap tahun euforianya ternyata tidak redup-redup juga. Mengapa?

Sejak menginjakkan kaki di tanah Makassar 2007 silam, saya jarang merasa ingin pulang tiap Ramadhan hingga lebaran tiba. Meski awalnya proses adaptasi memakan waktu hampir satu semester, akhirnya berhasil juga saya menguatkan hati jauh dari orangtua, jauh dari rumah. Hampir tiap liburan semester, teman-teman sekampung banyak yang pulang. Namun tidak dengan saya. Dalam pikiran saya waktu itu, buat apa buru-buru pulang jika nantinya saat selesai kuliah saya akan pulang juga? Mumpung ada di luar, menjelajah saja di banyak tempat. Karena pada waktu pulang nanti, saya tentu tidak punya banyak kesempatan jalan-jalan lagi. Bagi saya, komunikasi lewat telepon dengan orangtua telah sangat cukup bagi kabar yang sering ditanyakan. 

Itulah mengapa, liburan ke rumah setelah kuliah, baru saya lakukan saat menginjak semester lima. Setahun kemudian saya ber-Ramadhan dan lebaran di Malang. Di tahun sebelum lulus kuliah, tunai Ramadhan di Makassar. Kemudian pascawisuda, sebagian Ramadhan saya lewati di perjalanan-perjalanan dan di tiga kota di pulau Jawa. Saya benar-benar memanfaatkan cara berpikir yang saya yakini itu. Dan saya puas karenanya.

Pada teman-teman yang keseringan pulang kampung, saya kerap menganggap mereka cengeng. Apalagi pada mereka yang berasal dari daratan dan propinsi yang sama dengan Makassar, ah betapa anak mami-nya. Ramadhan—pulang, Lebaran—pulang. Libur semester—pulang. Libur sepekan—pulang. Libur tiga hari—pulang. Ugh! Benar-benar menjengkelkan! Demikian isi pikiran saya waktu itu. 

Sampai kemudian tibalah saya di Ramadhan tahun 1434 Hijriyah ini. Ramadhan kali ini saya tidak pulang kampung lagi. Namun saya merasa ada yang aneh muncul tiba-tiba dalam hati ini lalu menjalar ke pikiran dan bermuara pada aktivitas-aktivitas yang terasa hambar. Telah setengah Ramadhan saya lewati di sini, di salah satu sudut Kota Bandung (yang sangat ingin saya tinggali sejak lama dengan keyakinan menjelajah dan merasakan berpuasa dan berlebaran di sebanyak mungkin tempat selain Tidore), namun di tengah perjalanan di tempat ini, keyakinan yang saya pelihara itu terasa melumer begitu saja. Saya kangen rumah. Saya ingin pulang, ke Tidore. Sayang, tahun ini saya harus memendam keinginan itu dulu. 

Saya tidak paham apakah bertambahnya usia membuat rindu pada kampung halaman muncul dengan jumlah maksimal di setiap kelahirannya—bahkan tumbuh dan berkembang pesat? Saya tidak berniat juga membuka-buka halaman buku psikologi untuk menelusurinya (namun kalau ada yang mau memperlihatkan teorinya, saya tidak keberatan membacanya). Yang ingin selalu saya lakukan adalah menelepon ke rumah sebanyak jadwal makan di bulan puasa, setiap hari. Sebab beberapa hari belakangan, di Ramadhan yang cepat sekali berjalan di akhir angkanya, rasa ingin sekali bertemu mama, papa, adik-adik, kakak-kakak, om-om, bibi-bibi, menjadi sedemikian besarnya.

Kini saya tidak memandang sebelah mata lagi pada rutinitas yang kerap diberitakan televisi setiap hari raya akan tiba. Saya paham, mudik atau pulang kampung atau entah apa lagi frase yang mewakilinya, hanyalah sebuah upaya manusia mengobati rindu. Meski macet berpuluh-puluh kilometer siap menghadang, meski berdesak-desakan di perjalanan, meski harga tiket melambung tinggi —imbas naiknya harga BBM, meski tiap tahun grafik angka kematian di laporan operasi ketupat di komputer pak polisi bagian lalu lintas terus merangkak naik, hal itu bukan alasan menyiutkan nyali pemudik. Justru sebaliknya, jumlahnya malah merangkak naik terus menerus. Mengapa? Karena orang yang punya rindu sebesar dunia hanya peduli pada satu tujuan: pulang, bertemu keluarga dan berbahagia. Begitu saja.

Ada banyak cara mengekspresikan rindu.
namun saya tidak pernah tahu,
ada yang lebih baik selain bertemu.
Mereka yang tidak pernah merantau,
tidak akan pernah tahu itu.
*

—AR,Bdg.26.7.13;02.02pm

#saat menulis ini, rasa kangen saya semakin menjadi-jadi pada pulau kecil itu; pada speedboat-speedboat yang lalu lalang antara Ternate dan Tidore; pada jalanan yang lebih sering lengang; pada pasar kue yang sangat ramai ba’da Dzuhur hingga waktu berbuka shaum; pada adik-adik yang menemani jalan-jalan sore; pada kemunculan matahari pagi di atas Pulau Halmahera yang suka saya tunggui di dermaga pasar ikan Goto; dan terlebih, pada dua wajah yang selalu hangat, yang senang berbagi canda, cerita dan nasehat di meja makan. :’(


Monday, July 22, 2013

SEBUAH SKENARIO






Saat mengikuti talkshow Salman Women and Education (ALMOND) bertajuk “Menjadi Wanita Tangguh di Era Digital” yang dilaksanakan oleh Panitia Pelaksana Program Ramadhan (P3R) 1434 H Masjid Salman di Aula Timur Institut Teknologi Bandung (ITB) Ahad kemarin (21-7-2013), ada seorang gadis duduk di samping kanan saya. Kami hanya sempat senyum-senyum saja. Tidak ada sapaan. Selang beberapa waktu, nama gadis itu dipanggil MC. Ia didaulat membacakan puisi karyanya —yang ditulis Sabtu pekan lalu (13-7-2013), di depan hadirin talkshow. Saya lalu teringat sebuah sms yang masuk di hp malam sebelumnya “assalamualaikum, teh, besok di harapkan dtang ke talkshow almond, dan mempersiapkan diri untuk pembacaan puisi.. wassalamualaikum..”. 

Saya berjaga-jaga. Jangan-jangan setelah gadis itu selesai membacakan puisinya, nama saya akan dipanggil? Astaga! Bagaimana ini? Saya sedang pilek berat dari Sabtu sore kemarin dan saya tidak bisa membayangkan suara saya yang membacakan puisi nanti. Pastilah sengaaauuu tingkat tinggi!  Di dalam hati, saya tidak henti-hentinya curhat dan berdoa, “Allah, bagaimana ini? Suara saya sengau sekali. Bagaimana jika hasil pembacaan saya yang memang sudah jelek,malah bertambah jelek dengan suara ini? Allah, semoga segala sesuatunya baik-baik saja.”

Talkshow hari itu puncak acara dari serangkaian kegiatan Almond, meliputi lomba Food Cake, Hasta Karya dan PenulisanPuisi —yang seluruh pesertanya perempuan, yang telah dilaksanakan sebelumnya, pada 13 Juli 2013, saat hujan enggan pulang dari langit Kota Bandung. Saat pelaksanaan lomba menulis puisi, di samping kanan saya ada seorang gadis berkacamata. Kami berkenalan, bertukar sedikit cerita, hingga bertukar nomor hp. Ternyata gadis itu masih SMA dan yang membuat saya sangat senang: dia adalah anggota FLP Bandung! (Di setiap lomba penulisan atau hal-hal yang berkaitan dengan buku, saya yakin, meski hanya satu, pasti ada anggota FLP di situ) d^_^b

Talkshow berjalan dengan lancar dan sarat pengetahuan. Selama acara, hidung saya masih meler-meler saja. Di dalam hati, saya juga masih tetap curhat dan berdoa. Hingga tibalah di ujung acara. Itu adalah waktu bagi pengumuman pemenang tiap item lomba Almond. Lho? Saya tidak dipanggil untuk membacakan puisi, ya? Apakah skenarionya berubah? Saya kebingungan, sampai kemudian teringat pada curhat dan doa-doa yang tidak putus saya kirimkan pada-Nya. Saya senyum sendiri. 

Pemenang lomba puisi dibacakan lebih dulu. Saat dipanggil nama pemenang ke-tiga, seorang gadis berkacamata berjalan ke depan hadirin dan berdiri di sana. Saya berdiri dan melakukan hal yang sama ketika MC menyebutkan Ummu Syahidah (Padahal saya menuliskan Ummu Syahidah/Aida Radar, tapi sepertinya panitia mengutamakan nama original ^_^ ) sebagai pemenang kedua. Setelah pemenang pertama dipanggil dan berdiri di depan, di samping kanan saya, kami diberi sertifikat oleh istri ketua umum pengurus Masjid Salman.

Balik ke tempat duduk, seperti ada yang mengganggu pikiran. Saat perlombaan, saya duduk di samping gadis berkacamata yang tadi di depan berdiri di posisi ke-tiga; saat pengumuman, saya duduk di samping gadis yang membacakan puisi yang tadi di depan berdiri di posisi pertama. Kok bisa begitu, ya? :O

Allah. Seluruh Jawaban hanya ada di sana.
:)

Wednesday, July 17, 2013

RECORDING A POEM





Suatu ketika saya terperangah pada sebuah puisi. Sakit. Demikian judul puisi itu. Karya seorang pujangga muda yang masih berseragam abu-abu di SMA Negeri 1 Pinrang, Sulawesi Selatan (no joking, he's still senior high). Seperti judul puisi itu, saat membaca satu kali —dari beberapa kali pembacaan, saya sedang sakit. Mungkin karena bersehadapan, saya terdiam lama di puisi itu, padahal sebelum-sebelumnya saya hanya merasa biasa-biasa saja membacanya. Ya, keadaan memang kerap membuat kita terperosok jauh ke dalam makna sesuatu hal dan membeku di sana.

Saya bukan pembaca puisi yang baik —yeah, saya tahu itu— tapi saya suka melakukannya, khususnya membaca untuk diri sendiri. Maka saya post-kan pembacaan puisi itu di sini. Hope you enjoy, Guys. ^0^v
(Klik senyuman itu untuk menuju ke audio)

SAKIT

Saya sakit dan mengucap alhamdulillah.
Sebab tak mampu menaiki kolosium dan melihat
dua ksatria saling beradu pedang yang mengkilat-kilat.
Saling tebas hingga tembus arteri satu sama lain.
Lalu setelahnya mereka tergeletak seperti mati.

Saya sakit dan lebih taat beribadah.
Sebab tak dapat kutekan tanah keperakan
yang berkuasa menggerakkan jet putih di layar kaca.
Silam waktu bila tertekan hingga bersenti-senti,
meluncurlah geyser susu dari liang-liang sembunyi
pada akhirnya.

Saya sakit lalu menangkupkan padang di wajah.
Sebab kurasakan jarak terpotong dengan Penjajahku:
Yang Memperhambaku. Seperti bintang; tak kurasakan
hangatnya tapi kulihat adanya.
Saat di hadap kaki-Nya,
aku tak berhak atas apapun.

Apapun.
*
—Muhammad Dirgantara, 2012

NB: Puisi ini termaktub dalam Buku Antologi Puisi Merentang Pelukan (Motion Publishing-Kata Bergerak, 2012)

 

Sunday, July 14, 2013

ONE WAY --> ALLAH
















PADA SETIAP PERJALANAN

ke manapun aku pergi
aku ingin semua
berakhir
pada-Mu.
 *

—AR,Bdg.14.7.13;04:44am


#Picture'sTakenHere